copas : http://ustadzrsjcimahi.blogspot.co.id/2015/09/apakah-hidangan-makanan-dalam.html
- Saudara- saudara kita dari golongan WAHABI yang menolak Tahlilan
berpendapat bahwa menghidangkan makanan dalam Tahlilan adalah HARAM dan
dilarang, karena hal itu adalah termasuk NIYAHAH (Meratapi kematian), WAHSYAH ( Kesedihan/duka cita), atau MA'TAM (berkumpul untuk berkabung dan berduka cita), lalu mereka tidak segan-segan memberi label dan cap Ahlu Bid'ah dan Ahlu Dholalah kepada
para pelakunya...!!!! Mereka bahkan juga berani menggeneralisir, tidak
memberikan toleransi sama sekali atas suatu peristiwa dan 'illat2
(sebab2) yang berbeda dengan hadis2/fatwa2 ulama yg mengatakan hal tsb
sbg Bid'ah. Pokok'e BID'AH !!!! Itulah kira2 kata mereka, tanpa
mempertimbangkan kaidah : Al Hukmu yaduuru ma'a 'illatihi
wujuudan wa 'adaman (الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا
وَعَدَمًا). Hukum itu bisa berubah-ubah sesuai dengan alasan2/sebab2 yg
menyertainya. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat
dan vonis yang salah/tidak pada tempatnya ini adalah dikarenakan
kesalahan cara berfikir dan cara pandang para pengikut Wahabi dalam
memahami dan menelaah serta menelan mentah2 teks-teks redaksi yang
tertera dalam kitab2 fiqh maupun hadis, tanpa meneliti lebih jauh
mendalam dan membandingkan dengan kitab2 fiqh dan hadis serta pendapat2
ulama yang lainnya.... !!!!
Ini adalah Hadis2 dan keterangan ulama yang membolehkan memakan makanan
yang disuguhkan oleh ahlul mayyit serta perkumpulan yang diperbolehkan
di dalamnya :
LIHAT HADIS DI SHOHIH MUSLIM INI :
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 174)
1672 - و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا
هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ
افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw
seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal
mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia
akan bersedekah,
bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Lihat komentar Imam Nawawi :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa
shadaqah
untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada
mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian
pula mereka bersepakat atas sampainya doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
JUGA HADIS INI :
Hadits yang Diriwayatkan Oleh Thabrani Dalam kitab Al Kabir
lihat Di Mujamma’ Az Zawaid Dan Manba’ Al Fawaid Lil oleh Hafid Nuruddin
Ali bin Abi Bakr Al Haitsami juz 3 hal 5 yang berbunyi sebagai berikut:
المعجم الكبير - (ج 18 / ص 106)
199 - حدثنا محمد بن علي بن شعيب ثنا خالد بن
خداش ثنا حفص بن النصر السلمي عن أمه بنت محمد بن عمران عن أمها مريم بنت
فروة أن عمران بن حصين : لما حضره الوفاة قال : إذا أنا مت فشدوا على بطني
عمامة وإذا رجعتم فانحروا وأطعموا
Dari Maryam Binti Farwah, bahwa Imran Bin Hushoin tatkala meninggal berkata : jikalau
aku telah mati, maka ikatlah diatas perutku surban dan jikalau kalian
kembali maka berkorbanlah (menyembelih hewan) dan bersedekahlah dengan
itu
MENGENAI MAKAN DI RUMAH DUKA, TERNYATA RASUL SAW TELAH MELAKUKANNYA
DIJELASKAN DALAM KITAB TUHFATUL AHWADZIY :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه
بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر
يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي
امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث
رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات
فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang
lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu
penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul SAW memerintahkan pada penggali
kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika
selesai maka datanglah
seorang utusan istri almarhum,
mengundang
Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima
undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul
saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami
dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud
dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL
Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang
maka datanglah utusan istri almarhum dan
hal ini merupakan
Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka,
dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Meski ulama berselisih tentang wanita diatas,
apakah dia itu istri dari lelaki yg meninggal atau bukan, tapi kita juga
tidak menafikan tentang pendapat ulama yg mengatakan bahwa dia adalah istri dari lelaki yg meninggal tersebut, sebagaimana keterangan dalam kitab Syarah Ibnu Majah ini :
شرح سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 116)
وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان
للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه و سلم قبل دعوة المرأة التي
مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع
ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة
Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena
Nabi SAW menerima undangan wanita yg wafat suaminyasebagaimana
diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya
dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad
dan Ibn Majah.(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116).
