copas : http://ustadzrsjcimahi.blogspot.co.id/2015/09/apakah-hidangan-makanan-dalam.html
Ini adalah Hadis2 dan keterangan ulama yang membolehkan memakan makanan yang disuguhkan oleh ahlul mayyit serta perkumpulan yang diperbolehkan di dalamnya :
LIHAT HADIS DI SHOHIH MUSLIM INI :
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Lihat komentar Imam Nawawi :
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
JUGA HADIS INI :
Hadits yang Diriwayatkan Oleh Thabrani Dalam kitab Al Kabir lihat Di Mujamma’ Az Zawaid Dan Manba’ Al Fawaid Lil oleh Hafid Nuruddin Ali bin Abi Bakr Al Haitsami juz 3 hal 5 yang berbunyi sebagai berikut:
Dari Maryam Binti Farwah, bahwa Imran Bin Hushoin tatkala meninggal berkata : jikalau aku telah mati, maka ikatlah diatas perutku surban dan jikalau kalian kembali maka berkorbanlah (menyembelih hewan) dan bersedekahlah dengan itu
MENGENAI MAKAN DI RUMAH DUKA, TERNYATA RASUL SAW TELAH MELAKUKANNYA
DIJELASKAN DALAM KITAB TUHFATUL AHWADZIY :
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul SAW memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Meski ulama berselisih tentang wanita diatas, apakah dia itu istri dari lelaki yg meninggal atau bukan, tapi kita juga tidak menafikan tentang pendapat ulama yg mengatakan bahwa dia adalah istri dari lelaki yg meninggal tersebut, sebagaimana keterangan dalam kitab Syarah Ibnu Majah ini :
Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi SAW menerima undangan wanita yg wafat suaminyasebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116).
Demikian juga menurut Al Bani ulama andalan para Wahabi mengenai hadis diatas dalam kitab Misykatul Mashobih karangan Muhammad Abdulloh Al Khothib al Tibriziy cetakan Beirut dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani, dia menshohihkannya serta menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah istri dari lelaki yang meninggal :
Artinya : Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Link : http://islamport.com/d/1/alb/1/81/677.html
Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih (داعى امرأته) (pengundang dari istri mayit) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh (داعى امرأته)
DEMIKIAN PULA RIWAYAT SHAHIH DIBAWAH INI :
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: Sesungguhnya kaum Qurays adalah pemimpin2 para manusia. Tidak akan masuk seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang orang, maka saya tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika mereka kembali dari mengantarkan jenazah, makanan disuguhkan dan hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdul Muththalib Ra : Wahai hadirin..,Sungguh telah wafat Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar Ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau Ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
JUGA DI DALAM KITAB AL MATHALIB AL ALIYAH KARYA AL IMAM AL HAFIZH IBNU HAJAR AL ATSQOLANIY JUZ 1 HAL 198-199 :
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: tidak akan masuk seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang orang, maka saya tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar terluka (karena tikaman), maka dia memerintahkan Shuhaib untuk mensholati dengan orang orang tiga kali danmemerintahkan menghidangkan makanan untuk orang-orang, maka tatkala kembali dari janazah, mereka datang dan telah disiapkan hidangan-hidangan, maka orang-orang menahan diri (tidak menyentuh) makanan-makanan tsb karena kesedihan yang telah menimpa mereka, maka datanglah Abbas Bin Abdul Mutholib seraya berkata: “Wahai manusia telah meninggal Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, dan telah meninggal Abu Bakar RA. Dan kita makan dan minum sesudahnya, wahai manusia makanlah dari makanan makanan ini, maka dia mengulurkan tangannya dan orang orangpun mengulurkan tangan tangan mereka, maka mereka makan dan saya tahu apa arti dari itu semua.
Link : http://www.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?indexstartno=0&hflag=1&pid=449835&bk_no=325&startno=0
Lihat pula hadis ini Sohih ini, Imam Bukhori/ Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits yg terakhir di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
INI ATSAR SHOHIH YG DINUQIL AL IMAM AL HAFIZH JALALUDDIN AS SUYUTHI MENGENAI SEDEKAH MAKANAN DARI AHLUL MAYYIT :
“ Thowus berkata “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
SEMENTARA DALAM RIWAYAT LAIN BELIAU BERKATA PULA :
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata “ Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra. Menurut Imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebagaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa “ Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus :
“ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri. (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi SAW. Dan ini adalah kesimpulan yang diambil oleh beliau, sebagaimana perkataan beliau ini :
Sesungguhnya kesunatan memberikan makanan selama 7 hari, telah sampai khobarnya kepada saya bahwa hal tsb merupakan perbuatan yang tetap berlangsung sampai sekarang ( yaitu masanya Al Imam Alhafizh Jalaluddin Al Suyuthiy, sekitar abad ke 19 H ) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tsb TIDAK PERNAH DITINGGALKAN SEJAK MASA SAHABAT SAMPAI SEKARANG, dan TRADISI TERSEBUT MEREKA AMBIL DARI ULAMA KHOLAF DAN SALAF SEJAK GENERASI PERTAMA ( yaitu para sahabat).
KOMENTAR ULAMA SYAFI’IYYAH :
ASY SYEKH MUHAMMAD NAWAWI BIN UMAR BERKATA :
“SEDEKAH untuk mayit dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Sedekah tersebut tidak terikat dengan hari ketujuh atau lebih atau kurang. Adapun mengaitkan sedekah dengan sebagian hari adalah merupakan bagian dari adat saja, sebagaimana apa yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Dan telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yaitu bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematiannya dan pada hari ketujuh, dan pada sempurnanya kedua puluh, ke empat puluh dan ke seratus. Setelah itu dilaksanakanlah haul setiap tahun pada hari kematiannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Yusuf as Sunbulawaini.”
