I. PENDAHULUAN
Pengkajian sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan
menggairahkan. Ketika dorongan rasa ingin tahu menggelora, maka
pengembaraan pengkajian itu terasa indah dan bergairah. Sebelum mengkaji
sesuatu secara mendalam, perlu diketahui sebelumnya obyek kajian apa
saja yang terkandung dalam kajian tersebut, karena pengetahuan tentang
sesuatu akan lebih mudah dipelajari dengan metode dan kajian yang
sistematik.
Ilmu Balâghah, sebagaimana ilmu lain berangkat dari sebuah
proses penalaran untuk menemukan premis-premis pengetahuan yang dianggap
benar untuk kemudian disatukan menjadi kumpulan teori. Setelah teori
itu terkumpul secara generik dengan pembagian-pembagian yang sepesifik,
maka ada kecenderungan untuk mempelajari bagian-bagian tersebut secara
parsial—banyak yang menyebut al-Sakkâki sebagai tokoh yang mengubah
balâghah dari
shinâ’ah menjadi
ma’rifah—dari induktif
menjadi deduktif. Dari paparan tersebut tersirat bahwa setiap ilmu
mempunyai obyek kajian yang membatasi ruang gerak keilmuan tertentu,
agar jelas dan tidak mengaburkan pembahasan.
Sastra yang merupakan ekspresi merdeka, bukan sesuatu yang tanpa
aturan dan rumusan. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya beragam
ilmu sastra yang menentukan kualitas karya saatra yang dianalisa. Dalam
tradisi ilmu sastra Arab,
balâghah setelah menjadi ilmu
mempunyai rumusan-rumusan tertentu yang digunakan sebagi basis
konkretisasi sastra dan tolak ukur keindahan dan ke-
balâghah-an karya sastra. Balâghah merupakan ilmu sastra di atas kajian morfologi dan sintaksis, kajian
balâghah berpijak pada kedua ilmu tersebut, yang secara teori prasyarat mempelajari balagah harus menguasai morfologi
(sharf) dan sintaksis
(nahw). Makalah ini secara ringkas berusaha untuk mendeskripsikan obyek kajian
‘Ilmu al-Balâghah.
II.PEMBAHASAN
A. AL-BALÂGHAH — AL-FASHÂHAH
Balâghah secara etimologi berarti
al-wusûl wa al-intihâ’ (sampai dan berakhir).
Balâghah secara terminologi hanya ditempatkan sebagi sifat yang melekat pada
kalâm (balâghatu al-kalâm) dan sifat yang melekat pada
mutakallim (balâghatu al-mutakallim). Balâghat al-kalâm, berarti mencari kalimat yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan kata-kata yang fasih baik ketika
mufrad maupun
murakkab. Sedangkan kalimat yang
bâligh (al-kalâm al-balîgh)
adalah kalimat yang mampu mengejawentahkan ide penutur untuk
disampaikan kepada lawan tutur (pendengar) dengan gambaran ide yang
tidak berubah pada keduanya. Sedangkan
balâghat al-mutakallim, berarti kemampuan diri untuk mencipta kalimat yang
balîgh (
fasîh dan mengena sasaran)
[1]. Dari terminologi di atas nampak jelas bagaimana
balâghah mempunyai peran komunikatif—stimulus dan respon—dengan kalimat yang tidak ambigu dan mampu mewakili ide penutur.
Al-Fashâhah dalam istilah ilmuan
balâghah
diartikan sebagai ungkapan yang jelas dan gamblang, mudah difahami dan
benar strukturnya, sebagaimana biasa digunakan oleh para penyair dan
penulis
[2].
Fashâhah terdapat dalam kata
(al-mufrad), kalimat
(al-kalâm) dan penutur
(al-mutakallim). Sedangkan
balâghah hanya bersinggungan dengan kalimat
(al-kalâm) dan penutur
(al-mutakallim)-nya saja.
