Selasa, 31 Mei 2016

Sejarah Tarhim Sebelum Shubuh : Sholawat dan Salam Untukmu Duhai Rasulullah

Muslimedianews.com ~ Sejarah “Tarhim Sebelum Subuh” :


(حاشية الجمل - ج 3 / ص 147 حاشية الدسوقي على الشرح الكبير - ج 2 / ص 221)
أَفْتَى شَيْخُنَا الشَّوْبَرِيُّ حِينَ سُئِلَ عَمَّا يَفْعَلُ مِنْ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الْإِقَامَةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ بِدْعَةٌ بِأَنَّهُ سُنَّةٌ ثُمَّ رَأَيْت ذَلِكَ مَنْقُولًا عَنْ جَمَاعَاتٍ مِنْ مُحَقِّقِي الْعُلَمَاءِ . ( فَائِدَةٌ ) وَأَوَّلُ مَا زِيدَتْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بَعْدَ كُلِّ أَذَانٍ عَلَى الْمَنَابِرِ فِي زَمَنِ السُّلْطَانِ الْمَنْصُورِ حَاجِي بْنِ الْأَشْرَفِ شَعْبَانَ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ قَلَاوُونَ بِأَمْرِ الْمُحْتَسِبِ نَجْمِ الدِّينِ الطَّنْبَدِيِّ وَكَانَ ذَلِكَ فِي شَعْبَانَ سَنَةَ إحْدَى وَسِتِّينَ وَسَبْعِمِائَةٍ وَكَانَ حَدَثَ قَبْلَ ذَلِكَ فِي أَيَّامِ السُّلْطَانِ صَلَاحِ الدِّينِ بْنِ أَيُّوبَ أَنْ يُقَالَ قَبْلَ أَذَانِ الْفَجْرِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ بِمِصْرَ وَالشَّامِ السَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَمَرَّ ذَلِكَ إلَى سَنَةِ سَبْعٍ وَسِتِّينَ وَسَبْعِمِائَةٍ فَزِيدَ فِيهِ بِأَمْرِ الْمُحْتَسِبِ صَلَاحِ الدِّينِ الْبُرُلُّسِيِّ أَنْ يُقَالَ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْك يَا رَسُولَ اللَّهِ إلَى أَنْ جُعِلَ عَقِبَ كُلِّ أَذَانٍ ، وَسَبَبُ ذَلِكَ أَنَّ الْحَاكِمَ الْمَخْذُولَ لَمَّا قُتِلَ أَمَرَتْ أُخْتُهُ الْمُؤَذِّنِينَ أَنْ يَقُولُوا فِي حَقِّ وَلَدِهِ السَّلَامُ عَلَى الْإِمَامِ الظَّاهِرِ ثُمَّ اسْتَمَرَّ السَّلَامُ عَلَى الْخُلَفَاءِ بَعْدَهُ إلَى أَنْ أَبْطَلَهُ السُّلْطَانُ صَلَاحُ الدِّينِ الْمَذْكُورُ وَجَعَلَ بَدَلَهُ الصَّلَاةَ وَالسَّلَامَ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ كُلِّ أَذَانٍ إلَّا الْمَغْرِبَ عَلَى الْكَيْفِيَّةِ الْمَعْهُودَةِ الْآنَ وَذَكَرَ بَعْضُهُمْ أَنَّ أَوَّلَ حُدُوثِ السَّلَامِ الْمَشْهُورِ كَانَ فِي مِصْرَ فِي عَامِ إحْدَى وَثَمَانِينَ وَسَبْعِمِائَةٍ أَنَّهُ عَقِبَ عِشَاءِ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ بِالْخُصُوصِ ثُمَّ حَدَثَ فِي بَقِيَّةِ الْأَوْقَاتِ إلَّا الْمَغْرِبَ لِقَصَرِ وَقْتِهَا فِي عَامِ إحْدَى وَتِسْعِينَ وَسَبْعِمِائَةٍ أَحْدَثَهُ الْمُحْتَسِبُ بَدْرُ الدِّينِ الطَّنْبَدِيُّ وَاسْتَمَرَّ إلَى الْآنَ ا هـ بِرْمَاوِيٌّ .
 
“Guru kami asy-Syaubari memberi fatwa saat ditanya perihal bacaan salawat dan salam kepada Nabi Saw sebelum iqamat, sunahkah atau bid’ah?

Beliau mengatakan: “Sunah”. Kemudian saya (Syaikh Sulaiman al-Jamal) melihat hal tersebut dikutip dari beberapa golongan ulama yang ahli dalam masalah ini.


 
 
(Faidah) Penambahan pertama kali ‘Salawat dan Salam’ setelah setiap adzan di atas mimbar di masa Sultan Manshur Haji bin Asyraf Sya’ban bin Muhammad bin Qalawun atas perintah Najmuddin ath-Thanbadawi, di bulan Sya’ban tahun 761 H.

Sebelumnya sudah terjadi di masa Sultan Slahahuddin bin Ayyub untuk dibaca sebelum adzan Subuh setiap malam di Mesir dan Syam ‘as-Salamu ala Rasulillah Saw’, dan berlangsung sampai tahun 767 H, kemudian ditambah atas perintah ulama Shalahuddin al-Barlisi berupa ‘ash-Shalatu wa as-Salamu Alaika Ya Rasulallah’, untuk dijadikan setiap selesai adzan.

Penyebabnya adalah seorang Hakim, ketika ia terbunuh maka saudara perempuannya menyuruh para muadzin untuk menyebut anaknya ‘as-Salamu ala al-imam adz-dhahiri’, kemudian salam untuk para Khalifah, sampai dihapus oleh Sultan Shalahuddin dan diganti dengan Salawat dan Salam kepada Nabi Saw, setelah setiap adzan kecuali Maghrib, berdasarkan cara yang sudah diketahui saat ini.

Sebagian ulama menyebut bahwa awal terjadinya Salam tersebut di Mesir tahun 781 setelah Isyak malam Jumat saja, kemudian terjadi di semua waktu salat kecuali Maghrib, karena waktunya sempit.

Di tahu 791 H hal tersebut diperbarui oleh ulama Badruddin ath-Thanbadawi dan berlangsung hingga sekarang. Dikutip dari Syaikh Birmawi (Hasyiah Jamal 3/147 dan Hasyiyah ad-Dasuqi 2/221).
Oleh : Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin (Wakil Katib Syuriah PCNU Surabaya)

sumber : http://www.muslimedianews.com/2014/02/sejarah-tarhim-sebelum-shubuh-sholawat.html

Sejarah "Tarhiman" dan Biografi Pengarangnya

Muslimedianews ~ Tarhim sebelum Shubuh pertamakali dipopulerkan di Indonesia melalui Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya pada akhir tahun 1960-an. Penggubahnya adalah Syaikh Mahmoud Khalil al-Husshariy, ketua Jam’iyyatul Qurra’ di Kairo, Mesir. Menurut Cak Nun Syaikh al-Husshariy pernah berkunjung ke Indonesia dan diajak ke Lokananta, Solo untuk rekaman shalawat Tarhim ini.

1.    Ketika Seorang Hamba Menghisab Tuhannya
 

كاَنَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَطُوْفُ فِي الْكَعْبَةْ فَرَأَى أَعْرَابِيًّا يَطُوْفُ بِهاَ وَيَقُوْلُ: ياَ كَرِيْم, فَقَالَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم وَرَاءَهُ: ياَ كَرِيْم – فاَنْتَقَلَ الْأَعْرَابِيُّ اِلَى رُكْنِ الثَّانِيْ وقاَلَ: يا كريم, فَقاَلَ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) – فَقَالَ الْحَبِيْبُ (صلى الله عليه وسلم) وَرَاءَهُ: يا كريم, فَانْتَقَلَ الْأَعْرَابِيُّ اِلَى الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ فَقاَلَ: يا كريم-  فقال النبي (صلى الله عليه وسلم) – فقال الحبيب (صلى الله عليه وسلم) وراءه: يا كريم, فَالْتَفَتَ الْأَعْرَاِبي فَقاَلَ: أَتَمْزَحُوْنَنِيْ ياَ أَخَ الْعَرَبِ؟ وَاللهِ لَوْلاَ صَباَحَةُ وَجْهِكَ وَبَلَغَ طاَ لِقَتكَ لَشَكَوْت اِلَى حَبِيْبِيْ مُحَمَّداً- فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَوَلاَ تَعْرِفُ نَبِيَّكَ يا أخ العرب؟ قَالَ وَاللهِ أَمَنْتُ بِهِ وَلَمْ أَرَهُ وَدَخَلْتُ مَكَّةَ وَلَمْ أَلْقَهُ – قاَلَ لَهُ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم) اَنَا نَبِيُّكَ يا أخ العرب – فَانْكَبَّ الأعرابي عَلى يَدِ النَّبِيِّ يُقَبِّلُهاَ وَيَقُوْلُ: فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ ياَ حَبِيْبَ اللهِ – فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ الْأَمِيْنُ عَلى النَّبِيِّ وَقاَلَ لَهُ: ياَ حَبِيْبَ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) – اللهُ يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ وَيَقُوْلُ لَكَ: قُلْ لِهَذاَ الأعرابي: أَيَظُنُّ إِنْ قاَلَ ياَ كَرِيْم أَنَّناَ لاَ نُحاَسِبُهُ؟ فَقاَلَ الأعرابي: وَاللهِ ياَ نوْرَ الْعَيْنِ ياَ جَدَّ الْحَسَنَيْنِ, لَوْ حَاسَبَنِيْ رَبِّيْ لَأُحاَسِبَنَّهُ – قَالَ لَهُ النَّبِيُّ (صلى الله عليه وسلم): وَكَيْفَ تُحاَسِبُ رَبَّكَ يا أخ العرب؟ قاَلَ: لَئِنْ حاَسَبَنِيْ عَلىَ ذَنْبِيْ حاَسَبْتُهُ عَلىَ مَغْفِرَتِهِ – وَإِنْ حاَسَبَنِيْ عَلىَ تَقْصِيْرِيْ حاَسَبْتُهُ عَلىَ جُوْدِهِ وَكَرَمِهِ – فَقاَلَ جِبْرِيْلُ الْأِمِيْنُ: ياَ حَبِيْبَ اللهِ, اللهُ يَقُوْلُ لَكَ – قُلْ لِهَذاَ الْأَعْرَابِيّ أَنْ لاَ يَحاَسِبَناَ وَلاَ نُحاَسِبُهُ

 
Tatkala Rasulullah Saw. sedang asyik berthawaf di Ka’bah, terdengarlah seseorang di hadapannya berthawaf sambil berdzikir: “Ya Karim.”

Lalu Rasulullah Saw. pun menirunya membaca “Ya Karim”.

Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka’bah dan berdzikir lagi: “Ya Karim.”

Rasulullah Saw. yang berada di belakangnya mengikuti kembali dzikirnya “Ya Karim”.

Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu bertanya: “Wahai orang tampan! Apakah Engkau memang sengaja memperolokku karena aku ini adalah orang Arab Badui? Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti Engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”

Mendengar kata-kata orang Badui itu, Rasulullah Saw. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah Engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”

“Belum,” jawab orang itu.

“Jadi bagaimana Engkau beriman kepadanya?”

“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan kerasulannya sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya,” kata orang Arab Badui itu pula.

Rasulullah Saw. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab, ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.”

Melihat Nabi di hadapannya dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya: “Tuan ini Nabi Muhammad?!”

“Ya”, jawab Nabi Saw.

Seketika robohlah orang itu di hadapan Nabi Saw. lalu diciuminya Rasulullah Saw. Kemudian berkata: “Ibu dan bapakku menjadi tebusannya untukmu wahai Rasulullah.”

Saat itu turunlah Malaikat Jibril As. membawa berita dari langit: “Ya Rasulullah, Allah mengucapkan salam untukmu dan berfirman: “Katakanlah kepada orang Arab itu, apakah dengan dzikirnya “Ya Karim” itu lalu Aku takkan menghisabnya?”

Setelah disampaikan berita itu, maka orang Arab Badui itu pun berkata: “Demi Allah, wahai permata hatiku, kakenda Hasan dan Husein, jika Tuhan akan menghisabku maka aku pun akan menghisab (membuat perhitungan) denganNya!”

Lalu Rasulullah Saw. bertanya kepadanya: “Bagaimana caramu menghisab Tuhanmu?”

“Jikalau Tuhan menghisab atas dosa-dosaku, maka aku akan menghisabNya dengan ampunanNya. Jika Ia menghisab atas kesalahanku, maka akau akan menghisabNya dengan sifat kedermawanan dan kemuliaanNya!”, jawab orang itu dengan mantap.

Dalam riwayat lain disebutkan, mendengar ucapan orang Arab Badui itu menangislah Rasulullah Saw. mengingat betapa benarnya kata-kata orang Arab Badui itu. Air mata Rasulullah Saw. menetes hingga membasahi janggutnya.

Kemudian Malaikat Jibril As. datang lagi seraya berkata: “Ya Rasulullah, Allah Swt. berfirman: “Katakan kepada temanmu itu, janganlah ia menghisabKu dan Aku pun takkan menghisab dirinya.”

Dari riwayat hadits inilah konon oleh masyarakat Mesir sering dibaca dengan lagu yang indah pada waktu menjelang Shubuh untuk Tarhim. Dan di Indonesia sudah mulai banyak yang melantunkannya di acara-acara Maulid Nabi Saw.

2.    Asal-usul Tarhim Menjelang Shubuh

Shalawat Tarhimnya Syaikh Mahmud Khalil al-Khusshariy disebut dalam dua versi, memakai huruf ح (Tarhim) dan memakai huruf خ (Tarkhim). Hal ini dapat dimaklumi, karena sebagian orang terutama orang Jawa biasa mentransliterasikan huruf ح menjadi “kh”. Namun, Kyai Mathari Mansur juga membenarkan variasi penulisan “Tarkhim” sebagai transliterasi dari ترخيم yang mengacu pada lantunan dzikir yang sama. Menurut beliau, Tarkhim dengan huruf خ memiliki makna mengagungkan Allah Swt.

Tarhim sebelum Shubuh pertamakali dipopulerkan di Indonesia melalui Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat), Surabaya pada akhir tahun 1960-an. Penggubahnya adalah Syaikh Mahmoud Khalil al-Husshariy, ketua Jam’iyyatul Qurra’ di Kairo, Mesir. Menurut Cak Nun Syaikh al-Husshariy pernah berkunjung ke Indonesia dan diajak ke Lokananta, Solo untuk rekaman shalawat Tarhim ini.

3.    Sekilas Biografi Syaikh Mahmud Khalil al-Husshariy

Syaikh Mahmud Khalil al-Husshariy, qari al-Quran terkenal dengan suara emasnya yang fenomenal, adalah ulama lulusan Universitas al-Azhar dan merupakan salah satu Qâri’ paling ternama di zamannya sampai ia diberi gelar Syaikh al-Maqâri (Syaikhya Ahli Qira-ah). Syaikh al-Husshariy dikenal karena kepiawaiannya dalam membaca al-Quran secara tartîl. Ia mengatakan: “Membaca al-Quran bukan semata-mata tentang irama (lagu) atau seni bacaannya. Yang terpenting adalah tartîl, memahami bacaan al-Quran dengan baik dan benar, yaitu melalui studi kebahasaan (linguistik) dan dialek Arab kuno serta penguasaan teknik pelafalan huruf maupun kata-perkata dalam al-Quran. Dengan begitu bisa dicapai tingkat kemurnian (keaslian makna) yang tinggi dalam membaca al-Quran.”

Syaikh Mahmud al-Husshariy lahir di sebuah desa bernama an-Namla Shabra di Tanta, Mesir pada tanggal 17 September tahun 1917 M. Mahmud memasuki sekolah al-Quran pada usia empat tahun. Di usianya yang 8 tahun sudah berhasil menghafal al -Quran secara keseluruhan. Dan pada usia 12 tahun ia mulai mempelajari sepuluh qiraah (Qira-ah ‘Asyrah) di al-Azhar.

Ketika berumur 25 tahun ia pergi ke Tanta dan membuktikan dirinya sebagai seorang qari. Akhirnya dia menjadi qari di Masjid Ahmadi dan terkenal di sana. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1944 M, ia pindah ke Kairo dan memasuki stasiun radio resmi sebagai qari dimana ia membuat bacaan pertama pada 16 Februari 1944 M.

Pada tanggal 7 Agustus 1948 M, ia dinominasikan sebagai muadzin di Masjid Sidi Hamza dan kemudian qari di masjid yang sama. Dia juga mengawasi pusat-pusat bacaan provinsi al-Gharbia. Pada tahun 1949 M, Syaikh Mahmud Khalil al-Husshariy diangkat menjadi qari Sidi Ahmed al-Badaoui Tanta, al-Ahmadi Masjid dan kemudian al-Imam al-Husein Masjid di Kairo pada tahun 1955 M.

Di Kairo, Syaikh al-Husshariy juga belajar di Universitas al-Azhar. Dia dikenal sebagai sarjana yang religius dan penulis banyak buku tentang berbagai aspek al-Quran. Dia juga terlibat dalam pencetakan Azhari terbaru dari teks al-Quran.

Statusnya sebagai qari, ia memegang gelar Syaikh al-Maqâri (Scholar dari reciters), dan pendapatnya sering diminta dan dikutip oleh berbagai media masa. Dia juga disertai rektor al-Azhar pada perjalanan dan diundang untuk berpartisipasi dalam Festival Dunia Islam di London (1976).

Rekaman Syaikh al-Husshary tersebar luas didistribusikan di luar Mesir. Sebagai salah satu dari peringkat unggul 4 qari di Mesir, ia mencatat teks al-Quran yang lengkap di kedua gaya bacaan, murattal (tartil) dan mujawwad (tajwid). Dan ia juga yang pertama untuk merekam dan menyiarkan gaya murattal. Syaikh al-Husshariy dikenal atas kebenaran bacaannya (tajwid), sehingga anaknya pun menjadi pembaca al-Quran profesional.

