Dikisahkan,
beberapa abad lalu di masa akhir era tabi’in, hidup seorang pemuda dari
kalangan biasa namun saleh luar biasa.
Suatu
hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan
di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di
sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu. Dalam kondisi yang lapar, Tsabit
pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang
tanpa diduga di saat yang tepat.
Tanpa
pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru
segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel
ini? bisiknya dalam hati. Meski
menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin
empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon
yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan
milikku,” kata Tsabit menyesal.
Ia
pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu?
Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas
apel yang sudah digigitnya itu.
Cukup
jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel.
Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat
sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut
terbawa arus air.
Tsabit
pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun
apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah
apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini,
apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah
dimakan segigit itu.
Namun,
penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya
dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang
berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga
kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima
mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak
sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik
apel. Akhirnya, ia sampai di
sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan
memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah
jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit
mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya
datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di
sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas
apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,”
ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel
itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang
tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!”
Penasaran dengan pemilik
kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang
harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak memaafkanmu, demi
Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.
“Kau harus menikahi
putriku.”
Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit
ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi
merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu
berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu,
Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit
masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit
sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit
menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.
“Datanglah ba’da Isya untuk
berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
***
Malam
hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk
ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat.
Hatinya
dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi
syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar
istrinya.
Betapa
terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya
lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri
Tsabit.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak
percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun,
Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya.
“Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya
mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu
berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi
Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu
yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu
juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya
benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,”
kata si gadis.
“Tapi,
Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”
“Ayahku
benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di
dalamnya terdapat rida Allah.”
“Tapi,
ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”
“Ya,
ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat
yang Allah murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit
memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur.
Sang
pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu
hingga jelas kehalalannya.
Melihat
kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu,
menikahkannya dengan putrinya yang salehah.
Dari
pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal,
yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu
Hanifah.
Bersama
istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar
dari empat madzab.
Kisah
pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat
dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.
Buku
terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta
informasi biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut
tabi’in di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.
Sebagaimana
diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi,
pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80
hijriah atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan
“Fiqh al-Akbar”, yang hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para
pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.
Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.
Saat
ini, mazhab Hanafi merupakan satu dari empat mazhab yang paling banyak dianut
Muslim Sunni di dunia. Mazhab tersebut juga menjadi dasar kekhalifahan masa
Dinasti Abbasiyyah dan Turki Usmani, serta dianut oleh Kekaisaran Mughal di
India.
Di
era sekarang, mazhab Hanafi banyak digunakan Muslim di beberapa negara Timur
Tengah dan Asia Selatan, seperti Turki, Afghanistan, India, Pakistan,
Bangladesh, serta di Suriah, Lebanon, Turki, Iran, Irak, dan Palestina.
MENINGGALKAN SYUBHAT
Banyak
hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Pemuda dan Buah Apel tersebut. Di antaranya,
meninggalkan syubhat, yakni perkara yang samar dan meragukan.
Sang
pemuda, Tsabit, meragukan kehalalan apel yang didapatkannya tanpa membeli,
menanam, atau pun dari pemberian.
Ia
pun meyakinkan kehalalan terhadap apa yang dimakannya tersebut dengan meminta
keridaan sang pemilik.
Tsabit
sangat berhati-hati terhadap apa yang ia masukkan ke perutnya. Meski
menemukannya di jalan yang seharusnya tak lagi dimiliki orang lain, Tsabit
merasa ragu ia akan melanggar hak kepemilikan si pemilik kebun.
Ia
takut bahwa memakan harta orang lain dapat membawa kemurkaan Allah. Maka,
Tsabit pun meminta izin dari sang pemilik apel.
Allah
dalam firmannya pun telah mewanti-wanti Muslimin agar tak terhanyut dengan
perkara syubhat. Pasalnya, syubhat sering kali membawa seseorang terjatuh pada
keharaman karena meremehkan perkara tersebut.
“Katakanlah, tidak sama yang buruk dengan yang
baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada
Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 100).
Rasulullah
pun menyebutkan dalam hadis An-Nu’man bin Basyir, “Siapa yang terjatuh ke dalam
syubhat (perkara yang samar), berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram,”
sabda Rasul.