Sedangkan pemberian makanan dimana orang menjadi berkumpul disana pada waktu malam mayat dipendam yg dinamakan dengan “wahsyah” (kesedihan/duka cita) maka hukumnya adalah makruh, selama bukan diambil dari harta anak yatim, bila tidak demikian (maksudnya : diambil dari harta anaka yatim) maka hukumya adalah haram. Demikian keterangan di dalam kitab Kasyful Litsaam.
Ket : Jadi jelas sekali dalam keterangan diatas, bahwa Syekh Muhammad Nawawimembedakan antara makanan yang digunakan sebagai Sedekah (dengan menyebutnya sebagai tuntunan syara' yang dianjurkan) dan makanan yang masuk kategori WAHSYAH (dengan menyebutnya memakai label hukum makruh).
KOMENTAR ULAMA MALIKIYYAH :
ASY SYEKH AHMAD BIN GHONIM BIN SALIM AN NAFRAWIY AL MALIKY MENJELASKAN :
“Adapun MENGHIDANGKAN MAKANAN YANG DILAKUKAN OLEH KERABAT MAYIT DAN MENGUMPULKAN ORANG-ORANG DALAM ACARA TERSEBUT, JIKA DENGAN MAKSUD UNTUK MEMBACA AL QURAN DAN SEBAGAINYA, YANG MANA DIHARAPKAN KEBAIKANNYA BAGI SI MAYIT, maka hal itu TIDAK APA-APA. Namun jika tujuannya bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh, dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut kecuali si ahli waris yg membuat makanan itu sudah “baligh” dan “rosyid”maka tidak ada salah /dosa dengan memakannya. Sedangkan apabila sang mayyit berwasiyat untuk melakukannya (memberi makan) ketika kematiannya maka diambilkan sepertiga haartanya dan WAJIB MENUNAIKANNYA !!!!
Ket : Syekh Ahmad bin Ghonim juga dengan jelas mengungkapakan bahwa bila alasan menghidangkan makanan adalah untuk membaca Al Quran, dzikir dsb dimana kebaikannya kembali kepada mayyit maka tidak apa2 melakukannya, berbeda bila tujuannya tidak demikian, maka hukumnya beralih menjadi Makruh !!!
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata :
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
KOMENTAR ULAMA HAMBALIYYAH :
IBNU QUDAMAH AL HAMBALI JUGA BERKATA :
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru-niru perbuatan jahiliyah.
Dan telah diriwayatkan bahawasanya Jarir datang kepada Umar. Lalu Umar bertanya : Apakah mayat kamu diratapi..??? jawab Jarir : Tidak. Umar bertanya lagi : Apakah mereka berkumpul di rumah si mati dan mereka membuat makanan?” Jawab Jarir : Ya, berkata Umar : Itulah ratapan.
Bila mereka MELAKUKANNYA KARENA ADA SEBAB ATAU HAJAT, MAKA HAL ITU DIPERBOLEHKAN, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu. (Almughniy Juz 2 hal 215).
Ket : Syek Ibnu Qudamah juga menjelaskan bahwa Makruh membuat makanan yg bisa menambah musibah, menyibukkan ahlul mayyit dan meniru-niru perbuatan jahiliyyah, namun bila ternyata juga memberikan rukhshoh (dispensasi) bila ada hajat maka hal tsb diperbolehkan !!!Juga di halaman selanjutnya beliau juga memberikan tambahan keterangan :
Dan sudah menjadi ijma’ kaum muslimin bahwa sesungguhnya di setiap masa dan setiap kota mereka berkumpul dan membaca al Quran. Mereka menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang mati mereka tanpa ada pengingkaran”
MUFTI AGUNG MASR (MESIR) SYEH PROF. DR. ALI JUM`AH MUHAMMAD KETIKA DITANYA TENTANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT UNTUK BEDZIKIR,BERDOA DAN MAKAN MAKANANNYA (الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام), BELIAU BERFATWA DAN MENUKIL PENDAPAT ULAMA DARI MADZHAB HANAFI :
Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM. Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahthowi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa. Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.
Link : http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=427&LangID=1
Bahkan Ulama besar andalan para Wahabipun, yang bernama Syekh Bin Baz, jugamemperbolehkan mengundang tetangga mayit untu makan bersama, bisa dilihat fatwanya dibawah ini :
Dan TIDAK MENGAPA/DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk MENGUNDANG tetangga-tetangga mereka, atau selain mereka, untuk MAKAN BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini.
Link : http://www.al-eman.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9%20**/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9/i148&d1574&c&p1
Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, ia berkata :
“Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana.
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371).
Satu Lagi Fatwa Bin Bazz dalam fatwa resminya :
“HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUA
Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar?
Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 253-254).
Link :
http://islamancient.com/play.php?catsmktba=34354
LALU BAGAIMANA KITA MENYIKAPI HADIS RIWAYAT JARIR (YANG DHOHIRNYA SEOLAH-OLAH BERTENTANGAN DENGAN HADIS KULAIB DAN HADIS2 LAIN YG MEMBOLEHKAN MAKAN-MAKANAN YANG DIHIDANGKAN OLEH AHLUL MAYYIT) YANG MELARANG MEMAKAN DAN MENYEDIAKAN HIDANGAN PADA KASUS DIATAS ?????