Demikian juga menurut
Al Bani ulama andalan para Wahabi mengenai hadis diatas dalam
kitab
Misykatul Mashobih karangan Muhammad Abdulloh Al Khothib al Tibriziy
cetakan Beirut dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani, dia
menshohihkannya serta menggunakan
lafadz yang menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah istri dari lelaki yang meninggal :
مشكاة المصابيح - (ج 3 / ص 292)
5942 - [ 75 ] ( صحيح ) وعن عاصم بن كليب عن
أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في
جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر يقول :
" أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه " فلما رجع استقبله داعي امرأته
فأجاب ونحن معه وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا
Artinya : Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang
muncullah
istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan.
Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya,
kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Link :
http://islamport.com/d/1/alb/1/81/677.html
Dalam hadits ini disebutkan kata
daa`i imroatih (داعى امرأته) (pengundang dari istri mayit) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh (داعى امرأته)
DEMIKIAN PULA RIWAYAT SHAHIH DIBAWAH INI :
جامع الأحاديث - (ج 26 / ص 302)
29163- عن الأحنف بن قيس قال سمعت عمر بن
الخطاب يقول : إن قريشا رؤوس الناس ، لا يدخل أحد منهم فى باب إلا دخل معه
فيه طائفة من الناس ، فلم أدر ما تأويل قوله فى ذا حتى طعن ، فلما احتضر
أمر صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا
حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جىء بالطعام ووضعت الموائد ،
فأمسك الناس عنها للحزن الذى هم فيه ، فقال العباس عبد النطلب : أيها الناس
إن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات
أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لا بد من الأجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم
مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا ، فعرفت قول عمر إنهم رؤوس
الناس (ابن سعد ، وابن منيع ، وأبو بكر فى الغيلانيات ، وابن عساكر) [كنز
العمال 37305] أخرجه ابن سعد (4/29) .
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: Sesungguhnya kaum
Qurays adalah pemimpin2 para manusia. Tidak akan masuk seseorang dari
kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang orang, maka saya
tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar ra terluka sebelum
wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan
memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika
mereka kembali dari mengantarkan jenazah,
makanan disuguhkan dan hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdul Muththalib Ra : Wahai hadirin..,
Sungguh
telah wafat Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, lalu
wafat Abubakar Ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu
adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau Ra
mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan
tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir
Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal
wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29,
Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
JUGA DI DALAM KITAB AL MATHALIB AL ALIYAH KARYA AL IMAM AL HAFIZH IBNU HAJAR AL ATSQOLANIY JUZ 1 HAL 198-199 :
المطالب العالية بزوائد المسانيد الثمانية لابن حجر ... » كِتَابُ الْجَنَائِزِ » بَابُ صَنْعَةِ الطَّعَامِ لأَهْلِ الْمَيِّتِ (ج 1 – ص 198-199)
عن أحنف بن قيس: كنت أسمع عمر يقول لايدخل أحد
من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتي طعن عمر فأمر
صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثا وأمر بأن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من
الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي همّ فيه فجاء
العباس بن عبد المطلب فقال: ياأيها الناس قد مات رسول الله صلي الله عليه
وسلم فأكلنا بعده وشربنا ومات أبوبكر فأكلنا بعده وشربنا أيها الناس كلوا
من هذا الطعام فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا رفت تأويل ذلك
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: tidak akan masuk
seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang
orang, maka saya tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar
terluka (karena tikaman), maka dia memerintahkan Shuhaib untuk
mensholati dengan orang orang tiga kali dan
memerintahkan
menghidangkan makanan untuk orang-orang, maka tatkala kembali dari
janazah, mereka datang dan telah disiapkan hidangan-hidangan,
maka orang-orang menahan diri (tidak menyentuh) makanan-makanan tsb
karena kesedihan yang telah menimpa mereka, maka datanglah Abbas Bin
Abdul Mutholib seraya berkata: “Wahai manusia
telah
meninggal Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, dan telah
meninggal Abu Bakar RA. Dan kita makan dan minum sesudahnya, wahai
manusia makanlah dari makanan makanan ini, maka dia mengulurkan
tangannya dan orang orangpun mengulurkan tangan tangan mereka, maka
mereka makan dan saya tahu apa arti dari itu semua.