Syaikh Mahmud Khalil al-Husshariy wafat pada hari Ahad tanggal 24 Nopember tahun 1980 M di Kairo, Mesir.

4.    Teks dan Terjemahan Shalawat Tarhim
 

الصلاة والسلام عليك
يا امام المجاهدين
يا رسول اللهالصلاة والسلام عليك
يا نا صرالهدى
يا خير خلق الله
الصلاة والسلام عليك
يا ناصر الحق يا رسول الله
الصلاة والسلام عليك
يامن اسرى بك المهيمن ليلا نلت ما نلت والانام نيام
وتقدمت للصلاة فصلى كل من في السماء وانت الامام
والي المنتهى رفعت كريما وسمعت النداء عليك السلام
يا كريم الاخلاق
يا رسول الله
صلي الله عليك
وعلي اليك واصحابك اجمعين

 
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Imâmal Mujâhidîn yâ Rasûlallâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Nâshiral Hudâ yâ Khaira Khalqillâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Nâshiral Haqqi yâ Rasûlallâh
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu, duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah).
Ashshalâtu wassalâmu ‘alâik, yâ Man asrâ bikal Muhaiminu lailan
(Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari, Dialah Yang Maha Melindungi).
Nilta mâ nilta wal anâmu niyâmu
(Engkau memperoleh apa yang kau peroleh, sementara semua manusia tertidur).
Wataqaddamta lishshalâti fashallâ
(Dan engkau beranjak untuk shalat, maka engkau pun melakukan shalat).
Kullu man fissamâ-i wa Antal Imâmu
(Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu, dan engkaulah yang menjadi imamnya).
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman
(Engkau diberangkatkan ke Sidratul Muntaha karena kemulianmu).
Wasami’ta nidâ-an ‘alaikassalâm
(Dan engkau mendengar ucapan salam atasmu).
Yâ karîmal akhlâq, yâ Rasûlallâh
(Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah).
Shallallâhu ‘alaika, wa‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în
(Semoga shalawat senantias tercurah atasmu, keluargamu dan semua sahabatmu).


5.    Link Download

a.    Qashidah “Ya Karim”, KetikaHambaMenghisabTuhannya
b.    Shalawat “Tarhim” MP3, SyaikhMahmudKhalilAlkhusshariy
c.    Shalawat “Tarhim” video, SyaikhMahmoudKhalilAlkhusshariy


Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 08 Maret 2014

Senin, 30 Mei 2016

PERIWAYATAN HADITS DENGAN LAFADH DAN MAKNA SERTA THARIQAH TAHAMMUL WAL ‘ADA’

BAB I
PENDAHULUAN

Hadith atau disebut juga assunnah menurut jumhur ulama adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau lainnya.
Hadith adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya dan taat kepada Allah beliau juga memerintahkan untuk percaya dan taat kepada rasulnya yang berarti harus mentaati segala bentuk perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Allah berfirman :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
 
“ Katakanlah, taatilah Alah dan rasulnya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang kafir”(QS.Ali Imran: 32)
Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berpendapat sebagai berikut:
1. Al-Qur’an bersifat قطعى الورود (Qath’il wurud), sedang hadits bersifat ظنى الورود (Zhannil wurud). Karenanya yang قطعى (qath’i) harus didahulukan dari pada yang ظنّى (Zhanni).
2. Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’adz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah”
4. Kalau Al-Qur’an sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, sejarah perjalannya tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan islam itu sendiri. Tidak sebagaimana al-Qur’an, dalam penerimaan hadith dari Nabi SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabat, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian hadith-hadith yang ada para sahabat kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda, sebab ada yang meriwayatkan sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW ( yang disebut dengan periwayatan bi al-lafdzi ) dan ada yang hanya sesuai maknanya sedang redaksinya tidak sama ( yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na). Dalam hal periwayatan hadith ini juga tidak bisa dielakkan tentang cara-cara penerimaan dan penyampaian hadith sehingga memunculkan redaksi hadith yang bermacam-macam.
Munculnya cara yang bermacam-macam dalam periwayatan hadis ini tentunya membawa implikasi yang berbeda tentang hukum periwayatannya. Dalam makalah ini penulis memaparkan cara – cara periwayatan hadits berikut hukum periwayatannya serta syarat-syarat orang yang menyampaikan hadith


BAB II
PEMBAHASAN

A. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis sama yang diwurudkan Rasul SAW. Periwayatan hadis dengan cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya karena cara ini lebih memenuhi maksud tujuan hadis tersebut. Kebanyakan para sahabat nabi SAW. Pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadis dengan cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi SAW. Bukan menurut redaksi mereka. Bahkan seperti dikatakan Ajjaj Khatib, sebenarnya para sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdhi bukan dengan ma’nawi .
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:

عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
2. حدّثنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِى زَائِدَةَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَالاِسْتِنْشَاقُ بِالْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ »

“telah bercerita bercerita kepadaku yahya ibn ma’in telah bercerita kepadaku waki’ dari zakariya ibn Abi zaidah dari mushab ibn shaibah dari thalqi ibn habib dari zubair dari ‘aisyah ia berkata : nabi SAW bersabda : sepuluh hal termasuk bersuci yaitu : mencukur brengos, menipiskan jenggot,siwak ishtinshaq, memotong kuku, membersihkan kotoran di ujung jari, mencabut bulu kketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ ( HR Muslim)
3. أخبرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:

عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
 
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf. Hal ini sebagaimana yang di katakan Umar bin Khattab


قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم


“ Umar bin Khattab berkata : barang siapa mendengar suatu hadits kemudian ia membacakan hadits tersebut sesuai dengan ( lafdz) yang ia dengar maka ia selamat”

Di zaman para sahabat, mereka tidak meriwayatkan hadis kecuali dengan cara ini, utamanya hadis–hadis yang berkenaan bacaan taabbud dan jawami’ul kalim. Hadith-hadith yang berkenaan dengan bacaan–bacaan ta’abbudi seperti adzan, tasyahud, takbir, salam, doa dan lain-lain semua itu para sahabat tidak ada yang meriwayatkan dengan makna tapi mereka meriwayatkan dengan lafdhi kar na bacaan-bacaan tersebut adalah tauqifi ( ketetapan dari Rasul yang tidak boleh ditambah) karena bacaan-bacaan tersebut adalah bacaan-bacan yang bernilai ibadah sedangkan bacan yang bernilai ibadah itu adalah haj prerogratif Allah dan rasulnya yang ana manusia biasa tidak bisa begitu saja membuat ucapan-ucapan atau lafadz kemudian dimasukkan dalam rangkaian ibadah. Begitu juga hadish-hadis jawa>mi’ul kalim yaitu hadith yang lafadlnya singkat tapi mempunyai makna yang sangat dalam dan luas. hadis – hadith ini harus diriwayatkan dengan lafdhi tidak dengan yang lain, karena orang-orang sekalipun ahli sastra arab tidak akan mampu untuk menyamai kata-kata tersebut, dan itu hanya dimiliki oleh Nabi SAW.

Contoh hadith jawami’ul kalim


حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن جابر عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا ضرر ولا ضرار…… (رواه احمد )
 
“Telah bercerita kepada kami Abdullah dan telah bercerita kepadaku Abdu al-Razaq dari Ma’mar dari jabir dari ‘ikrimah dari Ibn Abbas ia berkata: Rasulullah bersabda tidak boleh memayahkan diri dan memayahkan orang lain…..”(HR.Ahmad)

Para ulama’ hadis juga sangat berhati-hati apabila meriwayatkan hadis yang berlainan kata katanya tetapi maksudnya sama. Apabila mereka menerima hadis dari beberapa orang guru yang susunan katanya berlainan sedang maknanya sama mereka biasa berkata :
حدثنا فلان وفلان واللفظ لفلان
“hadits ini telah diceritakan kepada saya oleh fulan dan fulan sedang matannya yang saya sampaikan menurut yang diriwayatkan fulan”
Contoh :


وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: - "إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ

“ Dari Abu Hurairoh ra. Ia berkata saya mendengar Rasulullah bersabda : sesungguhnya umatkau akan dating pada hari kiamat dengan wajah yang bersinar karena bekas wudlu maka barang siapa yang ingin memperpanjang masa bersinarnya maka hendaklah ia melalkukan ( kesempurnaan wudlu)( HR. Bukhari dan muslim sedangkan lafadz hadits menurut riwayat imam Muslim)

B. Periwayatan Ma’nawi
Periwayatan ma’nawi adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya mereka susun sendiri, tidak persis sebagaimana yang diucapkan Nabi SAW.

Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengapa hadis ada yang diriwayatkan dengan makna, antara lain ;
1. Secara kuantitas jumlah hadits sangat banyak berbeda dengan ayat – ayat al-Qur’an
2. Hadits bukan hanya berupa perkataan Nabi SAW. Tapi juga berupa perbuatan dan ketetapan Nabi SAW. Bahkan ada yang memasukkan ahwal dan himmahnya. Sehingga penerimaan hadits tidak hanya berupa rangkaian kata-kata yang diterimanya langsung dari Nabi SAW melainkan juga perbuatan Nabi SAW yang disaksikan dan diikutinya kemudian disampaikan oleh mereka melalui perbuatan dengan redaksi perkataan mereka sendiri.
3. Daya hafal para sahabat dan kedekatan mereka dengan Nabi SAW tidak sama, sehingga ada yang dengan muda menghafalnya secara utuh tetapi ada juga yang hanya mampu menjaga makna dan tujuan hadis tersebut.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis dengan maknanya . sebagaian ahli hadis, ahli ushul , dan ahli fikih mengharuskan periwayatan hadis sebagaimana yang mereka terima tidak ada penambahan atau pengurangan dengan kata lain periwayatan itu harus dengan lafdhi tidak dengan maknawi .
Jumhur ulama berpendapat lain yaitu membolehkan seseorang meriwayatkan hadits dengan makna atau pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya apabila terpenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Menguasai bahasa arab dan tahu arah / khithab suatu perkataan
2. Berpandangan luas tentang fikih
3. Mengetahui ilmu ma’ani
4. Mengetahui hal – hal yang bisa merusak makna dan apa apa yang tidak, sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut.
Ulama yang memperbolehkan periwayatan dengan makna ini antara lain berhujjah dengan hadits marfu’ dari Abdullah ibn Sulaiman bin Akmiyah al-laithi ia berkata

قلت يا رسول الله اني اسمع منك الحديث لا استطيع ان اؤديه كما اسمع منك يزيد حرفا او ينقص حرفا , فقال اذا لم تحلوا حراما ولم تحرموا حلالا واصبتم المعني فلا باءس (رواه البيهقي)

“ saya berkata wahai rasulullah sesungguhnya saya telah mendengar darimu seuatu hadits tapi saya tidak mampu untuk menyampaikan sebaimana yang saya dengar darimu (mingkin) bertambah satu huruf atau berkurang satu huruf ,maka Nabi SAW bersabda : asal kalian tidak menghalalkna yang haram dan tidak mengharamkan yang halal maka tidak apa-apa” (HR. Imam Baihaqi)
Hukum meriwayatkan hadis dengan makna menurut penulis harus dilihat macam hadis tersebut, kalau hadis itu berupa perbuatan Nabi SAW atau ketetapan nabi maka diperbolehkan sesuai dengan syarat – syarat perawi secara umum. Tapi apabila hadits tersebut berupa perkataan maka penulis cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama yaitu meriwatkan hadith harus dengan lafdznya sebagaimana yang disampaikan oleh rasulullah kepada para sahabat. Meriwayatkan hadis dengan makna itu tentunya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasikan. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun seperti sekarang maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadl yang berbeda meskipun maknanya sama.

C. Tahammul al-hadith
Methode atau cara penerimaan riwayat (hadits) sering disebut dengan tahammul al-hadith.
Pada masa Nabi SAW dan masa sahabat cara menerima hadis itu ada tiga cara, yaitu :
1. Dengan mendengar sendiri hadith – hadith tersebut dari Nabi SAW
2. Dengan melihat sendiri perbuatan – perbuatan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari
3. Mendengar kata-kata Nabi atau melihat perbuatan Nabi SAW itu dari sahabat-sahabat lain, karena tidak mendapat secara langsung dari Nabi SAW.


Adapun pada masa tabiin dan seterusnya, sebagaimana dijelaslan oleh Mahmud Thalhan , Para ulama membagi cara penerimaan hadis itu ada delapan cara yaitu :
1. Al- Sima’
yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik didektekan atau tidak, dan baik dari hafalan gurunya atau dari tulisannya.
Menurut jumhur ulama hadits cara ini adalah cara yang terbaik karena akan terhindar dari kesalahan. Tetapi menurut sebagian ulama cara yang terbaik lagi adalah bila ketika mendengar hadits tersebut seorang murid langsung mencatatnya. Hal ini sangat logis karena ketika syeh sibuk menyampaikan hadits, seorang murid langsung mencatatnya sehingga kemungkinan lupa sangat minim sekali. Adapun lafadz-lafadz yang biasa dipergunakan oleh perawi hadits dengan cara sima’i ini antara lain adalah :
خبرنى ia telah bercerita kepadaku
حدثني ia telah bercerita kepadaku
سمعت.......... saya telah mendengar ….

2. Al-qira’ah ‘ala’ al-syaikhi
ulama hadith menyebut cara ini dengan ‘arad. Menerima hadith dengan cara ini adalah sesorang membaca sebuah hadith di hadapan seorang guru, baik ia sendiri membacanya atau orang lain membaca sedangkan ia mendengarkan bacaan tersebut. Hukum mendapatkaan hadits dengan cara ini menurut jumhur ulama sah – sah saja. Hanya saja imam Ahmad bin Hambal mensyaratkan sesorang yang sedang membaca hadits tersebut mengetahui dan memahami hadits tersebut. Sedang imam Haromain mensyaratkan pada seorang guru atau syeh yang sedang mendengar bacaan hadits tersebut tidak diam saja tapi apabila ia mendengar bacaan hadith yang salah maka ia langsung memperingatkannya dan menunjukkan bacaan yang benar. Sebenarnya apabila kita teliti cara menerima hadit dengan cara ini sebenarnaya sama dengan cara sima’i sehingga hukumnya sama – sama boleh saja dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh imam Ahmad dan Imam Haromain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadith yang berdasarkan methode ini adalah :
قرات عليه.... ( saya telah memmbaca hadits dihadapan…..)
قرئ على فلان وانا اسمع.... ( seseorang telah membaca hadits kepada Fulan dan saya memndengar…)
حدثنا قراءة عليه.... ( ia telah bercerita kepadaku dengan cara membacakan kepada ….)

3. ijazah
yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya.
Cara pemberian ijaazah ini banyak macamnya, antara lain :

a. seorang syekh memberi ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada sesesorang yang tertentu, misalnya : saya memberi ijazah kepadamu kitab shoheh bukhori.
Bentuk ijazah seperti ini adalah yang paling tinggi nilainya. Dan jumhur ulama memperbolehkan periwayatan hadits dengan bentuk seperti tersebut.
b. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tidak tertentu, misalnya : saya memberikan ijazah kepadamu apa-apa yang telah aku dengar.
c. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu pula, misalnya : aku mengijazahkan kepada kaum muslimin seluruh apa yang aku dengar.
d. Seorang syeh mengijazahkan Sesuatu yang tidak jelas kepada orang yang yang tidak jelas, misalnya : saya mengijazahkan kepadamu kitab sunan, sedangkan dia hanya meriwayatkan beberapa hadith saja dari kitab tersebut. Atau seorang syekh mengatakan saya member ijazah kepada Ahmad sedangkan di situ banyak yang bernama Ahmad.
e. Ijazah kepada seseorang yang tidak ada, misalnya : seeorang guru berkata: saya memberi ijazah kepada anakmu yang masih ada dalam kandunganmu.

Meriwayatkan hadit denggan cara sebagaimana pada poin (a) yaitu memberikan ijazah kepada seorang yang memang tertentu kepa hadits tertentu ini boleh karena bentuk ijaza ini sangat jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi meriwayatkan hadith dengan keempat cara ijazah yang terahir ini diperselisihkan oleh ulama hadith, Kebanyakan muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan hadith dengan cara ini.

4. Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Munawalah itu mempunyai dua macam,yaitu :
a. Munawalah disertai dengan ijazah, misalnya seorang guru setelah memberikan naskah kepada muridnya kemudian ia berkata : riwayatkanlah dari saya ini.
Meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperbolehkan dan merupakan derajat yang paling rendah dalam kategori periwayatan secara sima’i
b. Munawalah tanpa disertai ijazah, misalnya : seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridya dan hanya berkata : ini adalah hadits yang telah aku dengar.
Menurut Ibnu Sholah dan imam nawawi, meriwayatkan dengan cara seperti ini dianggap tidak sah.

5. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis sendiri apa yang telah diriwayatkannya atau menyuruh orang lain untuk menulis hadits kepada orang yang ada dihadapannya atau kepada orang lain.
Mukatabah ini juga ada dua macam, ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang tidak disertai dengan ijazah. hukum meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah yang disertai dengan ijazah ini adalah sah dan sama kuatnya dengan munawalah yang disertai ijazah. Adapun mukatabah yang tidak disertai ijazah ini masih diperselisihkan dikalangan ulama hadits . menurut sebagian ulama seperti Imam Mawardi, al-Amidy, Ibnul Qattan meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tidak sah . Tetapi sebagian besar ulama hadits baik angkatan mutaqoddimun maupun mutaakhirun berpendapat bahwa periwayatan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tetap sah.
Lafadz – lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadits dengan cara mukatabah ini ialah :

حدثني فلان كتابة
اخبرني فلان كتابة
كتب الي فلان

6. I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seseorang dengan tidak menyuruh agar si murid meriwayatkannnya.
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasarkan i’lam ini adalah

اعلمني فلان قال حدثنا ......
Menurut sebagian mutaqoddimin seperti ibnu juraij memperbolehkan menyampaikan hadits seperti ini , karena pemberitahuan seorang guru kepada muridnya dengan memperdengarkannya hal itu menunjukkan ridlonya seorang guru kepada muridnya untuk menyampaikan hadits tersebut. Tetapi sebagian ulama’ mengharuskan adanya ijazah dari gurunya.