Dari pemaparan kami diatas tentang Hadits, Atsar Sahabat, kita mendapat bahwasanya dalil kami yang membolehkan hidangan dalam acara kematian bertentangan dengan Atsar Jarir Bin Abdullah yang melarang hidangan dalam kematian. “kita melihat bahwasanya menghidangkan makanan dalam ahli mayyit adalah bagian dari ratapanLantas bagaimana sikap kita terhadap kedua dalil yang bertentangan ini? Menurut ilmu Mustholah Hadits, jika ada 2 dalil yang bertentangan jika memungkinkan untuk dikumpulkan (jama’) maka dalil tersebut harus dikumpulkan (dijama;), Berikut keterangan dari Syeikh Abdul Qodir Syeikh Muhammad Matan dalam kitab Al Bayan Fi Ahkamil Mauta Wal Qubur cetakan moqdisyo Somalia tahun 2006 tentang mengumpulkan (jama’) antara dalil kami dan Atsar Jarir bin Abdullah
Adapun larangan yang terdapat dalam atsar Jarir Bin Abdullah (kita melihat bahwasanya berkumpul pada ahli mayyit dan menghidangkan makanan adalah bagian dari ratapan) dikhususkan hanya untuk makanan yang dihidangkan untuk para peratap, atau hanya untuk berkumpul kumpul karena makanan, atau diambil dari harta warisan si mayyit sebelum dibagi, bukan dengan maksud shodaqoh dari mayyit yang telah di ijma’kan oleh umat tentang kesunnahannya tanpa terikat waktu., bahkan setiap waktu meskipun itu sesudah dikuburkannya mayyit atau belum. Dan sebagaimana qaidah yang berlaku, (segala perkara adalah tergantung niatnya) berdasarkan sabda Rasulullah SAW. “Bahwasanya segala amal perbuatan itu adalah tergantung pada niatnya)
Kesimpulannya hukum dari metode Mengumpulkan dua dalil yang bertentangan diatas :
Menghidangkan makanan dalam acara kematian Jika diniati shodaqoh dan pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit hukumnya sunnah dasar hukumnya adalah Hadits Nabi, Atsar Sahabat, dan perkataan ulama yang tersebut pada dalil dalil kami, namun menghidangkan makanan jika diniati untuk para peratap, untuk mengundang tetangga dan supaya berkumpul semata seperti adat kaum jahiliyyah. Maka hal ini jelas tidak boleh dasar hukumnya adalah dalilnya saudara kita yaitu atsar Jarir Bin Abdullah, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Nawawi diatas.
Demikianlah hasil jama’ (mengumpulkan) antara kedua dalil yang bertentangan, sebagaimana dalam ilmu Mustholah Hadits, jikalau ada dua hadits yang bertentangan maka jika memungkinkan maka dua hadits tersebut harus di Jama’ (dikumpulkan/digabung jadi satu) namun jika tidak mungkin, maka harus diketahui mana yang Nasikh dan mana yang Mansukh, dan jikalau tidak mungkin maka didahulukan Ayat Al Qur’an, baru Hadits Mutawatir, kemudian Hadits Shohih, Hadits Hasan dst. Sementara dari pemaparan diatas jelas bahwasanya atsar Jarir Bin Abdullah dan Hadits Nabi diatas mungkin untuk dikumpulkan sebagaimana yang anda lihat diatas.
Jika saudaraku masih bingung tentang kaidah mengumpulkan dua Hadits yang bertentangan dibawah ini kami berikan contoh hukum Syariat Islam yang disarikan dari mengumpulkan dua hadits yang bertentangan:
PENUTUP : Perlu diketahui, keterangan2 dan nash2 Ibarat yang sering dicomot oleh para Wahabi mengenai pendapat para ulama yang dhohirnya seolah-olah tidak membolehkan memakan makanan yang disuguhkan oleh ahlul mayyit, ternyata sama ataupun gak jauh beda 'illat dan kasusnya sebagaiman penjelasan kami diatas, baik dalil yang mereka comot dan mutilasi dari kitab I'anatuth Tholibin, Tuhfatul Muhtaj, dsb, semuanya bermuara pada hadis riwayat Jarir diatas, sebagaimana contoh yang mereka bahas di link ini :http://www.konsultasisyariah.com/menghadiahkan-pahala-sedekah-untuk-mayit/#axzz2CZoqQDJ3
Dan ini adalah link untuk jawaban dari manipulasi kitab I'anatuth Tholibin yg Wahabi lakukan :http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2012/01/mengusik-amalan-tahlil-dengan.html
Jadi semua keterangan Kami diatas sudah cukup untuk MENJAWAB dan MEMBONGKAR KEJAHILAN serta KEJAHATAN INTELEKTUAL MEREKA !!!!