Link :
http://www.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?indexstartno=0&hflag=1&pid=449835&bk_no=325&startno=0
Lihat pula hadis ini Sohih ini, Imam Bukhori/ Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ
لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا
أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ
فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا
فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ
اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ
الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW
, bahwa apabila
seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan
berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya,
maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung
dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur.
Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits yg terakhir di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa
pemberian
makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah
tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi
makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh
dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang
dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian,
tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak
generasi sahabat Nabi SAW.
INI ATSAR SHOHIH YG DINUQIL AL IMAM AL HAFIZH JALALUDDIN AS SUYUTHI MENGENAI SEDEKAH MAKANAN DARI AHLUL MAYYIT :
الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 266)
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب
الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن
الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“ Thowus berkata “ Sungguh
orang-orang yang telah meninggal
dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka
(sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti
dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
SEMENTARA DALAM RIWAYAT LAIN BELIAU BERKATA PULA :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata “ Dua orang yakni seorang mukmin dan
seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia
difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama
empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar
Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.Thowus
yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi
pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai
lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat
tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh
hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin
Khoththob Ra. Menurut Imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw
bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi
Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat
Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebagaimana kaidah yang
diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa “ Setiap riwayat seorang
sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang
tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu
hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf
(riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus :
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah
dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar
(bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah
meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw
telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw
sendiri. (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh
hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan
sahabat Nabi SAW. Dan ini adalah kesimpulan yang diambil oleh beliau,
sebagaimana perkataan beliau ini :
الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 288)
إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة
إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن
وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم
الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن.
Sesungguhnya
kesunatan memberikan makanan selama 7 hari,
telah sampai khobarnya kepada saya bahwa hal tsb merupakan perbuatan
yang tetap berlangsung sampai sekarang ( yaitu masanya Al Imam Alhafizh
Jalaluddin Al Suyuthiy, sekitar abad ke 19 H ) di Makkah dan Madinah.
Yang jelas kebiasaan tsb TIDAK PERNAH DITINGGALKAN SEJAK MASA SAHABAT
SAMPAI SEKARANG, dan TRADISI TERSEBUT MEREKA AMBIL DARI ULAMA KHOLAF DAN
SALAF SEJAK GENERASI PERTAMA ( yaitu para sahabat).
KOMENTAR ULAMA SYAFI’IYYAH :
ASY SYEKH MUHAMMAD NAWAWI BIN UMAR BERKATA :
نهاية الزين - (ج 1 / ص 281)
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر
أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان
وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام
العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت
كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام
“SEDEKAH untuk mayit dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Sedekah
tersebut tidak terikat dengan hari ketujuh atau lebih atau kurang.
Adapun mengaitkan sedekah dengan sebagian hari adalah merupakan bagian
dari adat saja, sebagaimana apa yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad
Dahlan. Dan telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yaitu
bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematiannya dan pada hari
ketujuh, dan pada sempurnanya kedua puluh, ke empat puluh dan ke
seratus. Setelah itu dilaksanakanlah haul setiap tahun pada hari
kematiannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Yusuf as
Sunbulawaini.”
Sedangkan pemberian makanan dimana orang menjadi berkumpul
disana pada waktu malam mayat dipendam yg dinamakan dengan “wahsyah”
(kesedihan/duka cita) maka hukumnya adalah makruh, selama bukan diambil
dari harta anak yatim, bila tidak demikian (maksudnya : diambil dari
harta anaka yatim) maka hukumya adalah haram. Demikian keterangan di
dalam kitab Kasyful Litsaam.
Ket : Jadi jelas sekali dalam keterangan diatas, bahwa Syekh Muhammad Nawawi
membedakan
antara makanan yang digunakan sebagai Sedekah (dengan menyebutnya
sebagai tuntunan syara' yang dianjurkan) dan makanan yang masuk kategori
WAHSYAH (dengan menyebutnya memakai label hukum makruh).
KOMENTAR ULAMA MALIKIYYAH :
ASY SYEKH AHMAD BIN GHONIM BIN SALIM AN NAFRAWIY AL MALIKY MENJELASKAN :
الفواكه الدواني - (ج 2 / ص 668)
وأما ما يصنعه أقارب الميت من الطعام وجمع
الناس عليه فإن كان لقراءة قرآن ونحوها مما يرجى خيره للميت فلا بأس به،
وأما لغير ذلك فيكره، ولا ينبغي لأحد الأكل منه إلا أن يكون الذي صنعه من
الورثة بالغا رشيدا فلا حرج في الأكل منه، وأما لو كان الميت أوصى بفعله
عند موته فإنه يكون في ثلثه ويجب تنفيذه
“Adapun
MENGHIDANGKAN MAKANAN YANG DILAKUKAN OLEH KERABAT
MAYIT DAN MENGUMPULKAN ORANG-ORANG DALAM ACARA TERSEBUT, JIKA DENGAN
MAKSUD UNTUK MEMBACA AL QURAN DAN SEBAGAINYA, YANG MANA DIHARAPKAN
KEBAIKANNYA BAGI SI MAYIT, maka hal itu TIDAK APA-APA. Namun jika tujuannya bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh,
dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut
kecuali si ahli waris yg membuat makanan itu sudah “baligh” dan
“rosyid”maka tidak ada salah /dosa dengan memakannya. Sedangkan apabila
sang mayyit berwasiyat untuk melakukannya (memberi makan) ketika
kematiannya maka diambilkan sepertiga haartanya dan
WAJIB MENUNAIKANNYA !!!!
Ket : Syekh Ahmad bin Ghonim juga dengan jelas mengungkapakan bahwa
bila
alasan menghidangkan makanan adalah untuk membaca Al Quran, dzikir dsb
dimana kebaikannya kembali kepada mayyit maka tidak apa2 melakukannya, berbeda bila tujuannya tidak demikian, maka
hukumnya beralih menjadi Makruh !!!
Demikian pula Imam Malik bin Anas,
pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah
menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh.
Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata :
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ
كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ
الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi
seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik.
Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh
al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
KOMENTAR ULAMA HAMBALIYYAH :
IBNU QUDAMAH AL HAMBALI JUGA BERKATA :
المغني - (ج 5 / ص 48)
فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا
لِلنَّاسِ ، فَمَكْرُوهٌ ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ ،
وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ .
وَرُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ ، فَقَالَ : هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ ؟ قَالَ : لَا .
قَالَ : فَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .
قَالَ : ذَاكَ النَّوْحُ .
وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ ؛
فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى
وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ
إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ .
Bila
keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka
makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan
meniru-niru perbuatan jahiliyah.