7. Wasiyat
Yaitu pesan sesorang sebelum bepergian atau wafatnya dengan sebuah kitab supaya diriwayatkannya.
Meurut jumhur ulama tidak diperkenankan meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara ini kecuali apabila orang yang diwasiati itu diberi ijazah .
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits berdasar wasiyat ini seperti :

اوصى الي فلان بكذا...

8. Wijadah
Yaitu seseorang menemukan tulisan hadits orang lain dengan tanpa mendengar, ijazah atau munawalah. Hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperselisihkan di kalangan ulama hadits. Para muhadditsin besar dan ulama – ulama malikiyah tidak memperkenankan . Ajjaj memperbolehkan periwayatan dengan cara ini dengan syarat bahwa hadits yang ditemukannya tersebut betul-betul dinisbatkan kepada seseorang tertentu yang diketahuinya dengan dikuatkan oleh ahli habar atau kitab tersebut sudah terkenal bahwa ia adalah dinisbatkan kepada si fulan misalnya.
Periwayatan hadith dengan cara wijadah ini pada masa mutaqoddimin sangat jarang sekali ditemukan karena mereka sangat menghormati ahli ilmu dan sangat mengutamakan periwayatan dengan musafahah dengan sima’i atau qiroah ‘ala al-shaihi .


C. ‘Ada al-Hadith
Yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadith kepada orang lain.
Semua ulama hadith mensyaratkan untuk orang yang dapat menyampaikan atau meriwayatkan hadith sehingga hadithnya dapat diterima sebagai hujjah. Hal itu karena apa yang ia riwayatkan begitu sangat penting karena menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Syarat – syarat tersebut adalah :
1. Beragama islam
Riwayat orang kafir tidak dapat diterima walaupun dia bukan orang yang suka dusta. Hal itu karena Allah SWT menyuruh kita untuk berhati- hati menerima berita yang disampaikan oleh orang fasik apalagi orang kafir, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurot : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات : 6)
2. Baligh
Yang dikehendaki dengan baligh disini adalah sampai umur dan berakal, karena dengan pertimbangan seseorang yang sudah balig maka kemampuan akalnya sudah mampu membedakan yang baik dan buruk dan mengertti akn akibat dari perbuatannya. Anak yang belum baligh riwayatnya tidak bisa diterima karena mereka kemungkinan berbohong sebab mereka tidak tahu akibat dari berbohong . Tidak diterimanya riwayat anak yang belum baligh ini berdasarkan hadith Nabi SAW.

حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مُرَّ عَلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رضى الله عنه بِمَعْنَى عُثْمَانَ. قَالَ أَوَمَا تَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ». (رواه ابو داود )
 
Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa periwayatan anak kecil itu bisa diterima dengan syarat ketika menyampaikan hadith tersebut ia dalam keadaan sudah dewasa, hal itu karena banyak sahabat Nabi SAW seperti Hasan, Husein, Ibnu al-Abbas dan lain-lain yang menerima hadits ketika mereka masih kanak-kanak .
3. ‘Adalah
Yaitu suatu sifat yang melekat di dalam jiwa yang mana orang yang mempunyai sifat adalah akan selalu bertanqwa dan muru’ah (mampu menjaga diri dari perbuatan yang tercela dan kurang pantas )
Termasuk adalah orang yang menjauhi dosa – dosa besear dan sebagian dosa – dosa kecil, dan menjauhi hal-kal yang mubah tetapi perbuatan tersebut dianggap kurang pantas seperti makan sambil berjalan, kencing di jalan walaupun kemaluannya tidak terlihat orang lain, tertawa terbahak-bahak,dan lain-lain.
4. Dlabit
Yaitu kekuatan ingatan seorang perawi terhadap apa yang didengarnya dan memahaminya dengan baik, serta dihafalkannya sejak dari ia menerima sampai kepada ia menceritakannya kepada orang lain.
Cara untuk mengetahui kedlabitan seseorang adalah dengan mengecek riwayatnya dengan dengan riwayat orang lain, jika riwayatnya bersesuaian walaupun dalam maknanya maka bisa diterima tetapi kalau riwayatnya banyak yang tidak sesuai dengan riwayat orang lain maka riwayatnya tidak bisa diterima.
Adapun lafad yang digunakan untuk menyampaikan hadits sebenarnya telah diketahui dimuka dalam pembahasan tahammul al-hadith . Perbedaan cara perawi menerima hadith dari gurunya maka berbeda pula lafadl yang digunakan untuk mmenyampaikan hadith kepada orang lalin. Perbedaan lafdz dalam menyampaikan hadits itu mengakibatkan perbedan nilai suatu hadits, misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz sama’ lebih meyakinkan kepada kita bahwa ia menerima sendiri dari guru yang menyampakan hadith, hal ini tentunya berbeda dengan hadith yang diriwayatkan dengan memakai sighat ‘an’annah ( ‘an = dari, ‘anna = sesungguhnya) memberi kesimpulan adanya kemungkinan rawi-rawi tersebut mendengar sendiri langsung dari gurunya atau melalui dari orang lain.


Lafadz-lafdz untuk mmenyampikan hadith itu, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Lafadz meriwayatkan hadith bagi rawi yang mendengar langsung dari gurunya. lafadz – lafad tersebut tersusun sebagi berikut :
سمعت, سمعنا
حدثني , حدثنا
اخبرني ,اخبرنا
قال لي ...
b. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
Lafadz – lafadz yang dipakai adalah :
روي
حكي
عن
ان ...


Selain syarat-syarat tersebut di atas yang harus dipenuhi oleh seorang yag menyampaikan hadits, maka berikut ini tidak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh orang yang menyampaikan hadits yaitu seorang yang meyampakan hadits harus mempunyai tata kerama atau adab-adab tertentu sebagai mana disampaikan oleh syekh Zainudin Abdu al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dalam bukunya alfiyah al’iraqi fi ulumi al-hadith :
Adab orang yang menyampaikan hadits :
1. Memperbaiki niat dalam menyampikan hadits
2. Berwudlu dulu
3. Mandi dan memakai wangi-wangian
4. Menjelaskan suara agar yang mendengar menjadi jelas
5. Duduk dengan sopan
6. Tidak menyampaikan hadits dengan tergesa-gesa
7. Tidak menyampaikan hadits bila dimajlis tersebut ada yang lebih berhak
8. Menghadap pada orang yang akan diberi hadits
9. Menahan diri untuk tidak menyampaikan hadit pada orang yang dikhawatirkan tidak bisa menjaganya
10. Sebelum dan sesudah meyampaikan hadits hendaknya membaca hamdalah, sholawat dan salam,dll.


BAB III
PENUTUP

Hadith adalah segala sesuatu yan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Di dalam meriwayatkan hadits baik para sahabat maupun tabiin ada yang meriwayatkan hadith dengan lafadz yang sama persis sebagaiimana yang disamapikan oleh Rasulullah SAW dan ada yang meriwayatkan dengan maknanya saja. Dalam menyikapi kedua jenis periwayatan tersebut para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang menolak .
Metode atau cara menerima hadith ada delapan yaitu :
1. Al-sima’
2. Al-qiro’ah ‘ala al-syaikhi
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-kitabah
6. Al-I’lam
7. Al-wasiat
8. Al- wijadah
Riwayat seorang perawi tidak begitu saja diterima periwayatannya tapi perlu dilihat apa sudah memenuhi syarat atau belum, adapun syarat seorang perawi adalah :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. dlabith
lafadz yang digunakan oleh para perawi hadith itu ada banyak macamnya , namun bila dikelompokkan ada dua, yaitu :
1. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mendengar langsung dari gurunya
2. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mungkin mendengar langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.


sumber : http://caksyeh.blogspot.co.id/2013/06/periwayatan-hadits-dengan-lafadl-dan.html

Selasa, 10 Mei 2016

Obrolan Sahabat Umar dengan Malaikat Munkar dan Nakir.

Sebelum sayidina Umar bin khothob wafat, malaikat Munkar Nakir mendatangi mayit dikuburnya dengan penampilan yang sangat buruk dan menakutkan, baik bentuk tubuh, wajah, suara dan alat pemukulnya sebagaimana dijelaskan banyak keterangan tentang sifat sifat kedua malaikat ini.

Diriwayatkan, bahwa penampilan dan sikap welas Munkar Nakir kepada mayit mu'min sekarang disebabkan oleh kejadian berikut.

Ketika sayidina Umar bin Khothob RA wafat, maka setelahnya beres memakamkan jasad beliau maka seluruh orang pulang kerumahnya masing-masing, kecuali Sayidina 'Ali RA, beliau tetap berada diatas pusara sayidina Umar sambil muroqobah untuk mendengarkan ucapan Sayidina Umar bersama malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.

Atas izin Allah SWT, dalam muroqobahnya Sayidina 'Ali RA bisa mendengar apa yang diucapkan Sayidina Umar RA kepada Munkar Nakir.

Sayidina Umar : "Wahai Munkar Nakir, setelah waktu ini, Aku harapkan dan aku berwasiat kepada kalian berdua, agar tidak mendatangi mayit yang mu'min dengan wajah asli kalian, rubahlah (kurangi) penampilan kalian ketika mendatangi mayit mu'min.
Karena aku pun merasa sangat takut dan sangat terkejut dengan penampilan kalian seperti ini, hal ini terjadi padaku yang 'notebene' Sahabat Rosulillah, (aku tidak bisa membayangkan) jika orang lain yang melihat kalian berdua dalam rupa dan keadaan seperti ini".

Munkar dan Nakir : "Baiklah... akan kami laksanakan permintanmu wahai Sahabat Rosulillah... ".

Sayidina 'Ali berkata : "Tiada hentinya Sahabat Umar selalu menebar kemanfa'atan bagi manusia, baik ketika hidupnya dan setelah wafatnya".

Wallohu a'lam

[Rohmat dan salam semoga senantiasa tercurah atas baginda Nabi Muhammad SAW, Keluarnganya dan Para Sahabatnya, amin.]

ﻭﺭﻭﻱ ﺃﻥ ﺳﺒﺐ ﺭﻓﻘﻬﻤﺎ ﺑﺎﻟﻤﺆﻣﻦ ﻟﻤﺎ ﻣﺎﺕ ﺳﻴﺪنا عمر ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭﺩﻓﻦ ﻭﺍﻧﺼﺮﻑ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻓﺒﻘﻲ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻋﻠﻲ ﻛﺮﻡ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺟﻬﻪ ﻭﺭﺿﻲ ﻋﻨﻪ ﻳﺘﺮﻗﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻟﻴﺴﺘﻤﻊ ﻛﻼﻡ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻋﻤﺮ ﻣﻊ ﻫﺬﻳﻦ ﺍﻟﻤﻠﻜﻴﻦ
ﻓﺴﻤﻌﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻤﻠﻜﺎﻥ ﺃﻧﺎ ﻭﻋﺪﺗﻜﻤﺎ ﻭﺃﻭﺻﻴﻜﻤﺎ ﺃﻥ ﻻ ﺗﺄﺗﻴﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﺑﺼﻮﺭﺗﻜﻤﺎ ﻫﺬﻩ ﺑﻞ ﺍﻧﻘﺼﺎ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﻷﻧﻲ ﻟﻤﺎ ﺭﺃﻳﺘﻜﻤﺎ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺣﺼﻞ ﻟﻲ ﺧﻮﻑ ﻭﻓﺰﻉ ﺷﺪﻳﺪ ﻭﺃﻧﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻜﻴﻒ ﺑﺴﻮﺍﻱ ﺍﺫﺍ ﺭﺁﻛﻤﺎ ﺑﻬﺬﻩ .ﻓﻘﺎﻻ ﺳﻤﻌﺎ ﻭﻃﺎﻋﺔ ﻻ ﻧﻌﺼﻲ ﺃﻣﺮﻙ ﻳﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﻓﻘﺎﻝ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎﻳﺰﺍﻝ ﻋﻤﺮ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﻣﻤﺎﺗﻪ.

كتاب نور الظلام : ١٨

Sabtu, 07 Mei 2016

SHOLAWAT MUDHORIYAH IMAM AL-BUSHIRI


Imam Bushiri telah banyak mengubah syair,sebagian diantaranya telah di cetak. Dan yang paling kenal qashidah Burdah yang disambut baik oleh para ahli syair ulung dari Maghribi sampai ketanah air kita.
Shalawat Mudhoriyah adalah salah satu syair karya Imam AL Bushiri yang sangat besar keutamaanya. Dinamakan Modhoriyah karena salah satu Datuk Nabi Muhammad yang bernama Mudhor.

Salah satu keistimewaan shalawat ini disebutjan dalam kitab Bughya Ahl Al-'ibadah wa Al Aurad Syar Ratib Qutb Zamanih Al-Haddad karya Al Habib ALwibin Ahmad Al Haddad dikisahkan Imam Al Bushiri menyusun shalawat ini dipinggir pantai. Ketika sampai pada syair no.34 yg berbunyi'"Tsummash-sholatu'alal-mukhtarima thala'at,syamsun-nahari wa ma qad sya'sya'al qamaru, tiba-tiba dari tengah laut datang seorang laki-laki yang berlari diatas air menghampirinya sambil berdiri dihadapannya sambil berkata "Cukup,akhirilah shalawatmu sampai bait ini,karena kamu telah membuat lelah para malaikat yang mencataat keutamaan pahala shalawat ini. Imam Bushiri pun segera menutup shalawatnya dengan permohonan ridho Allah untuk keluarga Rasulullah dan para Sahabatnya. Imam Bushiri menghembuskan napas terakhir dikota iskandariyah, Mesir, pada tahun 696 H atau 1296 Ia dimakamkan disamping sebuah masjid besar yang bersambung dengan makamnya, tak jauh dari masjid dan makam sang guru, Syaikh Imam Abu AL Abbas Al Mursi.