- Saudara- saudara kita dari golongan WAHABI yang menolak Tahlilan berpendapat bahwa menghidangkan makanan dalam Tahlilan adalah HARAM dan dilarang, karena hal itu adalah termasuk NIYAHAH (Meratapi kematian), WAHSYAH ( Kesedihan/duka cita), atau MA'TAM (berkumpul untuk berkabung dan berduka cita), lalu mereka tidak segan-segan memberi label dan cap Ahlu Bid'ah dan Ahlu Dholalah kepada para pelakunya...!!!! Mereka bahkan juga berani menggeneralisir, tidak memberikan toleransi sama sekali atas suatu peristiwa dan 'illat2 (sebab2) yang berbeda dengan hadis2/fatwa2 ulama yg mengatakan hal tsb sbg Bid'ah. Pokok'e BID'AH !!!! Itulah kira2 kata mereka, tanpa mempertimbangkan kaidah : Al Hukmu yaduuru ma'a 'illatihi wujuudan wa 'adaman (الْحُكْمَ يَدُورُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا). Hukum itu bisa berubah-ubah sesuai dengan alasan2/sebab2 yg menyertainya. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat dan vonis yang salah/tidak pada tempatnya ini adalah dikarenakan kesalahan cara berfikir dan cara pandang para pengikut Wahabi dalam memahami dan menelaah serta menelan mentah2 teks-teks redaksi yang tertera dalam kitab2 fiqh maupun hadis, tanpa meneliti lebih jauh mendalam dan membandingkan dengan kitab2 fiqh dan hadis serta pendapat2 ulama yang lainnya.... !!!!
Ini adalah Hadis2 dan keterangan ulama yang membolehkan memakan makanan yang disuguhkan oleh ahlul mayyit serta perkumpulan yang diperbolehkan di dalamnya :
LIHAT HADIS DI SHOHIH MUSLIM INI :
صحيح مسلم - (ج 5 / ص 174)
1672 - و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا
هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ
افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ
تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Lihat komentar Imam Nawawi :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
JUGA HADIS INI :
Hadits yang Diriwayatkan Oleh Thabrani Dalam kitab Al Kabir lihat Di Mujamma’ Az Zawaid Dan Manba’ Al Fawaid Lil oleh Hafid Nuruddin Ali bin Abi Bakr Al Haitsami juz 3 hal 5 yang berbunyi sebagai berikut:
المعجم الكبير - (ج 18 / ص 106)
199 - حدثنا محمد بن علي بن شعيب ثنا خالد بن
خداش ثنا حفص بن النصر السلمي عن أمه بنت محمد بن عمران عن أمها مريم بنت
فروة أن عمران بن حصين : لما حضره الوفاة قال : إذا أنا مت فشدوا على بطني
عمامة وإذا رجعتم فانحروا وأطعموا
Dari Maryam Binti Farwah, bahwa Imran Bin Hushoin tatkala meninggal berkata : jikalau aku telah mati, maka ikatlah diatas perutku surban dan jikalau kalian kembali maka berkorbanlah (menyembelih hewan) dan bersedekahlah dengan itu
MENGENAI MAKAN DI RUMAH DUKA, TERNYATA RASUL SAW TELAH MELAKUKANNYA
DIJELASKAN DALAM KITAB TUHFATUL AHWADZIY :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه
بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر
يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي
امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث
رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات
فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“Riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul SAW memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Meski ulama berselisih tentang wanita diatas, apakah dia itu istri dari lelaki yg meninggal atau bukan, tapi kita juga tidak menafikan tentang pendapat ulama yg mengatakan bahwa dia adalah istri dari lelaki yg meninggal tersebut, sebagaimana keterangan dalam kitab Syarah Ibnu Majah ini :
شرح سنن ابن ماجه - (ج 1 / ص 116)
وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان
للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه و سلم قبل دعوة المرأة التي
مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع
ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة
Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi SAW menerima undangan wanita yg wafat suaminyasebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116).
Demikian juga menurut Al Bani ulama andalan para Wahabi mengenai hadis diatas dalam kitab Misykatul Mashobih karangan Muhammad Abdulloh Al Khothib al Tibriziy cetakan Beirut dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani, dia menshohihkannya serta menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa wanita tersebut adalah istri dari lelaki yang meninggal :
مشكاة المصابيح - (ج 3 / ص 292)
5942 - [ 75 ] ( صحيح ) وعن عاصم بن كليب عن
أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في
جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر يقول :
" أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه " فلما رجع استقبله داعي امرأته
فأجاب ونحن معه وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا
Artinya : Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Link : http://islamport.com/d/1/alb/1/81/677.html
Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih (داعى امرأته) (pengundang dari istri mayit) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh (داعى امرأته)
DEMIKIAN PULA RIWAYAT SHAHIH DIBAWAH INI :
جامع الأحاديث - (ج 26 / ص 302)
29163- عن الأحنف بن قيس قال سمعت عمر بن
الخطاب يقول : إن قريشا رؤوس الناس ، لا يدخل أحد منهم فى باب إلا دخل معه
فيه طائفة من الناس ، فلم أدر ما تأويل قوله فى ذا حتى طعن ، فلما احتضر
أمر صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا
حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جىء بالطعام ووضعت الموائد ،
فأمسك الناس عنها للحزن الذى هم فيه ، فقال العباس عبد النطلب : أيها الناس
إن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات
أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لا بد من الأجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم
مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا ، فعرفت قول عمر إنهم رؤوس
الناس (ابن سعد ، وابن منيع ، وأبو بكر فى الغيلانيات ، وابن عساكر) [كنز
العمال 37305] أخرجه ابن سعد (4/29) .