Dalam
hadis yang lain, Rasulullah juga memerintahkan Muslimin agar meninggalkan segala
perkara syubhat. “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak
meragukanmu!”
Seringkali kita lalai pada perkara syubhat dan tanpa sadar jatuh pada keharaman. Bahkan, tak sedikit pula yang justru dengan sadar melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran agar berhati-hati dan menjauhkan diri dari segala perkara haram dan syubhat. Setiap Muslim hendaknya melakukan sesuatu yang telah jelas kehalalannya. Setiap makanan, pakaian, harta harus dipastikan kehalalannya.
Selain itu, terdapat hikmah lain yang dapat kita petik dari kisah Tsabit dan gadis yang salehah, yakni pria saleh akan mendapat atau berjodoh dengan wanita yang salehah, demikian pula sebaliknya.
Tsabit
seorang pemuda saleh yang tanpa diduga ia pun menikahi wanita yang sangat
salehah. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik ,dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...,” demikian (QS an Nur: 26).
BERIKUT TEKS IBAROHNYA
يحكى أنه في القرن الأول الهجري كان هناك شابا تقياً يطلب العلم ومتفرغ له ولكنه
كان فقيرًا ، وفي يوم من الأيام خرج من بيته من شدة الجوع ولأنه لم يجد ما يأكله فانتهى به الطريق إلى أحد البساتين والتي كانت مملوءة بأشجار التفاح وكان أحد أغصان شجرة منها متدليًا في الطريق فحدثته نفسه أن يأكل هذه التفاحة ويسد بها رمقه ولا أحد يراه ولن ينقص هذا البستان بسبب تفاحة واحده فقطف تفاحة واحدة وجلس يأكلها حتى ذهب جوعه ولما رجع إلى بيته بدأت نفسه تلومه ...
وهذا هو حال الإنسان المؤمن دائمــًا
جلس يفكر ويقول كيف أكلت هذه التفاحة وهي ملك لغيرى ولم أستأذن منه ولم أستسمحه
فذهب يبحث عن صاحب البستان حتى وجده
فقال له الشاب يا عم بالأمس بلغ بي الجوع مبلغا عظيماً وأكلت تفاحة من بستانك من
دون علمك ، وجئت لك اليوم أستأذنك فيها ...
فقال له صاحب البستان .. والله لا أسامحك بل أنا خصيمك يوم القيامة عند الله
بدأ الشاب المؤمن يبكي ويتوسل إليه أن يسامحه وقال له أنا مستعد أن أعمل أي شيء كى تسامحني و أخذ يتوسل وصاحب البستان لا يزداد إلا إصرارًا وذهب وتركه والشاب يلحقه ويتوسل إليه حتى دخل بيته ....
وبقي الشاب عند البيت ينتظر خروجه إلى صلاة العصر فلما خرج صاحب البستان وجد الشاب لا زال واقفًا ودموعه التي تحدرت على وجهه فزادته نورًا غير نور الطاعة والعلم
فقال الشاب لصاحب البستان ....
يا عم إنني مستعد للعمل فلاحًا في هذا البستان من دون أجر باقي عمري أو أي أمر تريد ولكن بشرط أن تسامحني
عندها أطرق صاحب البستان يفكر ثم قال ....
يا بني إنني مستعد أن أسامحك الآن لكن بشرط فرح الشاب وتهلل وجهه بالفرح وقال اشترط ما تشاء ؟؟؟
فقال صاحب البستان شرطي هو أن تتزوج ابنتي صدم الشاب من هذا الجواب وذهل ولم يستوعب بعد هذا الشرط ثم أكمل صاحب البستان قوله ...
ولكن يا بني إعلم أن ابنتي عمياء وصماء وبكماء وأيضا جليسة الفراش لا تمشي ومنذ زمن وأنا أبحث لها عن زوج استأمنه عليها ويقبل بها بجميع مواصفاتها التي ذكرتها
فإن وافقت عليها سامحتك ....
صُدِم الشاب مرةً أخرى بهذه المصيبة الثانية ...
وبدأ يفكر كيف يعيش مع هذه العلة خصوصًا أنه لازال في مقتبل العمر
وكيف تقوم بشؤونه وترعى بيته وتهتم به وهي بهذه العاهات
بدأ يحسبها ويقول أصبر عليها في الدنيا ولكن أنجو من ورطة التفاحة ...