[3] Dari pengertian
balâghah dan
fashâhah diatas nampak jelas bagaimana
balâghah mensyaratkan aspek eksternal bahasa, yakni sampai dan mengenanya ide kalimat kepada lawan tutur.
Balâghah menempatkan kalimat sebagai proses sampainya makna dari stimulus ke responden, tidak hanya pada aspek internal kalimat saja
(mufrad), pendek kata kalimat yang
balîgh mesti
fashîh dan tidak sebaliknya.
Balâghah dalam terminologi ilmu berarti sebuah kemampuan
untuk mengungkapkan apa yang ada dalam fikiran dengan ungkapan yang
jelas maknanya dan benar strukturnya, sangat berkaitan erat dengan
sastra bahkan awalnya mencakup ilmu sastra dengan segala macam bentuk
dan keindahannya
[4].
Balâghah dalam pengertian ini sering dipadankan dengan retorika
, Gorys
Keraf mengartikan retorika sebagai suatu teknik pemakaian bahasa
sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu
pengetahuan yang tersusun dengan baik.
[5] Susunan pengetahuan yang berupa komulasi aturan-aturan
pragmatik[6] dan estetika kalimat itulah yang dalam bahasa Arab kemudian disebut sebagai
Ilmu Balâghah.
Balâghah mempunyai tiga cabang ilmu yaitu (1)
Ilmu al-Ma’âni (2)
Ilmu al-Bayân, dan (3)
Ilmu al-Badî’, ketiganya mempunyai obyek kajian yang masing-masing saling melengkapi.
B. ‘ILMU AL-MA’ÂNI
‘Ilmu Ma’âni adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang
menjelaskan pola kalimat berbahasa Arab agar bisa disesuaikan dengan
kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘
ilmu al-ma’âni
adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur
yang disampaikan kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai
pencetus Ilmu Bayan adalah ‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H)
[7].
Dari terminologi
‘ilmu al-ma’âni yang ingin menyelaraskan
antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada
pola-pola kalimat berbahasa arab dilihat dari pernyataan makna dasar—
ashly, bukan
tab’iy— yang dikehendaki oleh penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model
ma’âni
bukan pada struktur kalimat itu sendiri, akan tetapi terdapat pada
“makna” yang terkandung dalam sebuah tuturan. Jadi yang terpenting dalam
pembacaan
ma’ani adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.
[8]
Adapun obyek kajian
Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut, (1)
Kalâm Khabar (2)
Kalâm Insya’ (3)
al-Qasr (4)
Îjaz, Ithnab dan
Musâwah.
1. Kalâm Khabar (statement sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang
penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur
jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika
kalimatnya tidak sesuai dengan fakta
[9]. Contoh
kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita
(kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;
- Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:
إني فقير إلى عفو ربي
- Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh:
إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
- Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh;
إني وضعتها أنثى
Dilihat dari sisi susunan gramatikalnya
kalâm khabar dibagi kedalam dua bentuk
[10]:
Pertama: al-jumlah al-fi’liyyah (verbal sentence),
menunjukkan suatu pekerjaan yang temporal, dengan tiga keterangan
waktu, sekarang, yang telah berlalu dan yang akan datang. Contoh:
أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا
Kedua: al-jumlah al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum
(general thuth). Contoh:
الأرض متحركة والشمس مشرقة
2. Kalâm Insya'(originative sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.
[11] Kalâm
insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1)
Insya’ thalaby (2)
Insya’ ghairu thalaby.
a. Insya’ thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta.
Insya’ thalaby dibagi kedalam lima macam, yaitu
[12]:
1) Al-`amr.