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: Sesungguhnya kaum Qurays adalah pemimpin2 para manusia. Tidak akan masuk seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang orang, maka saya tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika mereka kembali dari mengantarkan jenazah, makanan disuguhkan dan hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdul Muththalib Ra : Wahai hadirin..,Sungguh telah wafat Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar Ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau Ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
JUGA DI DALAM KITAB AL MATHALIB AL ALIYAH KARYA AL IMAM AL HAFIZH IBNU HAJAR AL ATSQOLANIY JUZ 1 HAL 198-199 :
المطالب العالية بزوائد المسانيد الثمانية لابن حجر ... » كِتَابُ الْجَنَائِزِ » بَابُ صَنْعَةِ الطَّعَامِ لأَهْلِ الْمَيِّتِ (ج 1 – ص 198-199)
عن أحنف بن قيس: كنت أسمع عمر يقول لايدخل أحد
من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتي طعن عمر فأمر
صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثا وأمر بأن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من
الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي همّ فيه فجاء
العباس بن عبد المطلب فقال: ياأيها الناس قد مات رسول الله صلي الله عليه
وسلم فأكلنا بعده وشربنا ومات أبوبكر فأكلنا بعده وشربنا أيها الناس كلوا
من هذا الطعام فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا رفت تأويل ذلك
Dari Ahnaf Bin Qays: saya mendengar Umar RA berkata: tidak akan masuk seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali masuk bersamanya orang orang, maka saya tidak tahu apa arti perkataanya hingga ketika Umar terluka (karena tikaman), maka dia memerintahkan Shuhaib untuk mensholati dengan orang orang tiga kali danmemerintahkan menghidangkan makanan untuk orang-orang, maka tatkala kembali dari janazah, mereka datang dan telah disiapkan hidangan-hidangan, maka orang-orang menahan diri (tidak menyentuh) makanan-makanan tsb karena kesedihan yang telah menimpa mereka, maka datanglah Abbas Bin Abdul Mutholib seraya berkata: “Wahai manusia telah meninggal Rasulullah SAW dan kita makan dan minum setelahnya, dan telah meninggal Abu Bakar RA. Dan kita makan dan minum sesudahnya, wahai manusia makanlah dari makanan makanan ini, maka dia mengulurkan tangannya dan orang orangpun mengulurkan tangan tangan mereka, maka mereka makan dan saya tahu apa arti dari itu semua.
Link : http://www.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?indexstartno=0&hflag=1&pid=449835&bk_no=325&startno=0
Lihat pula hadis ini Sohih ini, Imam Bukhori/ Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ
لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا
أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ
فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا
فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ
اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ
الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits yg terakhir di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
INI ATSAR SHOHIH YG DINUQIL AL IMAM AL HAFIZH JALALUDDIN AS SUYUTHI MENGENAI SEDEKAH MAKANAN DARI AHLUL MAYYIT :
الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 266)
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب
الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن
الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“ Thowus berkata “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
SEMENTARA DALAM RIWAYAT LAIN BELIAU BERKATA PULA :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا
“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata “ Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra. Menurut Imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebagaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa “ Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus :
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
“ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri. (al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi SAW. Dan ini adalah kesimpulan yang diambil oleh beliau, sebagaimana perkataan beliau ini :
الحاوي للفتاوي للسيوطي - (ج 3 / ص 288)
إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة
إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن
وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم
الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن.
Sesungguhnya kesunatan memberikan makanan selama 7 hari, telah sampai khobarnya kepada saya bahwa hal tsb merupakan perbuatan yang tetap berlangsung sampai sekarang ( yaitu masanya Al Imam Alhafizh Jalaluddin Al Suyuthiy, sekitar abad ke 19 H ) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tsb TIDAK PERNAH DITINGGALKAN SEJAK MASA SAHABAT SAMPAI SEKARANG, dan TRADISI TERSEBUT MEREKA AMBIL DARI ULAMA KHOLAF DAN SALAF SEJAK GENERASI PERTAMA ( yaitu para sahabat).
KOMENTAR ULAMA SYAFI’IYYAH :
ASY SYEKH MUHAMMAD NAWAWI BIN UMAR BERKATA :
نهاية الزين - (ج 1 / ص 281)
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر
أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان
وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام
العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت
كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني
أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم كذا في كشف اللثام
“SEDEKAH untuk mayit dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Sedekah tersebut tidak terikat dengan hari ketujuh atau lebih atau kurang. Adapun mengaitkan sedekah dengan sebagian hari adalah merupakan bagian dari adat saja, sebagaimana apa yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Dan telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yaitu bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematiannya dan pada hari ketujuh, dan pada sempurnanya kedua puluh, ke empat puluh dan ke seratus. Setelah itu dilaksanakanlah haul setiap tahun pada hari kematiannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Yusuf as Sunbulawaini.”
Sedangkan pemberian makanan dimana orang menjadi berkumpul disana pada waktu malam mayat dipendam yg dinamakan dengan “wahsyah” (kesedihan/duka cita) maka hukumnya adalah makruh, selama bukan diambil dari harta anak yatim, bila tidak demikian (maksudnya : diambil dari harta anaka yatim) maka hukumya adalah haram. Demikian keterangan di dalam kitab Kasyful Litsaam.
Ket : Jadi jelas sekali dalam keterangan diatas, bahwa Syekh Muhammad Nawawimembedakan antara makanan yang digunakan sebagai Sedekah (dengan menyebutnya sebagai tuntunan syara' yang dianjurkan) dan makanan yang masuk kategori WAHSYAH (dengan menyebutnya memakai label hukum makruh).