SYA'IR SHOLAWAT MUDHORIYAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

يَارَبِّ صَلِّ عَلَى الْمُخْتَارِمِنْ مُضَرِوَاْلأَنْبِيَاوَجَمِيْعِ الرُّسُلِ مَادُكِرُوْا
وَصَلِّ رَبِّ عَلَى الْهَادِي وَشِيْعَتِهِ وَصَحْبِهِ مَنْ لِطَيِّ الدِّيْنِ قَدْ نَشَرُوْا
وَجَاهَدُوْا مَعَهُ فِي اللهِ وَاجْتَهَدُوْا وَهَاجَرُوْاوَلَهُ اَوَوْاوَقَدْنَصَرُوْا
وَبَيَّنُواالْفَرْضَ وَالْمَسْنُوْنَ وَاعْتَصَبُوْا لِلهِ وَاعْتَصَمُوْابِاللهِ فَانْتَصَرُوْا
أَزْكَى صَلَاةٍ وَأَنْمَاهَاوَأَشْرَفَهَا يُعَطِّرُالْكَوْنَ رَيًّانَشْرِهَاالعَطِرُ
مَعْبُوْقَةً بِعَبِيْقِ الْمِسْكِ زَاكِيَةً مِنْ طِيْبِهَاأَرَجُ الرِّضْوَانِ يَنْتَشِرُ
عَدَّالْحَصَى وَالشَّرَى وَالرَّمْلِ يَتْبَعُهَا نَجْمُ السَّمَاوَنَبَاتُ اْلأَرْضِ وَالْمَدَرُ
وَعَدَّوَزْنِ مَثَاقِيْلِ الْجِبَالِ كَمَا يَلِيْهِ قَطْرُجَمِيْعِ الْمَاءِوَالْمَطَرُ
وَعَدَّمَاحَوَتِ الْأَشْجَارُمِنْ وَرَقٍ وَكُلِّ حَرْفٍ غَدَايُتْلَى وَيُسْتَطَرُ
وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِوَاْلأَسْمَاكِ مَعْ نَعَمٍ يَلِيْهِمُ الْجِنُّ وَاْلأَمْلَاكَ وَاْلبَشَرُ
وَالدَّرُّوَالنَّمْلُ مَعْ جَمْعِ الْحُبُوْبِ كَدَا وَالشَّعْرُوَالصُّوْفُ وَاْلأَرْيَاشُ وَالْوَبَرُ
وَمَاأَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ الْمُحِيْطُ وَمَاجَرَى بِهِ الْقَلَمُ الْمَأْمُوْرُوَالْقَدَرُ
وَعَدَّنَعْمَائِكَ اللَّاتِي مَنَنْتَ بِهَاعَلَى الْخَلَائِقِ مُدْكَانُوْاوَمُدْحُشِرُوْا
وَعَدَّمِقْدَارِهِ السَّامِي الَّدِي شَرُفَتْ بِهِ النَّبِيُّوْنَ وَالأَمْلَاكُ وَافْتَخَرُوا
وَعَدَّمَاكَانَ فِي اْلأَكْوَانِ يَاسَنَدِي وَمَايَكُوْنُ إِلَى أَنْ تُبْعَثَ الصُّوَرُ
فِي كُلِّ طَرْفَةِ عَيْنٍ يَطْرِفُوْنَ بِهَاأَهْلُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ أَوْيَدَرُ
مِلْءَالسَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِيْنَ مَعَ جَبَلٍ وَالْفَرْشِ وَالْعَرْشِ وَالْكُرْسِي وَمَاحَصَرُوْا
مَاأَعْدَمَ اللهُ مَوْجُوْدًاوَأَوْجَدَمَعْ دُوْمًاصَلَاةًدَوَامًالَيْسَ تَنْحَصِرُ
تَسْتَغْرِقُ الْعَدَّمَعْ جَمْعِ الدُّهُوْرِكَمَا تُحِيْطُ بِالْحَدِّلاَتُبْقِيْ وَلاَتَدَرُ
لَاغَايَةً وَانْتِهَاءًيَاعَظِيْمُ لَهَاوَلَالَهَاأَمَدٌيُقْضَى فَيُعْتَبَرُ
وَعَدَّأَضَعَافِ مَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍمَعْ ضِعْفِ أَضْعَافِهِ يَامَنْ لَهُ الْقَدَرُ
كَمَاتُحِبُّ وَتَرْضَى سَيِّدِي وَكَمَاأَمَرْتَنَاأَنْ نُصَلِىَّ أَنْتَ مُقْتَدِرُ
مَعَ السَّلَامِ كَمَاقَدْمَرَّمِنْ عَدَدٍرَبِّي وَضَاعِفْهُمَاوَالْفَضْلُ مُنْتَشِرُ
وَكُلُّ دَلِكَ مَضْرُوْبٌ بِحَقِّكَ فِي أَنْفَاسِ خَلْقِكَ إِنْ قَلُّوْاوَإِنْ كَثُرُوْا
يَارَبِّ وَاغْفِرْلِقَارِيْهَاوَسَامِعِهَاوَالْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًاأَيْنَمَاحَضَرُوْا
وَوَالِدِيْنَاوَأَهْلِيْنَاوَجِيْرَتِنَاوَكُلُّنَاسَيِّدِي لِلْعَفْوِمُفْتَقِرُ
وَقَدْأَتَيْتُ دُنُوْبًالَاعِدَادَلَهَالَكِنَّ عَفْوَكَ لَايُبْقِي وَلَايَدَرُ
وَالْهَمُّ عَنْ كُلِّ مَاأَبْغِيْهِ أَشْغَلَنِيْ وَقَدْأَتَى خَاضِعًاوَالْقَلْبُ مُنْكَسِرُ
أَرْجُوْكَ يَارَبِّ فِي الدَّارَيْنِ تَرْحَمُنَابِجَاهِ مَنْ فِي يَدَيْهِ سَبَّحَ الْحَجَرُ
يَارَبِّ أَعْظِمْ لَنَاأَجْرًاوَمَغْفِرَةً فَإِنَّ جُوْدَكَ بَحْرٌلَيْسَ يَنْحَصِرُ
وَاقْضِ دُيُوْنًالَهَااْلأَخْلَاقُ ضَائِقَةٌ وَفَرِّجِ الْكَرْبَ عَنَّاأَنْتَ مُقْتَدِرُ
وَكُنْ لَطِيْفًابِنَافِي كُلِّ نَازِلَةٍ لُطْفًاجَمِيْلًا بِهِ اْلأَهْوَالُ تَنْحَسِرُ
بِالْمُصْطَفَى الْمُجْتَبَى خَيْرِاْلأَنَامِ وَمَنْ جَلَالَةً نَزَلَتْ فِي مَدْحِهِ السُّوَرُ
ثُمَّ الصَّلَاةُ عَلَى الْمُخْتَارِمَاطَلَعَتْ النَّهَارِوَمَاقَدْشَعْشَعَ اْلقَمَرُ
ثُمَّ الرِّضَاعَنْ أَبِى بَكْرٍخَلِيْفَتِهِ مَنْ قَامَ مِنْ بَعْدِهِ لِلَّدِيْنِ يَنْتَصِرُ
وَعَنْ أَبِيْ حَفْصٍ الْفَارُوْقِ صَاحِبِهِ مَنْ قَوْلُهُ الْفَصْلُ فِي أَحْكَامِهِ عُمَرُ
وَجُدْلِعُثْمَانَ دِيْ النُّورَيْنِ مَنْ كَمُلَتْ لَهُ الْمَحَاسِنُ فِي الدَّارَيْنِ وَالظَّفَرُ
كَدَاعَلِيٌ مَعَ ابْنَيْهِ وَأُمِّهِمَاأَهْلُ الْعَبَاءِ كَمَا قَدْجَاءَنَاالْخَبَرُ
كَدَاخَدِيْجَتُنَاالْكُبْرَى الَّتِي بَدَلَتْ أَمْوَالَهَالِرَسُوْلِ اللهِ يَنْتَصِرُ
وَاللطَّاهِرَاتُ نِسَاءُالْمُصْطَفَى وَكَدَابَنَاتُهُ وَبَنُوْهُ كُلَّمَادُكِرُوْا
سَعْدٌسَعِيْدُابْنُ عَوْفٍ طَلْحَةٌ وَأَبُوْ عُبَيْدَةً وَزُبَيْرٌسَادَةٌ غُرَرُ
وَحَمْزَةٌ وَكَدَاالْعَبَّاسُ سَيِّدُنَاوَنَجْلُهُ الْحَبْرُمَنْ زَالَتْ بِهِ الْغِيَرُ
وَاْلاَلُ وَالصَّحْبُ وَاْلأَتْبَاعُ قَاطِبَةً مَاجَنَّ لَيْلُ الدَّيَا جِيْ أَوْبَدَاالسَّحَرُ
مَعَ الرِّضَامِنْكَ فِيْ عَفْوٍوَعَافِيَةٍ وَحُسْنِ خَاتِمَةٍ إِنْ يَنْقَضِي الْعُمْرُ


TEKS DAN TERJEMAHANNYA


Bismillahir-rahmanir-rahim

Ya rabbi shalli'alal-mukhtari min mudharin. Wal-anbiya wa jami'irusli madzu-kiru.

"Tuhanku,limpahkanlah rahmatMu untuk nabi pilihan dari suku Muhdar, juga untuk seluruh nabi dan rasul yang telah lalu."

Wa shalli rabbi'alal-hadi wa syi'atihi, Wa shabihi man lithayyid-dini qad nasyaru.

"Shalawat-Mu, wahai Tuhanku,atas nabi pembawa hidayah beserta seluruh pengikut dan shabatnya yang telah berjasa menyebarluaskan agama ini"

Wa jahadu ma'ahu fillahi waj-tahadu. Wa hajaru wa lahu awaw wa qad nasharu.

"Yang telah ikut berjihad dan berijtihad bersama beliau, juga yang ikut hijrah bersama Beliau, dan yang memberi tempat singgah serta memenangkan misi Beliau.'

Wa bayyanul-fardha wal-masnuna wa'tashabu. Lillahi wa'tashamu billahi fantasharu.

"Yang telah menerangkan hukum wajib dan sunah secara bersatu padu, berupaya tanpa pamrih, dan berpegang teguh pada agama Allah hingga mereka mendapatkan kemenangan."

Azka shalatin wa anmaha wa asyrafaha. Yu'athirul-kauna rayyan nasyrihal-'athiru.

"Yaitu shalawat-Mu yang suci sesuci-sucinya,sebanyak-banyaknya, dan semulia-mulianya, yang menebarkan harum semerbak di seluruh alam semesta".

Ma'buqatan bi'abiqil-miski zakiya-tan. Min thibiha arajur-ridwani yantasyiru.

"Keharuman yang bercampur dengan misik kesturi yang mahal, yang aromanya tersebar luaslah keridloan-Mu".

'Addal-hasha wats-tsara war-ramli yatba'uha. Najmus-sama wa nabatul-ardhi wal-madaru.

"Sebanyak jumlah batuan,pasir beserta debunya, juga sebanyak bintang gemintang dilangit, tanaman, dan kerikil di bumi".

Wa'adda wazni matsaqilil-jibali kama. Yalihi qathru jami'il-ma'i wal matharu.

"Dan sejumlah beratnya timbangan gunung-gunung, sejumlah seluruh tetesan air yang mengalir dan air hujan".

Wa'adda ma hawatil-asyjaru min waraqin. Wa kulli harfin ghada yutla wa yus-tatharu.

"Juga sejumlah dedaunan yang terdapat di pepohonan,sebanyak semua huruf yang terbaca oleh lisan dan tertulis oleh pena".

Wal-wahsyi wath-thairi wal-asmaki ma' na'amin. Yalihimul-jinnu wal-amlaku wal-basyaru.

"Sebanyak jenis dan jumlah biantang liar, burung-burung, ikan dan hewan ternak. Juga sejumlah jin, malaikat dan manusia".

Wadz-dzaru wan-namlu ma'jam'il hububi kadza. Wasy-sya'ru wash-shufu wal-arya-syu wal-wabaru.

"Sebanyak jumlah atom,semut dan semua jenis biji-bijian, juga sejumlah helai rambut manusia,hewan, dan bulu segala jenis binatang".

Wa ma ahatha bihil-ilmul-muhithu wa ma. Jara bihil-qalamul-ma'muru wal-qadaru.

"Seluas kandungan ilmu Allah tentang makhluk dan apa yang ditulis qalam (pena) yang memuat suratan takdir".

Wa'adda na'ma-ikal lati mananta biha. 'ALal-khala-iqi mudz kanu wa mudz husyiru.

"Sebanyak nikmat-nikmat-Mu, yang telah Engkau karuniakan kepada semua makhluk-Mu yang dahulu dan yang akan datang".

Wa 'adda miqdarihis-samil-ladzi syarufat. Bihin-nabiyyuna wal-amlaku wafta-kharu.

"Setinggi jumlah derajat yang di capai oleh masing-masing nabi dan malaikat yang mulia, dengan maqam tersebut".