Al-`amr adalah meminta terlaksananya suatu pekerjaan kepada
lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan
perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya,
al-`amr dalam bahasa Arab memiliki empat bentuk, yaitu
[13]:
a)
Fi’il `amr, contoh:
يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا ( مريم:12)
b)
Fi’il mudhâri’ yang bersambung dengan
lâm al-`amr, contoh:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ (الطلاق: 7)
c)
Ism fi’il al-`amr, contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ { المائدة:105}
d)
Mashdar sebagai ganti
fi’il `amr, contoh:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا { البقرة: 83}
Selain model pola kalimat
al-`amr juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a)
Al-du’a` (do’a), contoh:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ { النمل: 19}
b)
Al-Irsyâd (petuah bijak), contoh:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ (البقرة: 282)
c)
Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {فصلت:40}
d)
Al-Ta`jîz (melemahkkan), contoh:
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)
e)
Al-Ibâhah (pembolehan), contoh:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة:187)
2) Al-Nahy.
Al-nahy adalah meminta dihentikannya suatu pekerjaan kepada
lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan
permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan menyambungkan
fi’il mudhâri’ dengan
lâ nâhiyah ( berarti: jangan..!)
[14] contoh:
وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ( الأعرف: 85)
Seperti halnya
amr, struktur
nahy juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:
a)
Al-du’â`(berfungsi sebagai do’a), contoh:
رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (ال عمران: 8)
b)
Al-Irsyâd ( memberi petuah bijak), contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ… (المائدة: 101)
c)
Al-Dawâm (keabadian), contoh:
وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ اْلأَبْصَارُ (إبراهيم:42)
d)
Al-Tahdîd (ancaman), contoh:
لا تطع أمري ايها الأخ..
e)
Al-Tamannî (pengharapan), contoh:
يا ليل طلٍِ يا نوم زل * يا صبح قف لا تطلع
3) al-Istifhâm,
Al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan
adât al-istifhâm (kata sandang untuk
istifhâm), yaitu:
hamzah, hal, man, mâ, matâ, ayyâna, kayfa, aina, kam dan
ayyu . Dilihat dari segi bentuk permintaannya,
istifhâm dibagi menjadi tiga macam, yaitu
[15]:
a) Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi dan kadang meminta afirmasi
(tashawwur).
Adât yang digunakan adalah
hamzah, contoh:
1) أ علي مسافر أم خالد؟ 2) أ علي مسافر؟
b) Pertanyaan yang meminta afirmasi saja,
adât al-istifhâm yang digunakan adalah
hal.contoh:
هل يعقل الحيوان؟
c) Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja.
Adât yang digunakan adalah semua
adât al-istifhâm kecuali
hal dan
hamzah.contoh:
يسئلونك عن الساعة أيان مرسها؟
4) al-Tamannî
Al-Tamannî adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang tidak mampu digapai
[16].
a) Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:
ألا ليت الشباب يعود يوما * فأخبره بما فعل المشيب
b) Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak mampu teraih, contoh:
يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)
Al-Tamannî memiliki satu
`adât ashly yakni ليت dan mempunyai tiga
`adât yang tidak
ashly sebagai penggantinya, yaitu:
a)
Hal (apakah, adakah, akankah…), contoh:
فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشْفَعُوا لَنَآ أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ
غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنهُم
مَّاكَانُوا يَفْتَرُونَ (الأعراف:53)
b)
Lau (jika, sekiranya..), contoh:
فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (الشعراء: 102)
c)
La’alla( niscaya…), contoh:
أ سرب القطا هل من يعير جناحه * لعلي إلى من قد هويت أطير
5) al-Nidâ’
al-Nidâ’ adalah meminta kedatangan sesorang atau sesuatu
dengan kata ganti yang bermakna “aku memanggil”. Ada delapan kata
sandang dalam istifhâm, yaitu:
hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan
wâ. Hamzah dan
aiy berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan
`adât yang lain untuk sesuatu yang jauh dari pemanggil. Contoh
[17]:
أيا جميع الدنيا لغير بلاغة * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت
Selain berfungsi memanggil,
al-nidâ’ memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam arti
nidâ’ antara lain:
a)
Al-Ighrâ` (bujukan, anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah musuhnya:
يا شجاع أقدم..
b)
Al-Zijr (hardikan, cacian), contoh:
يا فؤدي متى المتاب ألما * تصح والشيب فوق رأس ألما
c)
Al-Tahassur wa al-taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:
وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)
d)
Al-Istighâtsah (permintaan pertolongan), contoh:
يا ألله…. حبي وهوائي مكتوم إليها
e)
Al-Nudbah (ratapan/elegi), contoh:
فواعجبا كم يدعي الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل
b. Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu permintaan.
Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk
, al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-‘Uqûd, al-Qasam dan
al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh:.
[18]
a) al-Madh wa al-Dzam,menggunakan kata
ni’ma, bi`sa dan
habbadza, contoh:
نعم الكريم حائم…. وبئس البخيل مادر
b) Shiyaghu al-‘Uqûd. kebanyakan menggunakan
shîghah fi’il madhi, contoh:
بعتك هذا ووهبتك ذاك
c) al-Qasam, menggunakan
wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh:
لعمرك ما فعلت كذا
d) al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh:
كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)
e)
al-Raja’, biasanya menggunakan,
‘asâ, hariyyu (la’alla) dan
ikhlaulaqa, contoh:
عسى الله أن يأتي بالفتح
3. Al-Qashr (rhetorical restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah
al-maqsûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah
al-maqsûr ‘alaihi (yang dikhususkan)
[19]. Metodologi pembentukan
qashr ada empat macam yaitu:
a)
Al-nafyu wa al-istitsnâ`, contoh:
ما شوقي إلا شاعر وما شوقي إلا شاعر
b)
Innamâ, contoh:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)
c) Mendahulukan kata yang seharusnya berada diakhir, contoh:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)
d)
Athaf dengan
lâ, bal dan
lakin, contoh:
عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني
Qashr dilihat dari eksistensinya ada dua macam:
Pertama: Qashr Haqîqy yaitu pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar dari itu. Contoh, لا إله إلا الله
Kedua: Qashr idhôfi yaitu pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada diluar ujaran. Contoh:
إنما حسن شجاع
4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah (equality)
a. Îjaz adalah adanya makna yang luas dibalik kalimat yang pendek
. Îjaz ada dua macam, ada kalanya
Qashr (meringkas) dan ada kalanya
Hadf (membuang)
[20]. Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)
وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)
b. Ithnab[21] adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و الروح فيها
c. Musâwah adalah kalimat
dimana kata-katanya sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan
kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang.
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا * ويأتيك بالأخبار من لم تزود
5. Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf
wawu[22], contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari
al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ (فصلت:34)
C. ILMU AL-BAYÂN
Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi,
Ilmu Bayân
berarti dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya
satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan
menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut.
[23]
Berangkat dari pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam
metode untuk menyampaikan makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada
berbagai corak gaya bahasa yang merupakan metode penyampaian makna.
Obyek kajian ilmu Bayan meliputi: (1)
Tasybîh (2)
Majâz, dan (3)
Kinâyah.
1. al-Tasybîh(comparison[24])
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman,
tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata-sandang
kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat.
Tasybîh mempunyai beberapa variabel, diantaranya:
Musyabbah, Musyabbah bih -keduanya disebut sebagai dua titik pokok tasybih-,
Adâtu al-Tasybîh dan
Wajhu al-Syibhi.
[25] Dari beberapa variabel ini kemudian memunculkan beberapa macam
tasybih, yaitu:
a.
Tasybih Mursal, yaitu
tasybih yang disebutkan
adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب
b.
Tasybih Muakkad, yaitu
tasybih yang dibuang
adât (kata sandang)-nya, contoh:
أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا
c.
Tasybih Mujmal, yaitu
tasybih yang dihilangkan
wajah sibhi-nya., contoh:
كأنهن بيض مكنون
d.