KOMENTAR ULAMA MALIKIYYAH :
ASY SYEKH AHMAD BIN GHONIM BIN SALIM AN NAFRAWIY AL MALIKY MENJELASKAN :
الفواكه الدواني - (ج 2 / ص 668)
وأما ما يصنعه أقارب الميت من الطعام وجمع
الناس عليه فإن كان لقراءة قرآن ونحوها مما يرجى خيره للميت فلا بأس به،
وأما لغير ذلك فيكره، ولا ينبغي لأحد الأكل منه إلا أن يكون الذي صنعه من
الورثة بالغا رشيدا فلا حرج في الأكل منه، وأما لو كان الميت أوصى بفعله
عند موته فإنه يكون في ثلثه ويجب تنفيذه
“Adapun MENGHIDANGKAN MAKANAN YANG DILAKUKAN OLEH KERABAT MAYIT DAN MENGUMPULKAN ORANG-ORANG DALAM ACARA TERSEBUT, JIKA DENGAN MAKSUD UNTUK MEMBACA AL QURAN DAN SEBAGAINYA, YANG MANA DIHARAPKAN KEBAIKANNYA BAGI SI MAYIT, maka hal itu TIDAK APA-APA. Namun jika tujuannya bukan untuk hal tersebut, maka hukumnya makruh, dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memakan hidangan tersebut kecuali si ahli waris yg membuat makanan itu sudah “baligh” dan “rosyid”maka tidak ada salah /dosa dengan memakannya. Sedangkan apabila sang mayyit berwasiyat untuk melakukannya (memberi makan) ketika kematiannya maka diambilkan sepertiga haartanya dan WAJIB MENUNAIKANNYA !!!!
Ket : Syekh Ahmad bin Ghonim juga dengan jelas mengungkapakan bahwa bila alasan menghidangkan makanan adalah untuk membaca Al Quran, dzikir dsb dimana kebaikannya kembali kepada mayyit maka tidak apa2 melakukannya, berbeda bila tujuannya tidak demikian, maka hukumnya beralih menjadi Makruh !!!
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata :
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ
كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ
الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
KOMENTAR ULAMA HAMBALIYYAH :
IBNU QUDAMAH AL HAMBALI JUGA BERKATA :
المغني - (ج 5 / ص 48)
فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا
لِلنَّاسِ ، فَمَكْرُوهٌ ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ ،
وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ .
وَرُوِيَ أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ ، فَقَالَ : هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ ؟ قَالَ : لَا .
قَالَ : فَهَلْ يَجْتَمِعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ ، وَيَجْعَلُونَ الطَّعَامَ ؟ قَالَ : نَعَمْ .
قَالَ : ذَاكَ النَّوْحُ .
وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ ؛
فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى
وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ
إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ .
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru-niru perbuatan jahiliyah.
Dan telah diriwayatkan bahawasanya Jarir datang kepada Umar. Lalu Umar bertanya : Apakah mayat kamu diratapi..??? jawab Jarir : Tidak. Umar bertanya lagi : Apakah mereka berkumpul di rumah si mati dan mereka membuat makanan?” Jawab Jarir : Ya, berkata Umar : Itulah ratapan.
Bila mereka MELAKUKANNYA KARENA ADA SEBAB ATAU HAJAT, MAKA HAL ITU DIPERBOLEHKAN, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu. (Almughniy Juz 2 hal 215).
Ket : Syek Ibnu Qudamah juga menjelaskan bahwa Makruh membuat makanan yg bisa menambah musibah, menyibukkan ahlul mayyit dan meniru-niru perbuatan jahiliyyah, namun bila ternyata juga memberikan rukhshoh (dispensasi) bila ada hajat maka hal tsb diperbolehkan !!!Juga di halaman selanjutnya beliau juga memberikan tambahan keterangan :
المغني - (ج 5 / ص 80)
وَأَنَّهُ إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ ؛
فَإِنَّهُمْ فِي كُلِّ عَصْرٍ وَمِصْرٍ يَجْتَمِعُونَ وَيَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ ، وَيُهْدُونَ ثَوَابَهُ إلَى مَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ .
Dan sudah menjadi ijma’ kaum muslimin bahwa sesungguhnya di setiap masa dan setiap kota mereka berkumpul dan membaca al Quran. Mereka menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang mati mereka tanpa ada pengingkaran”
MUFTI AGUNG MASR (MESIR) SYEH PROF. DR. ALI JUM`AH MUHAMMAD KETIKA DITANYA TENTANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT UNTUK BEDZIKIR,BERDOA DAN MAKAN MAKANANNYA (الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام), BELIAU BERFATWA DAN MENUKIL PENDAPAT ULAMA DARI MADZHAB HANAFI :
لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان
لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما
يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام
ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان
العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي
الحنفية
Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM. Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahthowi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa. Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.
Link : http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=427&LangID=1
Bahkan Ulama besar andalan para Wahabipun, yang bernama Syekh Bin Baz, jugamemperbolehkan mengundang tetangga mayit untu makan bersama, bisa dilihat fatwanya dibawah ini :
كتاب: الدروس المهمة لعامة الأمة لشيخ عبدالعزيز بن باز
و لا حرج على أهل الميت أن يدعوا جيرانهم، أو غيرهم للأكل من الطعام المهدى إليهم، و ليس لذلك وقت محدود فيما نعلم من الشرع.
Dan TIDAK MENGAPA/DIBOLEHKAN bagi keluarga mayit untuk MENGUNDANG tetangga-tetangga mereka, atau selain mereka, untuk MAKAN BERSAMA dari makanan yang dihadiahkan ke mereka. Dan tidak ada batasan waktu yang menentukan dalam masalah ini, sepanjang pengetahuan kami dalam syariat agama ini.
Link : http://www.al-eman.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9%20**/%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D9%88%D8%B3%20%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%87%D9%85%D8%A9%20%D9%84%D8%B9%D8%A7%D9%85%D8%A9%20%D8%A7%D9%84%D8%A3%D9%85%D8%A9/i148&d1574&c&p1
Syaikh Ibnu Baz, dalam kitabnya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, ia berkata :
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم
والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس
مع زوارهم
.“Hukum menghadiri majliz ta’ziyah dan duduk-duduk di sana.
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah (tahlilan) dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majliz ta’ziyah dan menghibur keluarga mayit maka hal itu disunnahkan, karena dapat menghibur dan memotivasi kesabaran kepada mereka. Apabila minum secangkir kopi, teh atau memakai minyak wangi (pemberian keluarga mayit), maka hukumnya tidak apa-apa, sebagaimana kebiasaan masyarakat terhadap para pengunjungnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371).
Satu Lagi Fatwa Bin Bazz dalam fatwa resminya :
عشاء الوالدين
س: الأخ أ. م. ع. من الرياض يقول في سؤاله: نسمع كثيرا عن عشاء الوالدين أو
أحدهما، وله طرق متعددة، فبعض الناس يعمل عشاء خاصة في رمضان ويدعو له بعض
العمال والفقراء، وبعضهم يخرجه للذين يفطرون في المسجد، وبعضهم يذبح ذبيحة
ويوزعها على بعض الفقراء وعلى بعض جيرانه، فإذا كان هذا العشاء جائزا فما
هي الصفة المناسبة له؟
ج: الصدقة للوالدين أو غيرهما من الأقارب مشروعة؛ لقول «النبي صلى الله
عليه وسلم: لما سأله سائل قائلا: هل بقي من بر أبوي شيء أبرهما به بعد
موتهما؟ قال نعم الصلاة عليهما والاستغفار لهما وإنفاذ عهدهما من بعدهما
وإكرام صديقهما وصلة الرحم التي لا توصل إلا بهما » ولقوله صلى الله عليه
وسلم: «إن من أبر البر أن يصل الرجل أهل ود أبيه » «وقوله صلى الله عليه
وسلم لما سأله سائل قائلا: إن أمي ماتت ولم توص أفلها أجر إن تصدقت عنها؟
قال النبي صلى الله عليه وسلم نعم » ولعموم قوله صلى الله عليه وسلم: «إذا
مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد
صالح يدعو له » . وهذه الصدقة لا مشاحة في تسميتها بعشاء الوالدين، أو صدقة
الوالدين سواء كانت في رمضان أو غيرهم
ا
“HUKUM KENDURI UNTUK KEDUA ORANG TUA
Soal: Sda AMA, Riyadh. Kami banyak mendengar tentang kenduri untuk kedua orang tua atau salah satunya. Dan banyak caranya. Sebagian masyarakat mengadakan kenduri khusus pada bulan Ramadhan dengan mengudang sebagian pekerja dan fakir miskin. Sebagian lagi mengeluarkannya bagi mereka yang berbuka puasa di Masjid. Sebagian lagi menyembelih hewan dan membagikannya kepada sebagian fakir miskin dan tetangga. Apakah kenduri ini boleh? Lalu bagaimana cara yang wajar?
Jawab: “Sedekah untuk kedua orang tua, atau kerabat lainnya memang dianjurkan syara’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika seseorang bertanya: “Apakah aku masih bisa berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?” “Iya, menshalati jenazahnya, memohonkan ampunan, menepati janjinya, memuliakan teman mereka, menyambung tali kerabatan yang hanya tersambung melalui mereka.” Dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Termasuk kebaktian yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan mereka yang dicintai ayahnya.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketiak seseorang bertanya: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan tidak berwasiat. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iya”. Dan karena keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, sedekah yang mengalir, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendoakannya.” Sedekah semacam ini, tidak menjadi soal dinamakan kenduri kedua orang tua atau sedekah kedua orang tua, baik dilakukan pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (Syaikh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 253-254).
Link :
http://islamancient.com/play.php?catsmktba=34354
LALU BAGAIMANA KITA MENYIKAPI HADIS RIWAYAT JARIR (YANG DHOHIRNYA SEOLAH-OLAH BERTENTANGAN DENGAN HADIS KULAIB DAN HADIS2 LAIN YG MEMBOLEHKAN MAKAN-MAKANAN YANG DIHIDANGKAN OLEH AHLUL MAYYIT) YANG MELARANG MEMAKAN DAN MENYEDIAKAN HIDANGAN PADA KASUS DIATAS ?????
Dari pemaparan kami diatas tentang Hadits, Atsar Sahabat, kita mendapat bahwasanya dalil kami yang membolehkan hidangan dalam acara kematian bertentangan dengan Atsar Jarir Bin Abdullah yang melarang hidangan dalam kematian. “kita melihat bahwasanya menghidangkan makanan dalam ahli mayyit adalah bagian dari ratapanLantas bagaimana sikap kita terhadap kedua dalil yang bertentangan ini? Menurut ilmu Mustholah Hadits, jika ada 2 dalil yang bertentangan jika memungkinkan untuk dikumpulkan (jama’) maka dalil tersebut harus dikumpulkan (dijama;), Berikut keterangan dari Syeikh Abdul Qodir Syeikh Muhammad Matan dalam kitab Al Bayan Fi Ahkamil Mauta Wal Qubur cetakan moqdisyo Somalia tahun 2006 tentang mengumpulkan (jama’) antara dalil kami dan Atsar Jarir bin Abdullah
أمـّا المنع الوارد: في حديث جرير بن عبد الله
البجلي (كنا نعد الإجتماع لأهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة) رواه أحمد
وابن ماجه ، فمخصوص في تـهيئة الطعام للنائحات أو لقصد مجرد الإجتماع
للطعام أو للمعزين فقط ، أو من تركة الميت قبل قسمتها ، لا لقصد التصدق عن
الميت التي أجمعت عليه الأمة بغير قيد بوقت معين ، بل في كل وقت وحين عقب
الدفن أو بعده ، ومعلوم كما تنص القاعدة المشهورة (أن الأمور بمقاصدها)
لقوله صلي الله عليه وسلم ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرإ ما نوي)
رواه الشيخان وأصحاب السنن .
Adapun larangan yang terdapat dalam atsar Jarir Bin Abdullah (kita melihat bahwasanya berkumpul pada ahli mayyit dan menghidangkan makanan adalah bagian dari ratapan) dikhususkan hanya untuk makanan yang dihidangkan untuk para peratap, atau hanya untuk berkumpul kumpul karena makanan, atau diambil dari harta warisan si mayyit sebelum dibagi, bukan dengan maksud shodaqoh dari mayyit yang telah di ijma’kan oleh umat tentang kesunnahannya tanpa terikat waktu., bahkan setiap waktu meskipun itu sesudah dikuburkannya mayyit atau belum. Dan sebagaimana qaidah yang berlaku, (segala perkara adalah tergantung niatnya) berdasarkan sabda Rasulullah SAW. “Bahwasanya segala amal perbuatan itu adalah tergantung pada niatnya)
Kesimpulannya hukum dari metode Mengumpulkan dua dalil yang bertentangan diatas :
Menghidangkan makanan dalam acara kematian Jika diniati shodaqoh dan pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit hukumnya sunnah dasar hukumnya adalah Hadits Nabi, Atsar Sahabat, dan perkataan ulama yang tersebut pada dalil dalil kami, namun menghidangkan makanan jika diniati untuk para peratap, untuk mengundang tetangga dan supaya berkumpul semata seperti adat kaum jahiliyyah. Maka hal ini jelas tidak boleh dasar hukumnya adalah dalilnya saudara kita yaitu atsar Jarir Bin Abdullah, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Nawawi diatas.
Demikianlah hasil jama’ (mengumpulkan) antara kedua dalil yang bertentangan, sebagaimana dalam ilmu Mustholah Hadits, jikalau ada dua hadits yang bertentangan maka jika memungkinkan maka dua hadits tersebut harus di Jama’ (dikumpulkan/digabung jadi satu) namun jika tidak mungkin, maka harus diketahui mana yang Nasikh dan mana yang Mansukh, dan jikalau tidak mungkin maka didahulukan Ayat Al Qur’an, baru Hadits Mutawatir, kemudian Hadits Shohih, Hadits Hasan dst. Sementara dari pemaparan diatas jelas bahwasanya atsar Jarir Bin Abdullah dan Hadits Nabi diatas mungkin untuk dikumpulkan sebagaimana yang anda lihat diatas.
Jika saudaraku masih bingung tentang kaidah mengumpulkan dua Hadits yang bertentangan dibawah ini kami berikan contoh hukum Syariat Islam yang disarikan dari mengumpulkan dua hadits yang bertentangan:
- Rasulullah melarang umatnya buang air besar / kecil menghadap atau membelakangi kiblat, sementara ada hadits yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah pernah buang air besar / kecil dengan menghadap atau membelakangi kiblat namun di tempat tertutup. Kesimpulan hukum: dilarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat ditempat terbuka, dan boleh buang air menghadap atau membelakangi kiblat di tempat tertutup seperti di Wc / Toilet
- Atsar Jarir bin Abdullah melarang hidangan makanan dalam kematian karena yang seperti itu adalah bagian dari ratapan dan adat kaum Jahiliyyah, sementara ada Hadits Nabi dan Atsar Sahabat lain yang menunjukkan bahwa mereka juga pernah menghidangkan makanan dalam acara kematian, kesimpulan hukum : Harammenghidangkan makanan bagi para peratap dan semata mengundang orang orang supaya berkumpul dirumahnya guna meratapi si mayyit sebagaimana adat jahiliyah, dan Sunnah menghidangkan makanan jika diniati sodaqoh dan pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit, dan mengundang untuk mendoakan si mayyit.
PENUTUP : Perlu diketahui, keterangan2 dan nash2 Ibarat yang sering dicomot oleh para Wahabi mengenai pendapat para ulama yang dhohirnya seolah-olah tidak membolehkan memakan makanan yang disuguhkan oleh ahlul mayyit, ternyata sama ataupun gak jauh beda 'illat dan kasusnya sebagaiman penjelasan kami diatas, baik dalil yang mereka comot dan mutilasi dari kitab I'anatuth Tholibin, Tuhfatul Muhtaj, dsb, semuanya bermuara pada hadis riwayat Jarir diatas, sebagaimana contoh yang mereka bahas di link ini :http://www.konsultasisyariah.com/menghadiahkan-pahala-sedekah-untuk-mayit/#axzz2CZoqQDJ3
Dan ini adalah link untuk jawaban dari manipulasi kitab I'anatuth Tholibin yg Wahabi lakukan :http://peparingbongkar-ajaranwahabi.blogspot.com/2012/01/mengusik-amalan-tahlil-dengan.html
Jadi semua keterangan Kami diatas sudah cukup untuk MENJAWAB dan MEMBONGKAR KEJAHILAN serta KEJAHATAN INTELEKTUAL MEREKA !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar