Keputusan Bahtsul Masail Maudhu’iyah
PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara
di Universitas Negeri Malang
13 Februari 2016
PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara
di Universitas Negeri Malang
13 Februari 2016
- Mukadimah
- Pembahasan
- Maksud Islam Nusantara
- Metode Dakwah Islam Nusantara
- Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
a. Ayat al-Qur’an dan hadits yang Redaksinya Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
d. Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah - Sikap dan Toleransi Terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
a. Sikap Terhadap Pluralitas Agama
b. Toleransi Terhadap Agama Lain
c. Toleransi Terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah - Konsistensi Menjaga Persatuan Bangsa untuk Memperkokoh Integritas NKRI
Musahih:
- Syafruddin Syarif
KH. Romadlon Khotib
KH. Marzuki Mustamar
KH. Farihin Muhson
KH. Muhibbul Aman Ali
Perumus:
- Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
H. Azizi Hasbulloh
H. MB. Firjhaun Barlaman
H. Athoillah Anwar
H. M. Mujab, Ph.D
Moderator:
Ahmad Muntaha AM
Ahmad Muntaha AM
Notulen:
H. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi
H. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi
ISLAM NUSANTARA
- Mukadimah
Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:
أَنَّ أَحْوَالَ الْعَالَمِ
وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ
وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ
الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ.
وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ،
فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ
وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”
Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan
Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya dalam sistem
pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri khas
Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain.
Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara riil dalam
beberapa hal, antara lain:
1. Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halal bihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca solawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarhga wanita maupun keluarga laki-laki,dan tradisi lainnya.
2. Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian
adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian
adat lain, terutama telihat dalam pakian pernikahan dimana pengantin
dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.1. Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halal bihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca solawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul ‘Urs baik oleh keluarhga wanita maupun keluarga laki-laki,dan tradisi lainnya.
- Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang solat Id di lapangan, di masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang shalat tarawih 20 rakaat, ada pula yang delapan rakaat. Di antara pelaksanaan tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa’ ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.
- Dalam hal toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.
- Dalam toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari libur lainnya.Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik yang pro maupun yang kontra sejak sebelum muktamar digelar sampai sekarang. Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan persepsi tentang Islam Nusantara.
- Pembahasan
- Maksud Islam Nusantara
Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah
Saw, sedangkan kata “Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
adalah sebutan atau nama bagi seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia
menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai
Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia.
Ketika penggunaan nama “Indonesia”
(berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata
Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia.
Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.
Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal Jamaah
yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh
para pendakwahnya, yang di antara tujuannya untuk mengantisipasi dan
membentengi umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi,
dan paham-paham lain yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana tersirat dalam penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah (h. 9):
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ
جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ
ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ
المُبْتَدِعِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ كَانَ مُسْلِمُوْا
الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الخَالِيَةِ
مُتَّفِقِي الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ وَالمَشْرَبِ،
فَكُلُّهُمْ فِي الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الإِمَامِ
مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ
الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِي، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ
الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b) metode (manhaj)
dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi etnis,
multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai,
seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban
dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Aulia’ al-‘Asyrah, (h. 23-24) saat
menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmad (Sunan Ampel):
ثم قال السيد رحمة أنه لم يوجد في هذه
الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة. فنحن أول
مسلم في جريرة جاوه … فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى
وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل
سوربايا. وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس
وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ
لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)، وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ
وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ
عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن يكون أئمة المسلمين
ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله أفواجا.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu
al-Fadhl as-Senori juga memaparkan dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan
Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk riyadhah (tirakat) menjaga
konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu maupun sunnah.
Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu putri Minak
Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan tidak dapat
disembuhkan para Tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan
diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis,
dan keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya
mengislamkan banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).
- Metode Dakwah Islam Nusantara
Sampai kini masih terjadi perbedaan
pendapat di kalangan sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. Di
antara yang menjelaskannya adalah Ulama Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl
as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke Nusantara (Jawa secara
lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah, bersamaan dengan
kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri Campa
(Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk Bibinya Martanigrum yang
menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya’
Syahab, dalam ta’liqatnya atas kitab Syams azh-Zhahirah, Sayyid Ali
Rahmat datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua
sepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh
hikmah.
Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah, setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya’ al-‘Asyrah yang antara lain dengan:
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan Pamannya, Maulana Ishaq dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f. Politik: politik li i’lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan Pamannya, Maulana Ishaq dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f. Politik: politik li i’lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.
Referensi:
a. Ahla al-Musamarah, h. 14-48
b. Syams azh-Zhahirah, I/525
a. Ahla al-Musamarah, h. 14-48
b. Syams azh-Zhahirah, I/525
Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama dengan metode dakwah di masa Walisongo,
meskipun dalam strateginya perlu dilakukan dinamisasi sesuai tantangan
zaman, dengan tetap berpijak pada aturan syar’i. Secara terperinci
metode tersebut dapat dilakukan dengan:
- Berdakwah dengan hikmah, mau’izhah hasanah, dan berdialog dengan penuh kesantunan.
b. Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan agama.
c. Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d. Memprioritaskan mashlahah ‘ammah daripada mashlahah khasshah.
e. Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f. Berprinsip dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.
Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan
dasar adalah mashlahah yang punya pijakan syariat, sehingga mashlahah
yang mengikuti hawa nafsu ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan
kepada manusia maka standarnya akan berbeda-beda sesuai kepentingan
masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi rumusan fikih dikembalikan
pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi). Allah Swt berfirman:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ
السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ
وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً
مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71).
اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71).
اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60)
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa
mengatakan, orang menganggap mashlahah tanpa dasar dalil syar’i maka
batal. Beliau juga mengatakan, mashlahah yang dilegalkan syara’ adalah
menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.
Terkait mashlahah mursalah atau munasib
mursal yang diutarakan Imam Malik, maka Fuqaha Syafi’iyyah, Hanafiyah
dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri telah melarang mencentuskan hukum
dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam
Malik ini? Jika Imam Malik memang melegalkan mashlahah mursalah, maka
ulama menginterpretasikan bahwa yang dimaksud Imam Malik adalah
al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath’iyyah, bukan dalam
setiap mashlahah. Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir
menjadikan sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka
berhasil menerobos maka berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah
negeri kaum Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas akan menjamin
keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih banyak, namun pasti mengorbankan
sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai perisai tersebut. Dalam
kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan kemaslahatannya
sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah
al-qath’iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara’ apakah
dii’tibar atau diilgha’kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan
penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak dalam semua
mashlahah.
Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah dengan:
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta’abbudi (dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan ‘illat.
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta’abbudi (dogmatif) dengan hukum ta’aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan ‘illat.
Referensi:
a. Al-Bahr al-Madid, IV/95.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
c. Al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175.
d. Al-Mustashfa, VI/48.
e. Al-Ihkam, IV/160.
b. At-Taqrir wa at-Tahbir, III/149.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
a. Al-Bahr al-Madid, IV/95.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
c. Al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul, V/172-175.
d. Al-Mustashfa, VI/48.
e. Al-Ihkam, IV/160.
b. At-Taqrir wa at-Tahbir, III/149.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
- Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya,
bahkan sebaliknya Islam akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat
dibuktikan dengan dua hal, yaitu berbagai ayat al-Qur’an dan hadits yang
dalam redaksinya mengakomodir tradisi/budaya; dan beberapa
tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam. Selain itu, dakwah Islam
di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa
dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan dijelaskan.
- Redaksi Ayat al-Qur’an dan hadits yang Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
Pertama, ayat tentang riba:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران :13)
Jika dipahahami dari makna literalnya,
riba yang dilarang dalam ayat ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan
riba yang sedikit. Tetapi tidak ada satupun pendapat Imam Mujtahid yang
membolehkannya meskipun sedikit. Sebab kata أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
merupakan pengakomodasian budaya kafir jahiliyyah dimana saat itu mereka
berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang berlipat ganda.
Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23)
Secara literal ayat ini hanya menyebutkan
keharaman menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak
tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi tidak ada satupun Imam Mujtahid
yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya sudah
disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak. Sebab
penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian budaya
jahiliyyah dimana jika ada percerian maka anak perempuan mereka
cenderung mengikuti ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri,
daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri, karena
biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.
Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:
اَلْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ
لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26)
Dalam ayat ini pula, secara literal Allah
menjelaskan bahwa wanita jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan
wanita shalihah untuk pria shalih dan sebaliknya. Tapi dalam syariat
tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria shalih dan sebaliknya.
Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir budaya, yakni
orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan sebaliknya.
Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya, sehingga
secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.
Keempat, anjuran untuk menjaga etika
daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadits
yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi Saw, namun dalam hadits
lain beliau membiarkan Hassan ra berdiri menghormatinya sesuai tradisi
masyarakat Arab.
Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk berdiri menghormati Mu’adz bin Jabal ra:عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ – أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم)
Referensi:
a. Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455.
b. I’anah at-Thalibin, III/305.
a. Rawai’ al-Bayan, I/292-293 dan 1455.
b. I’anah at-Thalibin, III/305.
- Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)
Kedua, tradisi akikah yang pada masa
Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan
mengolesi kepala bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan
mengolesinya dengan minyak wangi.
عَن عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح)
عَن عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح)
Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti
thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan
sebagai salah satu ritual haji, namun dengan mengganti kebiasaan
telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.
Keempat kebolehan untuk menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majuzi di hari raya mereka selain daging sembelihannya.
Referensi:
a. Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9.
b. As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305.
c. Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249.
a. Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, VIII/9.
b. As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305.
c. Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249.
- Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
Dalam tataran praktik dakwah Islam di
Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa
digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi, netralisasi,
minimalisasi, dan amputasi.
Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan
untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan
dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari
al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang
disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul
setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa
kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk sopan santun
terhadap orang yang lebih tua.
عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)
عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)
Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan
untuk menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal
yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan.
Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan
keharamannya dan melestarikan selainnya. Allah berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ
فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي
الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)
Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini
Imam Mujahid menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai
melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling membangga-banggakan
nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam Islam,
kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya namun
hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan zikir kepada Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan
tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan
hal-hal yang belum lurus saja.
Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan
untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa
dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan
cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan
menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai
hilang atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman
tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih
berat.
Keempat pendekatan amputasi, dilakukan
untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan.
Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti
terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan
cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara
bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw dalam menyikapi keyakinan
paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala,
berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi
tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada
peristiwa pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau
saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال
:دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون وثلاثمائة نصب فجعل
يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا. جاء
الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري)
Referensi:
a. Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61.
b. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
c. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39.
d. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
e. I’lam al-Muwaqqi’in, III/12.
a. Mirqah Shu’ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61.
b. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
c. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39.
d. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
e. I’lam al-Muwaqqi’in, III/12.
- Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah
Tradisi/Budaya yang telah menjadi media
dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan.
Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke tujuh, ke-40,
ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan
agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang
telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa
juga akan ikut hilang atau berkurang.
Namun bila di tempat atau waktu tertentu
tidak efektif dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam di
Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif dan
bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip
mashlahah).
Referensi:
a. Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara.
b. Nihayah az-Zain, 281.
c. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
d. Al-Adam as-Syar’iyyah, II/114.
e. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
a. Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara.
b. Nihayah az-Zain, 281.
c. Majma’ az-Zawa’id, VIII/347.
d. Al-Adam as-Syar’iyyah, II/114.
e. Ihya ‘Ulum ad-Din, III/62.
- Sikap dan Toleransi Terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
- Sikap Terhadap Pluralitas Agama
Pertama, meyakini bahwa pluralitas agama
(perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini kebenaran semua agama) di
dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam amr
ma’ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah
Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran
dari muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar
prinsip-prinsipnya.
... وَلَوْ شَاء اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم
فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)
Kedua, memperkuat keyakinan atas
kebenaran ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama lain dan
menghindari memaki-maki penganutnya. Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ
مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ
زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108)
Ketiga, menolak dakwah yang bertentangan
dengan Islam dengan cara terbaik dan bijaksana, serta menunjukkan
kebaikan ajaran Islam. Allah Swt berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا
إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ. (فصلت: 33-34)
Keempat, amr ma’ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana. Allah Swt berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل: 125)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (البقرة: 44)
Referensi:
Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114.
Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114.
- Toleransi Terhadap Agama Lain
Toleransi terhadap agama lain yang
berkembang di masyarakat merupakan keniscayaan, demi terbangunnya
kerukunan antarumat beragama di tengah pluralitas. Bahkan Islam
mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua manusia tanpa
memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap
orang shalih maupun sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir
al-Ushul (III/97) mengatakan:
وقال صلى الله عليه وسلم: أوحى الله
إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل
الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن أسكنه في حظيرة
قدسي وأن أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن يحسن خلقه
مع أمره ونهيه، الثانية أن يحسن خلقه مع جميع خلقه، الثالثة أن يحسن خلقه
مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما يشاء له ربه.
Dalam rangka mendakwahkan agama Islam
sebagai rahmat bagi semesta alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan
menjalin mu’amalah zhahirah yang baik antarumat beragama, memberi
jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengganggu pengamalan
keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif di
kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Namun demikian, penerapan toleransi kaum muslimin terhadap agama lain perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:
1) Tidak melampaui batas akidah sehingga
terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut
meramaikan hari raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan
kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
Referensi:
a. Faidh al-Qadir, III/71.
b. Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11.
c. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
d. Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain, 199.
e. Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
f. Asna al-Mathalib, III/167.
g. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
h. Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
i. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239.
j. Al-Adab as-Syar’iyyah, IV/122.
k. Bughyah al-Mustarsyidin, I/528.
l. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8.
a. Faidh al-Qadir, III/71.
b. Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11.
c. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
d. Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il az-Zain, 199.
e. Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
f. Asna al-Mathalib, III/167.
g. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
h. Qurrah al-‘Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
i. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239.
j. Al-Adab as-Syar’iyyah, IV/122.
k. Bughyah al-Mustarsyidin, I/528.
l. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8.
- Toleransi Terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama’ah
Selain pluralitas agama, di Nusantara
terdapat bermacam pemahaman keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat
Islam, sehingga diperlukan toleransi terhadap kelompok umat Islam yang
dalam masalah furu’iyyah maupun ushuliyyah berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Secara prinsip toleransi dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat
Islam sebagai agama yang merahmati semesta alam dan al-akhlaq
al-karimah, seperti halnya dalam toleransi antarumat beragama. Begitu
pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi terhadap kelompok
umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah sama dengan batas-batas dalam toleransi antarumat beragama, yaitu tidak boleh melampaui batas akidah dan syariat.
Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk
menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat
(propaganda) yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif,
mengancam kesatuan Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.
عن معاوية بن حيدة قال : خطبهم رسول
الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون عن ذكر الفاجر هتكوه حتى
يحذره الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط والصغير حسن رجاله
موثقون واختلف في بعضهم اختلافا لا يضر)
Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1) Dalam melakukan amr ma’ruf nahi munkar
kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar,
terlebih di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam
Sunni. Dalam kondisi seperti ini amr ma’ruf nahi munkar wajib
dikoordinasikan dengan pemerintah.
2) Tidak menganggap kufur mereka selama tidak terang-terangan
menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma’) atas kekufurannya,
yaitu menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak
mungkin dita’wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang
bersifat mutawatir atau yang didasari ijma’ yang diketahui secara luas
(ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
3) Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.
4) Dalam ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah
tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan
yang lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap individu
mempunyai dosa dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.
وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا
عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ
عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص: 55-56)
وَلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ يُنْجِىَ أَحَدًا
مِنْكُمْ عَمَلُهُ ». قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ « وَلاَ إِيَّاىَ إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ
بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا ». (رواه مسلم)
Referensi:
a. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
b. Al-jami’ as-Shaghir, I/85.
c. Majma’ az-Zawa’id, I/375.
d. Al-Milal wa an-Nihal, II/321-322.
e. Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19.
a. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
b. Al-jami’ as-Shaghir, I/85.
c. Majma’ az-Zawa’id, I/375.
d. Al-Milal wa an-Nihal, II/321-322.
e. Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19.
- Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas Bangsa
NKRI dan Pancasila selain telah terbukti
mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga
mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas.
Pertumbuhan muslim di kawasan-kawasan mayoritas non muslim juga semakin
meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan
disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan
negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi
nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai
upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan.
Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila sebagai
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit
piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw, yang berhasil
menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah.
Sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam
as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn Hisyam, Piagam Madinah di
antaranya menyatakan:
بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ … وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ … وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ … وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ … وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ …
بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ … وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ … وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ … وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ … وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ …
Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit,
bahwa Nabi Muhammad Saw menyatukan warga yang multi etnis dan multi
agama menjadi ummah wahidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya
kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan,
melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama
berkewajiban untuk saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga
keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri
menghadapi ancaman dari luar.
Selain itu, untuk memupuk persatuan di
tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap menghargai
perbedaan dan menjaga hak antarsesama, di antaranya dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jamaah.
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jamaah.
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ
مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ
زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام اية 108)
َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)
عن ابن عمر أن غيلان بن سلمة الثقفي
أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه و سلم: اختر منهن أربعا …
(رواه ابن حبان. صحيح )
حدّثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ .
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ
الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ،
فَيَسُبُّ أَبَاهُ . وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه ابن
حبان. مسلم)
َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)
Referensi:
a. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
b. Risalah al-Qusyairiyah, I/103.
c. Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212.
d. Al-Majalis as-Saniyyah, 87.
a. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
b. Risalah al-Qusyairiyah, I/103.
c. Ihya ‘Ulum ad-Din, II/212.
d. Al-Majalis as-Saniyyah, 87.
File Keputusan Download di bawah ini:
http://aswajanucenterjatim.com/utama/keputusan-bahtsul-masail-maudhuiyah-pwnu-jawa-timur-tentang-islam-nusantara/?fb_action_ids=1079245805429107&fb_action_types=og.shares&fb_source=other_multiline&action_object_map=[911397632262868]&action_type_map=[%22og.shares%22]&action_ref_map=[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar