Hukum Ijab Qabul dan Salaman Saat Serah Terima Zakat
Zakat merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan jalan mengeluarkan sebagian porsi dari harta yang dimilikinya. Ada dua bentuk penyerahan zakat, yakni
(1) kepada petugas amil zakat atau
(2) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) secara langsung.
Para ulama madzhab Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa lebih utama menyerahkan zakat fithrah secara langsung kepada mustahiq, namun boleh juga apabila ia menyerahkannya kepada petugas amil zakat. Al-Imâm An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al-Majmû :
ﻭﺍﺗﻔﻖ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺄﻓﻀﻞ ﺃﻥ ﻳﻔﺮﻕ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻛﻤﺎ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟيه ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻨﺺ ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻮ ﺩﻓﻌﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺈﻣﺎﻡ ﺃﻭ ﺍﻟﺴﺎﻋﻲ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺗﺠﻤﻊ ﻋﻨﺪﻩ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺃﺫﻥ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺇﺧﺮﺍﺟﻬﺎ ﺃﺟﺰﺃﻩ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﻔﺮﻳﻘﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﻭﻣﻤﻦ ﺻﺮﺡ ﺑﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﺎﻭﺭﺩﻱ ﻭﺍﻟﻤﺤﺎﻣﻠﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺠﺮﻳﺪ ﻭﺍﻟﺒﻐﻮﻱ ﻭﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﻭﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﺄﺻﺤﺎﺏ
(المجموع شرح المهذب ج ٦ ص ١٣٩)
"Dan para ulama madzhab Asy-Syâfi'iy sepakat bahwa yang lebih utama (afdhal) adalah menyerahkan zakat fithrah secara langsung oleh diri sendiri, sebagaimana hal tersebut telah diisyaratkan oleh Al-Imâm Asy-Syâfi'iy secara tekstual.
Adapun apabila seseorang menyerahkannya kepada penguasa atau amil (petugas shadaqah), atau seseorang yang mengumpulkan zakat fithrah untuk dibagikan kepada para mustahiq dan telah memberikan izin kepadanya untuk mengeluarkannya, maka zakatnya sah.
Akan tetapi, menyerahkannya secara langsung oleh diri sendiri lebih utama (afdhal), daripada menyerahkannya kepada semua itu seluruhnya. Di antara yang ulama yang menegaskan hal ini adalah Al-Mâwardiy, Al-Mahâmiliy dalam At-Tajrîd, Al-Baghawiy, As-Sarakhsiy, dan sekelompok ulama madzhab Asy-Syâfi'iy yang lain."
[selesai kutipan]
Di antara hikmah menyerahkan zakat fithrah secara langsung adalah selain memastikan sampainya zakat pada penerima yang tepat, hal tersebut juga dapat mempererat ukhuwah dan silaturahim terutama apabila mustahiq tersebut termasuk kerabat.
Dalam fiqih, untuk menandai telah terjadinya serah terima maka diperlukan sebuah lafazh ijab dan qabul.
Perlu diketahui dahulu bahwa zakat adalah bentuk sedekah, yaitu sedekah yang wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah :
الصدقة : تطلق بمعنيين : الأول : ما أعطيته من المال قاصدا به وجه الله تعالى فيشمل ما كان واجبا وهو الزكاة ، وما كان تطوعا .
والثاني : أن تكون بمعنى الزكاة ، أي في الحق الواجب خاصة ، ومنه الحديث : ” ليس فيما دون خمس ذود صدقة ” (أخرجه البخاري 3 / 323
“Sedekah, dimutlakkan pada 2 makna : Pertama: harta yang diberikan kepada orang lain dalam rangka mengharap wajah Allah Ta’ala, mencakup yang wajib yaitu zakat, ataupun yang sunnah.
Kedua: maknanya zakat, yaitu sedekah yang wajib secara khusus. Berdasarkan hadits: ‘yang kurang dari lima dzaud tidak terkena sedekah (baca: zakat)‘ (HR. Al Bukhari 3/323).” [selesai]
Perhatikan, dalam hadits tersebut zakat disebut dengan sedekah. Syaikh 'Abdullah Al Faqih juga mengatakan :
فالزكاة والصدقة لفظان بينهما عموم وخصوص مطلق، أي أن أحدهما أعم وأشمل من الآخر، وهذا الأعم هو الصدقة والزكاة أخص منها، فكل زكاة صدقة وليس كل صدقة زكاة
“Zakat dan sedekah adalah dua kata yang punya hubungan umum dan khusus. Yaitu, salah satunya lebih umum dari yang lain. Yang lebih umum adalah sedekah, dan zakat lebih khusus. Setiap zakat adalah sedekah dan tidak setiap sedekah adalah zakat.”
Para ulama menjelaskan bahwa dalam transaksi atau muamalah sedekah, tidak diwajibkan lafazh ijab-qabul. Cukup menyerahkan harta yang disedekahkan kepada penerima sedekah, itu sudah sah. Dalilnya hadits berikut :
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
"Al Hasan bin 'Aliy mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullah shallallahu‘alahi wa sallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Al Hafizh Al Iraqi, ulama besar madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini :
فيه أنه لا يشترط في كل من الهدية والصدقة الإيجاب والقبول باللفظ بل يكفي القبض وتملك به فإن سلمان رضي الله عنه اقتصر على مجرد وضعه والنبي صلى الله عليه وسلم إنما سأله ليتميز له الهدية المباحة عن الصدقة المحرمة عليه ولم يوجد من النبي صلى الله عليه وسلم لفظ في قبول الهدية ، وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار مذهب الشافعي وقطع به غير واحد من الشافعية واحتجوا بهذا الحديث وغيره من الأحاديث التي فيها حمل الهدايا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فيقبلها ولا لفظ هناك قالوا وعلى هذا جرى الناس في الأعصار ولذلك كانوا يبعثون بها على أيدي الصبيان الذين لا عبارة لهم وفي المسألة وجه لبعض أصحابنا أنه يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع والهبة والوصية وهو ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه
“Dalam hadits ini ada faedah bahwa tidak disyaratkan lafazh ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman radhi’allahu’anhu hanya sekadar meletakkan (kurma tersebut). Dan Nabi shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah sedekah yang haram (bagi beliau). Tidak ada lafazh qabul dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh madzhab Asy Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka berdalil dengan hadits ini. Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafazh pun. Dan ini lah yang terjadi di masa Nabi ketika itu. Oleh karena itu, mereka biasa memberikan sesuatu kepada anak kecil yang (lafazh ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama madzhab Syafi’i yang mensyaratkan lafazh ijab-qabul seperti dalam jual beli, hibah dan wasiat. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al Ghazali dan murid-murid beliau.”
(Tharhu At Tatsrib fi Syarh At Taqrib, 4/40)
Juga dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam Raudhatut Thalibin :
أما الهبة فلا بد فيها من الإيجاب والقبول باللفظ كالبيع وسائر التمليكات. وأما الهدية ففيها وجهان أحدهما يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع والوصية وهذا ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه والثاني لا حاجة فيها إلى إيجاب وقبول باللفظ بل يكفي القبض ويملك به وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار المذهب ونقله الإثبات من متأخري الأصحاب وبه قطع المتولي والبغوي واعتمده الروياني وغيرهم
“Adapun hibah, maka wajib dengan lafazh ijab-qabul, seperti jual-beli dan transaksi kepemilikan yang lain. Adapun hadiah, ada dua pendapat: Pertama, disyaratkan lafazh ijab-qabul seperti jual-beli dan wasiat. Ini yang ditegaskan Asy Syaikh Abu Hamid dan murid-murid beliau. Kedua, tidak perlu ada lafazh ijab-qabul, bahkan cukup dengan penyerahan dan sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Inilah yang shahih dan menjadi pegangan madzhab Syafi’i, dan dinukil dari para ulama besar Syafi’iyyah muta’akhirin, dan inilah yang ditegaskan oleh Al Mutawalli, Al Baghawi, dan dipegang oleh Ar Ruyani dan lainnya”.
Setelah itu beliau rahimahullah menyatakan :
الصدقة كالهدية بلا فرق فيما ذكرناه
“Sedekah sama hukumnya seperti hadiah, tidak ada perbedaan pada apa yang telah kami jelaskan”.
Imam As-Suyuthi – ulama Syafi'iyah – dalam karyanya tentang kaidah fikih, Al-Asybah wa An-Nadzair, membagi beberapa akad muamalah berdasarkan ada tidaknya ijab qabul menjadi 5 bagian. Beliau rahimahullah mengatakan :
تقسيم ثالث من العقود ما لا يفتقر إلى الإيجاب ، والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب لفظا ، ولا يفتقر إلى القبول لفظا . بل يكفي الفعل . ومنها : ما لا يفتقر إليه أصلا ، بل شرطه : عدم الرد ومنها : ما لا يرتد بالرد . فهذه خمسة أقسام
“Pembagian yang ketiga dalam akad;
¤ Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan.
¤ Akad yang membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan.
¤ Akad yang membutuhkan ijab dengan dilafalkan dan tidak membutuhkan qabul dengan dilafalkan, namun cukup dengan tindakan.
¤ Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul sama sekali, bahkan syaratnya tidak bisa dibatalkan.
¤ Akad yang tidak bisa kembali, meskipun dibatalkan.
Itulah lima pembagian akad.”
Kemudian beliau menyebutkan contohnya masing-masing. Diantara contoh yang beliau sebutkan :
فالأول منه : الهدية ، فالصحيح أنه لا يشترط فيها الإيجاب والقبول لفظا ، بل يكفي البعث من المهدي ، والقبض من المهدى إليه… ومنه : الصدقة قال الرافعي : وهي كالهدية ، بلا فرق
"Contoh yang pertama, hadiah. Pendapat yang benar, tidak disyaratkan adanya ijab qabul dengan dilafalkan. Namun cukup memberikan hadiah dari si pemberi, dan diterima oleh orang yang mendapatkannya… termasuk juga; sedekah. Ar-Rafi'i mengatakan, ‘Sedekah seperti hadiah, tidak ada perbedaan.’
(Al-Asybah wa An-Nadzair, 1/468)
Imam Al-Bujairimi Asy-Syafi'i rahimahullah berkata :
"Dan tidaklah disyaratkan adanya ijab dan qabul, baik pada hadiah maupun sedekah (sedekah wajib/zakat atau sedekah tathawu'), namun cukup dengan penyerahan (serah terima) dari si pemilik sedekah/hadiah kepada si penerima sedekah/hadiah...."
(Al-Bujairimi 'Alal Khathib, 3/651)
Ijab-Qabul Terkadang dengan Ucapan Terkadang dengan Perbuatan
Andaikan mengikuti pendapat ulama yang mensyaratkan adanya ijab-qabul dalam sedekah, maka ijab-qabul tidak mesti berupa ucapan. Namun bisa juga dengan isyarat, atau dengan perbuatan yang menunjukkan ridha dari kedua pihak. Imam An Nawawi dalam Raudhatut Thalibin menyatakan :
ويمكن أن يحمل كلام من اعتبر الإيجاب والقبول على الأمر المشعر بالرضى دون اللفظ ويقال الأشعار بالرضى قد يكون لفظاً وقد يكون فعلاً
“Pendapat yang mengatakan wajib ada ijab-qabul mungkin untuk kita bawa kepada konsep bahwa ijab-qabul itu perkara yang dapat dirasakan dengan keridhaan walaupun tidak ada lafazh yang diucapkan. Dan dikatakan bahwa perasaan ridha itu terkadang bisa berupa perkataan, terkadang bisa berupa perbuatan”.
Kesimpulan
Membayar zakat tidak diwajibkan adanya lafazh ijab-qabul, hukumnya sah walau tanpa lafazh ijab-qabul. Karena zakat termasuk akad searah, sebagaimana hadiah dan sedekah. Sehingga statusnya sah dengan diserahkan kepada yang berhak, sekalipun tidak ada kesepakatan. Apalagi dengan lafazh-lafazh yang ditetapkan sedemikian rupa atau dengan tata-cara tertentu seperti bersalaman atau semisalnya, tidak ada tuntunan demikian. Namun jika dilakukan dengan lafazh ijab-qabul, hukumnya boleh, karena para ulama hanya menjelaskan bahwa itu tidak wajib. Dan lafazh-nya tidak ada ketentuan, bahkan sangat fleksibel. Misalnya pembayar zakat mengatakan, “ini pak zakat fithri dari saya“, lalu penerima zakat menjawab, “baik mas, terima kasih“. Ini sudah merupakan lafazh ijab-qabul.
Atau pun jika hanya ada lafazh ijab saja dari pemberi zakat tanpa jawaban dari penerimanya, atau lafazh qabul saja dari si penerima sedangkan yang memberi tidak berkata apa-apa, ini juga sudah sah. Atau bahkan tanpa ada perkataan apa-apa, cukup penyerahan harta yang dizakatkan, ini juga sah. Sebagaimana dijelaskan para ulama.
Justru jika zakat itu langsung diberikan kepada mustahiq dengan memberitahunya malah akan menyinggung perasaannya. Zakat itu sudah sah dengan hanya diberikan begitu saja kepada orang yang berhak menerimanya, cukup niat dalam hati saat memberikan, atau bahkan saat memisahkan harta tersebut sebelumnya. Menghargai perasaan para penerima zakat, harus lebih diutamakan untuk menjaga kesempurnaan zakat itu sendiri.
(Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, 6/227. Hasyiyah Dasuqiy, 2/112)
Asy-Syaikh Sulthan Al-Āmiriy hafizhahullah berkata :
الزكاة ، عبادة محلها القلب ، ولايشترط عند تقديمها النطق بها .
ولو نطق بشيء كصدقة ونحوها ونوى أنها زكاة ، فالعبرة بما في قلبه من كونها زكاة .
"Zakat itu ibadah, tempatnya di hati, tidak dipersyaratkan ketika menyerahkannya untuk mengucapkannya.
Seandainya ia mengucapkan sesuatu seperti sedekah dan semisalnya, namun niatnya adalah zakat, maka yang dianggap adalah yang di hatinya bahwa itu adalah zakat."
Wallahu A'lamu bish Shawab
Lihat insight
Komentar
Posting Komentar