Dan telah diriwayatkan bahawasanya Jarir datang kepada Umar. Lalu Umar
bertanya : Apakah mayat kamu diratapi..??? jawab Jarir : Tidak. Umar
bertanya lagi : Apakah mereka berkumpul di rumah si mati dan mereka
membuat makanan?” Jawab Jarir : Ya, berkata Umar : Itulah ratapan.
Bila
mereka MELAKUKANNYA KARENA ADA SEBAB ATAU HAJAT, MAKA
HAL ITU DIPERBOLEHKAN, karena barangkali diantara yang hadir mayyit
mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang
jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka
mesti dijamu. (Almughniy Juz 2 hal 215).
Ket : Syek Ibnu Qudamah juga menjelaskan bahwa Makruh membuat makanan yg
bisa menambah musibah, menyibukkan ahlul mayyit dan meniru-niru
perbuatan jahiliyyah, namun bila ternyata juga memberikan rukhshoh
(dispensasi) bila ada hajat maka hal tsb diperbolehkan !!!Juga di
halaman selanjutnya beliau juga memberikan tambahan keterangan :
المغني - (ج 5 / ص 80)
وَأَنَّهُ إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ ؛
فَإِنَّهُمْ فِي كُلِّ عَصْرٍ وَمِصْرٍ يَجْتَمِعُونَ وَيَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ ، وَيُهْدُونَ ثَوَابَهُ إلَى مَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ .
Dan sudah menjadi
ijma’ kaum muslimin bahwa sesungguhnya di
setiap masa dan setiap kota mereka berkumpul dan membaca al Quran.
Mereka menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang mati mereka tanpa ada
pengingkaran”
MUFTI AGUNG MASR (MESIR) SYEH PROF.
DR. ALI JUM`AH MUHAMMAD KETIKA DITANYA TENTANG BERKUMPUL DI KELUARGA
MAYIT UNTUK BEDZIKIR,BERDOA DAN MAKAN MAKANANNYA (الاجتماع عند اهلي
الميت علي الذكر والدعاء والطعام), BELIAU BERFATWA DAN MENUKIL PENDAPAT
ULAMA DARI MADZHAB HANAFI :
لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان
لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما
يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام
ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان
العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي
الحنفية
Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan
SYARAT
perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan
dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu
membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka
hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM.
Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara
seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahthowi
Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan
kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa. Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.
Link :
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=427&LangID=1
Bahkan Ulama besar andalan para Wahabipun, yang bernama Syekh Bin Baz, jugamemperbolehkan mengundang tetangga mayit untu makan bersama, bisa dilihat fatwanya dibawah ini :
كتاب: الدروس المهمة لعامة الأمة لشيخ عبدالعزيز بن باز
و لا حرج على أهل الميت أن يدعوا جيرانهم، أو غيرهم للأكل من الطعام المهدى إليهم، و ليس لذلك وقت محدود فيما نعلم من الشرع.
Dan
TIDAK MENGAPA/DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk
MENGUNDANG tetangga-tetangga mereka, atau selain mereka, untuk MAKAN
BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini.
Link :
http://www.al-eman.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9%20**/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9/i148&d1574&c&p1
Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, ia berkata :
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم
والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس
مع زوارهم
.
“Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana.
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur
keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan
memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh
atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya
tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para
pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah,
juz 13 hal. 371).
Satu Lagi Fatwa Bin Bazz dalam fatwa resminya :
عشاء الوالدين
س: الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله: نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو
أحدهما، وله طرق متعددة، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض
العمال والفقراء، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد، وبعضهم يذبح ذبيحة
ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما
هي الصفة المناسبة له؟
ج: الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة؛ لقول «النبي صلى الله
عليه وسلم: لما سأله سائل قائلا: هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد
موتهما؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما
وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما » ولقوله صلى الله عليه
وسلم: «إن من أبر البر أن يصل الرجل أهل ود أبيه » «وقوله صلى الله عليه
وسلم لما سأله سائل قائلا: إن أمي ماتت ولم توص أفلها أجر إن تصدقت عنها؟
قال النبي صلى الله عليه وسلم نعم » ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم: «إذا
مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد
صالح يدعو له » . وهذه الصدقة لا مشاحة في تسميتها بعشاء الوالدين، أو صدقة
الوالدين سواء كانت في رمضان أو غيرهم
ا
“HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUA
Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua
orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat
mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian
pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang
berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan
membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri
ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar?
Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang
dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua
orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan
ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali
kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik
adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya:
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan
mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir,
ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah
semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau
sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau
selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz
13 hal. 253-254).
Link :
http://islamancient.com/play.php?catsmktba=34354
LALU BAGAIMANA KITA MENYIKAPI HADIS
RIWAYAT JARIR (YANG DHOHIRNYA SEOLAH-OLAH BERTENTANGAN DENGAN HADIS
KULAIB DAN HADIS2 LAIN YG MEMBOLEHKAN MAKAN-MAKANAN YANG DIHIDANGKAN
OLEH AHLUL MAYYIT) YANG MELARANG MEMAKAN DAN MENYEDIAKAN HIDANGAN PADA
KASUS DIATAS ?????
Dari pemaparan kami diatas tentang
Hadits, Atsar Sahabat,
kita mendapat bahwasanya dalil kami yang membolehkan hidangan dalam
acara kematian bertentangan dengan Atsar Jarir Bin Abdullah yang
melarang hidangan dalam kematian. “
kita melihat bahwasanya menghidangkan makanan dalam ahli mayyit adalah bagian dari ratapanLantas bagaimana sikap kita terhadap kedua dalil yang bertentangan ini?
Menurut
ilmu Mustholah Hadits, jika ada 2 dalil yang bertentangan jika
memungkinkan untuk dikumpulkan (jama’) maka dalil tersebut harus
dikumpulkan (dijama;), Berikut keterangan dari Syeikh Abdul Qodir Syeikh
Muhammad Matan dalam kitab Al Bayan Fi Ahkamil Mauta Wal Qubur cetakan moqdisyo Somalia tahun 2006
tentang mengumpulkan (jama’) antara dalil kami dan Atsar Jarir bin Abdullah
أمـّا المنع الوارد: في حديث جرير بن عبد الله
البجلي (كنا نعد الإجتماع لأهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة) رواه أحمد
وابن ماجه ، فمخصوص في تـهيئة الطعام للنائحات أو لقصد مجرد الإجتماع
للطعام أو للمعزين فقط ، أو من تركة الميت قبل قسمتها ، لا لقصد التصدق عن
الميت التي أجمعت عليه الأمة بغير قيد بوقت معين ، بل في كل وقت وحين عقب
الدفن أو بعده ، ومعلوم كما تنص القاعدة المشهورة (أن الأمور بمقاصدها)
لقوله صلي الله عليه وسلم ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرإ ما نوي)
رواه الشيخان وأصحاب السنن .
Adapun larangan yang terdapat dalam atsar Jarir Bin Abdullah (kita
melihat bahwasanya berkumpul pada ahli mayyit dan menghidangkan makanan
adalah bagian dari ratapan) dikhususkan hanya untuk makanan yang dihidangkan untuk para peratap, atau hanya untuk berkumpul kumpul karena makanan, atau diambil dari harta warisan si mayyit sebelum dibagi,
bukan dengan maksud shodaqoh dari mayyit yang telah di ijma’kan oleh
umat tentang kesunnahannya tanpa terikat waktu., bahkan setiap waktu
meskipun itu sesudah dikuburkannya mayyit atau belum. Dan sebagaimana
qaidah yang berlaku, (segala perkara adalah tergantung niatnya)
berdasarkan sabda Rasulullah SAW. “Bahwasanya segala amal perbuatan itu
adalah tergantung pada niatnya)
Kesimpulannya hukum dari metode Mengumpulkan dua dalil yang bertentangan diatas :
Menghidangkan makanan dalam acara kematian Jika diniati shodaqoh dan pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit hukumnya
sunnah dasar hukumnya adalah Hadits Nabi, Atsar Sahabat, dan perkataan ulama yang tersebut pada dalil dalil kami,
namun menghidangkan makanan jika diniati untuk para peratap, untuk
mengundang tetangga dan supaya berkumpul semata seperti adat kaum
jahiliyyah. Maka hal ini jelas tidak boleh
dasar hukumnya adalah dalilnya saudara kita yaitu atsar Jarir Bin Abdullah, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Nawawi diatas.