ثم توجه إلى صاحب البستان وقال له يا عم لقد قبلت ابنتك وأسأل الله أن يجازيني على نيتي وأن يعوضني خيرًا مما أصابني ...
فقال صاحب البستان . حسنـًا يا بني، موعدك الخميس القادم عندي في البيت لوليمة
زواجك وأنا أتكفل لك بمهرها ....
فلما كان يوم الخميس جاء هذا الشاب متثاقل الخطى حزين الفؤاد منكسر الخاطر
ليس كأي زوج ذاهب إلى يوم عرسه فلما طرق الباب فتح له أبوها وأدخله البيت
وبعد أن تجاذبا أطراف الحديث قال له يا بني تفضل بالدخول على زوجتك وبارك الله
لكما وعليكما وجمع بينكما فى خير
وأخذه بيده وذهب به إلى الغرفة التي تجلس فيها ابنته فلما فتح الباب ورآها ...
إذا بفتاة بيضاء أجمل من القمر قد انسدل شعرها كالحرير على كتفيها فقامت ومشت إليه فإذا هي ممشوقة القوام وسلمت عليه وقالت ....
السلام عليك يا زوجي
أما صاحبنا فهو قد وقف في مكانه يتأملها وكأنه أمام حورية من حوريات الجنة
نزلت إلى الأرض وهو لا يصدق ما يرى ولا يعلم ما الذي حدث ولماذا وصفها أبوها بالصماء العمياء
ففهمت الفتاة ما يدور في رأس الشاب فذهبت إليه وصافحته وقبلت يده وقالت ...
إنني عمياء من النظر الى الحرام....
وبكماء من النطق بالحرام
وصماء من الإستماع إلى الحرام
ولا تخطو قدماى خطوة إلى الحرام
وإنني وحيدة أبي ومنذ عدة سنوات وأبي يبحث لي عن زوج صالح ، فلما جئت أنت
تستأذنه في تفاحة وتبكي من أجلها كى يسامحك
قال أبي أن من يخاف من أكل تفاحة لا تحل له فمن المؤكد أن يخاف الله في ابنتي
فهنيئـًا لي بك زوجـًا
وهنيئا لأبي بك نسبـًا
وبعد عام أنجبت هذه الفتاة من هذا الشاب غلامًا كان من القلائل الذين مرّوا على هذه الأمة
أتدرون من ذلك الغلام .......
إنه الإمام الفقيه أبو حنيفة النعمان
صاحب أول وأكبر مدرسة فقهية فى التاريخ
ندعو الله العلى العظيم أن يوقعنا
جميعــًا فى مثل هذه الورطة
يحكى أنه في القرن الأول الهجري كان هناك شابا تقياً يطلب العلم ومتفرغ له ولكنه
كان فقيرًا ، وفي يوم من الأيام خرج من بيته من شدة الجوع ولأنه لم يجد ما يأكله فانتهى به الطريق إلى أحد البساتين والتي كانت مملوءة بأشجار التفاح وكان أحد أغصان شجرة منها متدليًا في الطريق فحدثته نفسه أن يأكل هذه التفاحة ويسد بها رمقه ولا أحد يراه ولن ينقص هذا البستان بسبب تفاحة واحده فقطف تفاحة واحدة وجلس يأكلها حتى ذهب جوعه ولما رجع إلى بيته بدأت نفسه تلومه ...
وهذا هو حال الإنسان المؤمن دائمــًا
جلس يفكر ويقول كيف أكلت هذه التفاحة وهي ملك لغيرى ولم أستأذن منه ولم أستسمحه
فذهب يبحث عن صاحب البستان حتى وجده
فقال له الشاب يا عم بالأمس بلغ بي الجوع مبلغا عظيماً وأكلت تفاحة من بستانك من
دون علمك ، وجئت لك اليوم أستأذنك فيها ...
فقال له صاحب البستان .. والله لا أسامحك بل أنا خصيمك يوم القيامة عند الله
بدأ الشاب المؤمن يبكي ويتوسل إليه أن يسامحه وقال له أنا مستعد أن أعمل أي شيء كى تسامحني و أخذ يتوسل وصاحب البستان لا يزداد إلا إصرارًا وذهب وتركه والشاب يلحقه ويتوسل إليه حتى دخل بيته ....