Wa 'adda ma kanna fil-akwani ya sanadi. Wa ma yakunu ila an tub'atsash-shuwaru.

"Sebanyak apa yang pernah ada kemudian tiada di alam jagat raya, dan apa yang masih ada maupun yang akan ada sampai kiamat".

Fi kulli tharfati 'ainin yathrifuna biha. Ahlus-samawati wal-ardhina au yadzaru

"Sebanyak tiap kedipan mata yang di gerakan setiap penduduk langit dan bumi."

Mil-as-samawati wal-ardhina ma'a-jabalin. Wal-farsyi wal-'arsyi wal-kursiy wa ma hasharu.

"Sepenuh isi langit dan bumi, gunung dan hamparan, dan seluas arsy, kursy, dan semua yang terdapat di dalamnya."

Ma-a'damallahu maujuda wa auja-da ma'. Duman shalatan dawaman laisa tan hashiru

"Yang terus-menerus tiada henti selama Allah meniadakan yang ada dan mengadakan yang tiada, dengan berkelanjutan tanpa batas."

Tastaghriqul-'adda ma' jam'id-duhuri kama. Tuhithu bil-haddi la tubqi wa la tadzaru.

"Yang melampai batas tanpa hitungan, dan menembus seluruh zaman, yang terus berjalan menjangkau apapun tanpa menyisakan."

La ghayatan wantiha'an ya 'azhimu laha. Wa la laha amadun yuqdha fayu'tabaru

"Yang tak berujung, tak berpangkal dan tak kenal habis, wahai Dzat Yang Maha Agung, Yang tak mengenal batas waktu hingga tak bisa di kira-kira."

Wa 'adda adh'afi ma qad marra min 'adadin. Ma' dhi'fi adh'afihi ya man lahul-qadaru

"Sebanyak jumlah kelipatan jumlah yang telah tersebut, ditambah kelipatan dari kelipatan tersebut, Wahai Dzat Yang Maha Kuasa melakukan segala sesuatu."

Kama tuhibbu wa tardha sayyidi wa kama. Amartana an nushalliya anta muqtadiru

"Seperti yang Engkau sukai dan ridloi, seperti Shalawat yang Engkau perintahkan kepada kami, Engkaulah Yang Maha Kuasa."

Ma'as-salami kama qad marra min 'adadin. Rabbi wa dha'ifhuma wal-fardhlu muntasyiru.

"Beserta salam yang jumlahnya juga sebanyak bilangan di atas, ya Rabbi. Bahkan lipat gandakan nilai bilangan shalawat dan salam kami terus-menerus. Anugerah-Mu tak terbatas."

Wa kullu dzalika madhrubun bihaqqika fi. Anfasi khalqika in qallu wa in katsuru.

"Dan setiap shalawat serta salam tersebut di kalikan dengan jumlah seluruh napas makhluk-Mu, baik yang sedikit maupun yang banyak."

Ya Rabbi waghfir liqariha wa sami'iha. Wal-muslimina jami'an ainama hadharu.

"Dan,Tuhanku, hapuskanlah dosa-dosa orang yang membaca shalawat ini, juga yang mendengarnya dan semua muslimin dimanapun mereka berada."

Wa walidina wa ahlina wa jiritana. Wa kulluna sayyidi lil-afwi muftaqiru.

"Juga kedua orang tua kami,tetangga kami. Dan kami semua, oh Tuhan, sangat membutuhkan ampunan-Mu."

Wa qad ataitu dzunuban la 'idada laha. Lakinna 'afwaka la yubqi wa la yadzaru.

"Sungguh, aku telah melakukan dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya,namun luasnya ampunan-Mu dapat menghapuskan dosa-dosa tersebut sampai tak tersisa."

Wal-hammu 'an kulli ma abghihi asyghalani. Wa qad ata khadi'an wal-qalbu munkasiru.

"Kepayahan dalam usaha mencari apa yang kuharapkan telah menyita banyak waktuku, sekarang aku datang bersimpuh di hadapan-Mu dalam kehinaan."

Arjuka ya Rabbi fid-daraini tarhamuna. Bijahi man fi yadaihi sabbahal-hajaru.

"Tuhanku,aku memohon agar Engkau mengasihi kali didunia dan akhirat dengan kemuliaan orang yang batupun bertasbih di tangannya (Nabi Muhammad SAW)."

Ya Rabbi a'zhim lana ajran wa magh-firatan. Fa inna judaka bahrun laisa yanhashiru.

"Ya Tuhanku, besarkan dan limpahkan untuk kami pahala serta ampunan-Mu, karena kemurahan-Mu bagai lautan tak bertepi."

Waqdhi duyunan lahal-akhlaqu dha-iqatun. Wa farrijil-karba 'anna anta muqtadiru.

"Dan lunaskanlah hutang-hutang kami, yang membuat ruang gerak kami seakan menjadi sempit, dan bebaskan kami dari kesulitan yang menimpa kami, Engkau Maha kuasa."

Wa kun lathifan bina fi kulli nazilatin. Luthfan jamilan bihil-ahwalu tanhasiru.

"Dan kasihanilah kami pada setiap bencana yang melanda kami, karena dengan kasih-Mu segala yang menakutkan itu akan sirna."

Bil-mushthafal-mujtaba kahiril-anami waman. Jalalatam nazalat fi madhihis-suwaru.

"Dengan kemuliaan Al-Mushthafa Al-Mujtaba (Rasulullah), sebaik-baik manusia, yang telah turun ayat-ayat suci berisi pujian dan sanjungan terhadap Rasulullah."

Tsummash-shalatu 'alal-mukhtari ma thala'at. Syamsun-nahari wama qad sya'sya'al qamaru.

"Kemudian sebagai penutup,semoga kasih sayang-Mu selalu terlimpah untuk Al Mukhtar (Yang Terpilih,Rasulullah), selama matahari masih terbit dan rembulan masih memancarkan sinarnya."

Tsummar-ridha 'an abi bakrin khalifatihi. Man qama min ba'dihi liddini yantashiru.

"Kami memohon pula ridho-Mu untuk Khalifah Abu Bakar, yang telah berjasa mengemban misi agama ini setelah Beliau tiada hingga berhasil."

Wa 'an abi hafshil-faruqi shahibihi. Man qauluhul-fashlu fi ahkamihi 'umaru.

"Begitu pula untuk Abu Hafsh Al-Faruq Umar bin Khathab, orang yang perkataannya terkenal selalu benar dan yang tegas dalam berhukum."

Wa jud li 'utsmana dzin-nuraini man kamulat. Lahul-mahasinu fid-daraini wazh-zhafaru.

"Juga untuk Utsman bin Affan Dzun-Nurain (orang yg memiliki dua cahaya), yang memiliki kebaikan dan kemenangan sempurna dunia dan akhirat."

Kadza 'aliyyun ma'abnaihi wa ummihima. Ahlul-'aba'i kama qad ja'anal-khabaru

"Juga untuk Ali serta kedua putranya dan ibu kedua putranya (Sayidah Fatimah), mereka itu adalah Ahlul-Aba (keluarga dalam pelukan kasih sayang Nabi) sebagaimana di sebutkan dalam hadist."

Khadza khadijatunal-kubrallati badzalat. Amwalaha lirasulollahi yantashiru

"Begitu pula untuk Khodijah Al Kubra, wanita yang mengorbankan hartanya untuk dakwah Rasulullah hingga Beliau meraih kemenangan."

Wath-thahiratu nisa-ul-musthafa wa kadza. Banatuhu wa banuhu kullama dzukiru.

"Dan para wanita suci, istri-istri Nabi Al Musthafa, juga untuk putra dan putri beliau selama mereka dikenang."

Sa'dun sa'idubnu 'sufin thalhstun wa abu. 'Ubaidata wa zubairun sadatun ghuraru.

"Juga untuk para sahabat Nabi, Sa'ad bin Abi Waqas, Sa'id bin Jubair, Abdurahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Zubair bin Awwam, pemimpin-pemimpin yang berwibawa."

Wa Hamzatun wa kadzal-'abbasu sayyiduna. Wanajluhul-habru man zalat bihil-ghiyaru

"Begitu juga untuk Hamzah dan Abbas beserta putranya (Abdullah bin Abbas), seorang ulama yang dapat menyelesaikan berbagai masalah sesulit apapun."

Wal-alu wash-shahbu wal-atba'u qathi-batan. Ma janna lailud-dayaji au badas-saharu

"Dan untuk keluarga, sahabat, dan pengikutnya selama malam masih beredar, atau selama fajar masih menyingsing."

Ma'ar-ridha minka fi 'afwin wa 'afiatin. Wa husni khatimatin in yanqadhil-'umru.

"(Semua itu) beserta keridhaan, ampunan serta kesejahteraan dari-Mu, dan semoga khusnul khatimah dapat tercapai menjelang ajal nanti."


Wallohu a'lam

Qonun Asasi Nahdlatul 'Ulama

  MUQODDIMAH_QONUN_ASASI_NU (Pendahuluan Fondasi Dasar Jam'iyyah NU)   Jam'iyyah Nahdhotul 'Ulama' mempunyai garis...