Demikianlah hasil
jama’ (mengumpulkan) antara kedua dalil yang
bertentangan, sebagaimana dalam ilmu Mustholah Hadits, jikalau ada dua
hadits yang bertentangan maka jika memungkinkan maka dua hadits tersebut
harus di
Jama’ (dikumpulkan/digabung jadi satu) namun jika tidak mungkin, maka harus diketahui mana yang
Nasikh dan mana yang
Mansukh,
dan jikalau tidak mungkin maka didahulukan Ayat Al Qur’an, baru Hadits
Mutawatir, kemudian Hadits Shohih, Hadits Hasan dst. Sementara dari
pemaparan diatas jelas bahwasanya atsar Jarir Bin Abdullah dan Hadits
Nabi diatas mungkin untuk dikumpulkan sebagaimana yang anda lihat
diatas.
Jika saudaraku masih bingung tentang kaidah mengumpulkan dua Hadits yang
bertentangan dibawah ini kami berikan contoh hukum Syariat Islam yang
disarikan dari mengumpulkan dua hadits yang bertentangan:
- Rasulullah melarang umatnya buang air besar / kecil menghadap atau
membelakangi kiblat, sementara ada hadits yang menunjukkan bahwasanya
Rasulullah pernah buang air besar / kecil dengan menghadap atau
membelakangi kiblat namun di tempat tertutup. Kesimpulan hukum:
dilarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat ditempat terbuka,
dan boleh buang air menghadap atau membelakangi kiblat di tempat
tertutup seperti di Wc / Toilet
- Atsar Jarir bin Abdullah melarang hidangan makanan dalam kematian
karena yang seperti itu adalah bagian dari ratapan dan adat kaum
Jahiliyyah, sementara ada Hadits Nabi dan Atsar Sahabat lain yang
menunjukkan bahwa mereka juga pernah menghidangkan makanan dalam acara
kematian, kesimpulan hukum : Harammenghidangkan makanan
bagi para peratap dan semata mengundang orang orang supaya berkumpul
dirumahnya guna meratapi si mayyit sebagaimana adat jahiliyah, dan Sunnah menghidangkan makanan jika diniati sodaqoh dan pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit, dan mengundang untuk mendoakan si mayyit.
PENUTUP : Perlu
diketahui, keterangan2 dan nash2 Ibarat yang sering dicomot oleh para
Wahabi mengenai pendapat para ulama yang dhohirnya seolah-olah tidak
membolehkan memakan makanan yang disuguhkan oleh ahlul mayyit, ternyata
sama ataupun gak jauh beda 'illat dan kasusnya sebagaiman penjelasan
kami diatas, baik dalil yang mereka comot dan mutilasi dari kitab
I'anatuth Tholibin, Tuhfatul Muhtaj, dsb, semuanya bermuara pada hadis
riwayat Jarir diatas, sebagaimana contoh yang mereka bahas di link ini :
http://www.konsultasisyariah.com/menghadiahkan-pahala-sedekah-untuk-mayit/#axzz2CZoqQDJ3
Dan ini adalah link untuk jawaban dari manipulasi kitab I'anatuth Tholibin yg Wahabi lakukan :
http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2012/01/mengusik-amalan-tahlil-dengan.html
Jadi semua keterangan Kami diatas sudah cukup untuk
MENJAWAB dan
MEMBONGKAR KEJAHILAN serta
KEJAHATAN INTELEKTUAL MEREKA !!!!