وبقي الشاب عند البيت ينتظر خروجه إلى صلاة العصر فلما خرج صاحب البستان وجد الشاب لا زال واقفًا ودموعه التي تحدرت على وجهه فزادته نورًا غير نور الطاعة والعلم
فقال الشاب لصاحب البستان ....
يا عم إنني مستعد للعمل فلاحًا في هذا البستان من دون أجر باقي عمري أو أي أمر تريد ولكن بشرط أن تسامحني
عندها أطرق صاحب البستان يفكر ثم قال ....
يا بني إنني مستعد أن أسامحك الآن لكن بشرط فرح الشاب وتهلل وجهه بالفرح وقال اشترط ما تشاء ؟؟؟
فقال صاحب البستان شرطي هو أن تتزوج ابنتي صدم الشاب من هذا الجواب وذهل ولم يستوعب بعد هذا الشرط ثم أكمل صاحب البستان قوله ...
ولكن يا بني إعلم أن ابنتي عمياء وصماء وبكماء وأيضا جليسة الفراش لا تمشي ومنذ زمن وأنا أبحث لها عن زوج استأمنه عليها ويقبل بها بجميع مواصفاتها التي ذكرتها
فإن وافقت عليها سامحتك ....
صُدِم الشاب مرةً أخرى بهذه المصيبة الثانية ...
وبدأ يفكر كيف يعيش مع هذه العلة خصوصًا أنه لازال في مقتبل العمر
وكيف تقوم بشؤونه وترعى بيته وتهتم به وهي بهذه العاهات
بدأ يحسبها ويقول أصبر عليها في الدنيا ولكن أنجو من ورطة التفاحة ...
ثم توجه إلى صاحب البستان وقال له يا عم لقد قبلت ابنتك وأسأل الله أن يجازيني على نيتي وأن يعوضني خيرًا مما أصابني ...
فقال صاحب البستان . حسنـًا يا بني، موعدك الخميس القادم عندي في البيت لوليمة
زواجك وأنا أتكفل لك بمهرها ....
فلما كان يوم الخميس جاء هذا الشاب متثاقل الخطى حزين الفؤاد منكسر الخاطر
ليس كأي زوج ذاهب إلى يوم عرسه فلما طرق الباب فتح له أبوها وأدخله البيت
وبعد أن تجاذبا أطراف الحديث قال له يا بني تفضل بالدخول على زوجتك وبارك الله
لكما وعليكما وجمع بينكما فى خير
وأخذه بيده وذهب به إلى الغرفة التي تجلس فيها ابنته فلما فتح الباب ورآها ...
إذا بفتاة بيضاء أجمل من القمر قد انسدل شعرها كالحرير على كتفيها فقامت ومشت إليه فإذا هي ممشوقة القوام وسلمت عليه وقالت ....
السلام عليك يا زوجي
أما صاحبنا فهو قد وقف في مكانه يتأملها وكأنه أمام حورية من حوريات الجنة
نزلت إلى الأرض وهو لا يصدق ما يرى ولا يعلم ما الذي حدث ولماذا وصفها أبوها بالصماء العمياء
ففهمت الفتاة ما يدور في رأس الشاب فذهبت إليه وصافحته وقبلت يده وقالت ...
إنني عمياء من النظر الى الحرام....
وبكماء من النطق بالحرام
وصماء من الإستماع إلى الحرام
ولا تخطو قدماى خطوة إلى الحرام
وإنني وحيدة أبي ومنذ عدة سنوات وأبي يبحث لي عن زوج صالح ، فلما جئت أنت
تستأذنه في تفاحة وتبكي من أجلها كى يسامحك
قال أبي أن من يخاف من أكل تفاحة لا تحل له فمن المؤكد أن يخاف الله في ابنتي
فهنيئـًا لي بك زوجـًا
وهنيئا لأبي بك نسبـًا
وبعد عام أنجبت هذه الفتاة من هذا الشاب غلامًا كان من القلائل الذين مرّوا على هذه الأمة
أتدرون من ذلك الغلام .......
إنه الإمام الفقيه أبو حنيفة النعمان
صاحب أول وأكبر مدرسة فقهية فى التاريخ
ندعو الله العلى العظيم أن يوقعنا
جميعــًا فى مثل هذه الورطة
http://www.islamray.net/vb/showthread.php?t=1616
Tidak ada komentar:
Posting Komentar