Tasybih Baligh, yaitu
tasybih yang tidak ada
adat dan
wajah shibhi-nya, contoh:
ركبوا الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة أنجم
2. Al-Majâz(allegory)[26]
Majâz secara etimologi terbentuk dari kata
jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi,
majâz
menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk
sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara
keduanya (makna tekstual dan kontekstual).
[27]
Majâz ada dua macam, yaitu:
a. Majâz Lughawi
Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya
korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang
pemaknaan asli (tekstual).
[28] Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam:
Isti’ârah dan
Majâz Mursal.
1) Isti’ârah
Istiârah adalah
majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an.
Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan
musyabbah dan
musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam
[29]:
a)
Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah: adalah
isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata
musyabbah bih-nya, contoh:
وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى
b)
Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah
isti’ârah yang dibuang
musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:
وإذا المنية أنشبت أطفارها * ألفيت كل تميمة لا تنفع
Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan
isti’ârah,
isti’ârah ada dua macam, yaitu:
a)
Isti’ârah Ashliyyah : yaitu
isti’ârah yang mana kata-kata
isti’arah-nya berasal dari
ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal
), contoh:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
(إبراهيم: 1)
b)
Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu
isti’ârah yang kata-kata
isti’arah-nya diambil dari
isim, fiil ataupun
huruf, contoh:
وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71)
Dilihat dari pengkiasan
musyabbah dan
musyabbah bih-nya,
isti’arah dibagi menjadi tiga macam:
a.
Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu
isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada
musyabbah bih-nya, contoh:
أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)
b.
Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu
isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada
musyabbah-nya, contoh:
وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر
c)
Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni
isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa
musyabbah dan
musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي
الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27)
2) Majâz Mursal
Majâz Mursal adalah
majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an.
Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya
[30]:
a)
As-Sababiyyah , contoh:
له أياد علي سابغة * أعد منها ولا أعددها (المتنبى)
b)
Al-Musabbabiyyah, contoh:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)
c)
Al-Kulliyah, contoh:
يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)
d)
Al-Juz`iyyah, contoh:
فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)
e)
I’tibâr mâ kâna, contoh:
وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)
f)
I’tibâr mâ yakûnu, contoh:
إني أرني أعصر خمرا (الآية)
g)
Al-Hâliyah, contoh :
واسأل القرية التى كنا فيها (الآية)
h)
Al-Mahalliyah, contoh:
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)
b. Majâz ‘Aqli
Majâz ‘aqli adalah
majâz yang menyandarkan
fi’il (verb)
atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya
indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual)
[31]. Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam
majâz ‘aqli, diantaranya:
1) Hubungan sebab akibat, contoh:
وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا
2) Hubungan waktu, contoh:
يوما يجعل الولدان شيبا
3) Hubungan tempat, contoh:
وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم
3. Al-Kinâyah(metonymy[32])
Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi,
kinâyah
berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun
diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi
yang melarang keinginan pemaknaan
haqiqî.
[33]
Kinâyah dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi tiga, yaitu
[34]:
a) Berkedudukan sebagai
sifat,contoh:
قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير الرماد إذا ما شتا
b) Berkedudukan sebagai
mausûf, contoh:
الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان
c) Berkedudukan sebagai
nisbat, contoh:
إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج
D. ILMU AL-BADÎ’
Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi,
Ilmu Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan
stylistika, beberapa
pepaês—ornamen
perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi
kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan
situasi dan kondisi.
[35]
Secara gais besar
ilmu badî’ mempunyai dua obyek kajian, yaitu
al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan
al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna)
.
1. al-Muhassanât al-Lafdziyyah
a. al-Jinâs (paronomasia;pun[36]),
Jinâs adalah adanya kesamaan dua kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada dua macam
jinâs, yaitu
[37]:
1)
Jinâs tâm : adanya kesamaan antara dua kata dari jumlah hurufnya, macam hurufnya,
syakl-nya dan urutannya. Contoh:
وَيَوْمَ تَقُومُ
السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ
سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ {الروم: 55}
2)
Jinas ghairu tâm: adanya perbedaan antara dua kata dalam satu macam diantara keempat macam persyaratan tersebut (
syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)
b. al-Saj'(rhimed prose)
Saj’ dalam terminologi
balâghiyyin berarti adanya
dua kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama,
kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan
fâshilah, dan setiap kalimat disebut dengan
faqrah.
[38]: Ada tiga macam
saj’, yaitu:
a.
Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu dua kalimat atau lebih yang
wazan fashilah-nya berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)
b.
Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu dua kalimat atau lebih yang mana
lafadz pada setiap
faqrah-nya memiliki
wazan dan
qafiyah yang sama, contoh:
فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه
c.
Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah dua
faqrah yang sama dalam
wazan dan
qafiah-nya, contoh:
فِيهَا سُرُرُُمَّرْفُوعَةٌ وَأَكْوَابُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)
c. al-Tarshî'(homoeptoton)
Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam
faqrah pertama (
syathrah pertama) dengan
faqrah sesudahnya dalam
wazan dan
qafiyah-nya
[39]. Adakalanya
sama persis dalam
wazan dan
a’jaz-nya, seperti:
إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ ( الانفطار:13-14)
Dan adakalanya
berdekatan saja dalam
wazan dan
a’jaz-nya, contoh:
وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)
d. al-Tasythir (internal rhyme)
Tasytîr adalah ketika pembagian penyair terhadap
shadr dan
‘ajuz syair masing-masing menjadi dua bagian, dan antara
shadr dan
‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh:
[40]
كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم
2. al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah
a. al-Tauriyah(paronomasia;pun)
Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai dua makna,
pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak,
kedua, makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki.
[41]Contoh:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)
b. al-Thibâq (antithesis)
Tibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada dua macam
tibâq[42], yaitu:
1)
Tibâq al-Ijab, yaitu
tibâq yang mana kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan dan menegatifkan saja, contoh:
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)
2)
Tibaq al-Salbi, yaitu
tibâq yang hanya memeperlawankan kata negatif dan positifnya saja.
فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي
ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة:44)
c. al-Muqâbalah (antithesis)
Muqâbalah adalah membuat susunan dua makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara berurutan.
[43] Contoh:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (الليل:5-10).
d. Husnu al-Ta’lil (conceit)
Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara
tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan konvensi
sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan
[44]. Contoh:
ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم.
e. Uslûb al-Hakîm(deliberate equivocation).
Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak berbicara
menjawab sesuatu dan tidak sesuai dengan yang diharapkan orang yang
bertanya. Dengan cara, keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab
sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik
lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah
menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan
bicara.
[45] contoh:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة: 189)
Selain dari beberapa macam
muhassinât al-ma’nawiyyah di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti
itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.
III. KESIMPULAN
Obyek kajian
ilmu balâghah merupakan tiga serangkai retorika bahasa arab yang saling melengkapi.
Ilmu Ma’ani
merupakan kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi
dan kondisi. Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran,
Ilmu Bayan
mengajak pembaca berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style
sastra yang kemudian disempurnakan irama dan maknanya oleh
Ilmu Badi’.
Demikianlah pemaparan singkat tentang obyek kajian
ilmu balâghah, menurut penulis, ilmu sastra-termasuk didalamnya
ilmu balâghah-,
merupakan sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa
sastra) menjadi sebuah teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang
statis akan tetapi merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang
harus hidup dan berkembang. Semoga anugrah nalar dan lisan mampu jadi
pelita penertian, pemahaman dan pencerahan.
Amin… Wallâhu a’lam.
sumber : https://ibnusamsulhuda.wordpress.com/2010/11/02/obyek-kajian-ilmu-balaghah/#comment-100