Senin, 30 Juni 2014

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PAHALA DAN GANJARAN PUASA

Bismillahirrohmanirrohiim

Bulan suci Ramadhan telah tiba, bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempatan sangat berharga untuk meraih ampunan besar dari Allah Ta’ala dengan menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin secara zahir dan bathin yakni dengan menjaga zahir kita dari melakukan perkara yang membatalkan puasa dan menjaga bathin kita dari perkara yang merusak pahala puasa sehingga puasa kita menjadi sempurna zahir dan bathin.

Berbicara tentang perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab fiqih yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas, bersetubuh, makan minum dan lainnya. Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah membatalkan puasa atau pahala puasa saja ? Seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :


خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة

“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “.

Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut ?

Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut :

 
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

 

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Pendapat al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :


وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم


“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ; “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi , al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “.
[kitab Al-Majmu' syarah muhadzad 6/356]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah pendusta…”
[kitab Nashbu Ar-royah 2/483]

Sedangkan imam as-Subuki menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :


قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح

“ Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “
[kitab Al-Iqna 1/220]

Dari keterangan imam Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa, adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Artinya walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu sendiri. Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa. Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Hal yang mendasari hal ini adalah banyaknya hadits-hadits sahih tentang bahayanya lima perkara tersebut. Ghibah, adu domba, dusta, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat memanglah haram dan wajib dijauhi walaupun tidak dalam keadaan berpuasa dari sisi menjauhi perbuatan maksyiat, dan lebih ditekankan untuk dijauhi bagi orang yang berpuasa akan tetapi dari sisi merusak pahala puasa. Maka dengan demikian di saat puasa pun lebih wajib untuk meninggalkan semua perbuatan dosa termasuk lima perkara tersebut, karena bulan puasa pahala ibadah dilipat gandakan demikian juga dosa perbuatan maksyiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ


“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Imam ash-Shan’ani mengomentarinya :

 الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير

“ Hadits tersebut dalil atas kehara
man berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh (tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir “.
[kitab Subulus Salam 2/320]

Para ulama lainnya pun seperti imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :

وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل


“ Adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat “.
[kitab Al-Bayan fi Madzhabi syafi'i 3/536]

Maka tidak salah jika ada seorang ustadz yang membawakan hadits tersebut dalam konteks sebagaimana disebutkan para ulama di atas yakni menjelaskan rusaknya pahala puasa bukan puasanya itu sendiri, karena ia bukan sedang membawakan hujjah untuk menyatakan batalnya puasa sebagaimana pendapat al-Awza’i. Karena makna seperti itu (merusak pahala puasa) telah disaksikan (syawahid) oleh banyak hadits sahih lainnya, di antaranya :


من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه


“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Nabi juga bersabda :


رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش


“ Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus “ (HR. Al-Hakim; sahih ‘ala syartil Bukhari)

Juga hadits :


الصائم في عبادة من حين يصبح إلى أن يُمسي ما لم يغتب، فإذا اغتاب خرق صوم


“ Orang yang berpuasa di dalam beribadah sejak pagi hingga sore hari semenjak ia tidak berghibah, jika ia berghibah maka ia telah merusak (pahala) puasanya “.
[kitab Al-taisir syarah jami'is shoghir Imam munawi 2/201] (Hadits ini diisyaratkan dhaif oleh imam as-Suyuthi)

Kesimpulannya : Puasa adalah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainnnya, dan juga menahan diri dari semua perkara haram yang dapat merusak kesempurnaan puasa seperti ghibah, dusta, sumpah palsu, melihat yang diharamkan dan lainnya. Walaupun maksyiat semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas supaya tidak dapat merusak pahala puasanya.

Selain dalam kitab-kitab yang disebutkan diatas,bisa juga hal senada bisa juga dijumpai dalam kitab :


- Kitab Mirqotul Mafatih

2014 - وعنه قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له من صيامه إلا الظمأ ، وكم من قائم ليس له من قيامه إلا السهر " . رواه الدارمي وذكر حديث لقيط بن صبرة في باب سنن الوضوء .

الحاشية رقم: 1
2014 - ( وعنه ) أي : أبي هريرة ( قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : " كم من صائم ليس له " ) أي : حاصل أو حظ " من صيامه " أي : من أجله " إلا الظمأ " بالرفع أي : العطش ونحوه من الجوع ، واختار الظمأ بالذكر لأن مشقته أعظم " وكم من قائم " أي : في الليل " ليس له من قيامه " أي : أثر " إلا السهر " أي : ونحوه من تعب الرجل وصفار الوجه وضعف البدن ، قال الطيبي : فإن الصائم إذا لم يكن محتسبا أو لم يكن مجتنبا عن الفواحش من الزور والبهتان والغيبة ونحوها من المناهي فلا حاصل له إلا الجوع والعطش ، وإن سقط القضاء ، وكذلك الصلاة في الدار المغصوبة وأداؤها بغير جماعة بلا عذر فإنها تسقط القضاء ولا يترتب عليها الثواب اهـ . قال ابن الملك : وكذا جميع العبادات إذ لم تكن خالصة اهـ . كالحج والزكاة فإنه لا يحصل له بهما إلا خسارة المال ، وتعب البدن في المال ، والظاهر أنه أريد به المبالغة وأن النفي محمول على نفي الكمال ، أو المراد به المرائي فإنه ليس له ثواب أصلا ( رواه الدارمي ) قال ميرك : ورواه ابن ماجه ، ولفظه " رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر " ورواه النسائي وابن خزيمة في صحيحه ، والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري ، ولفظه : رب صائم حظه من الصيام الجوع والعطش ( وذكر ) بصيغة المجهول ( حديث لقيط بن صبرة ) بفتح الصاد وكسر الموحدة ، قال الطيبي : هو أبو رزين لقيط بن عامر صبرة صحابي مشهور ، وتوهم بعضهم أنهما شخصان ( في باب سنن الوضوء ) والحديث قوله بالغ في الاستنشاق إلا أن يكون صائما ، ذكره الطيبي ، وهو اعتراض من صاحب المشكاة على صاحب المصابيح وهو في محله كما لا يخفى ; لأن إيراد الحديث في الباب الموضوع للحكم السابق منه أولى .

[ ص: 139

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=79&ID=4018

- Kitab Musnad Abdullah Bin Mubarok

رقم الحديث: 77
(حديث مرفوع) عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ , عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ , عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلا الْجُوعُ , وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلا السَّهَرُ " .

http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=28&pid=810841

- Kitab Ghiza`ul Albab Fii Syarhi Mandzumatil Adab

( فرع ) : الغيبة لا تفطر الصائم على الصحيح من المذهب فقها . قال الإمام أحمد : ويتعاهد صومه بصون لسانه من نحو غيبة كما في الإقناع وغيره .

وما ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم من قوله { من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه } رواه البخاري وغيره . وعند ابن ماجه { من لم يدع قول الزور والجهل والعمل به } .

وقوله صلى الله عليه وسلم { ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث } [ ص: 115 ] رواه ابن حبان وابن خزيمة في صحيحيهما .

وقوله صلى الله عليه وسلم { رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر } رواه ابن ماجه وابن خزيمة والحاكم وقال على شرطهما


http://library.islamweb.net/Newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=44&ID=62

- Penerangan dari Yusup Qordhowy
 
س : ما حكم صائم رمضان إذا اغتاب أو كذب أو نظر إلى أجنبية بشهوة . أيصح صيامه أم يبطل ؟.

ج: الصوم النافع المقبول هو الذي يهذب النفس ، ويقوي إرادة الخير ، ويثمر التقوى المذكورة في قوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون )البقرة : 183 . والواجب على الصائم أن يكف عن كل قول أو فعل يتنافى وصومه حتى لا يكون حظه من صيامه الجوع والعطش والحرمان . وفي الحديث : ( الصيام جنة فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يجهل ، وإذا سابه أو قاتله أحد فليقل : إني صائم ) رواه الشيخان . وقال عليه السلام : ( رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر ) (رواه النسائي وابن ماجة والحاكم ، وقال : صحيح على شرط البخاري) . وقال صلوات الله عليه ( من لم يدع قول الزور والعمل به ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه ) .( رواه البخاري وأحمد وأصحاب السنن ).. قال ابن العربي : مقتضى هذا الحديث ألا يثاب على صيامه ، ومعناه أن ثواب الصيام لا يقوم في الموازنة بإثم الزور وما ذكر معه .
ورأى ابن حزم: أن هذه الأشياء تبطل الصوم كما يبطله الطعام والشراب ، وروى عن بعض الصحابة والتابعين ما يفهم منه هذا .
ونحن - وإن لم نقبل برأي ابن حزم - نرى أن هذه المعاصي تضيع ثمرة الصيام وتفسد المقصود من شرعيته ، ومن أجل ذلك كان سلف الأمة الصالحون يهتمون بالصوم عن اللغو والحرام كما يهتمون بالصوم عن الشراب والطعام .. قال عمر رضي الله عنه : ( ليس الصيام من الشراب والطعام وحده، ولكنه من الكذب والباطل واللغو ) . وروى عن علي مثله .. وعن جابر قال: ( إذا صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمآثم ، ودع أذى الخادم ، وليكن عليك وقار وسكينة يوم صيامك ، ولا تجعل يوم فطرك ويوم صيامك سواء ) . وقال أبو ذر لطليق بن قيس : ( إذا صمت فتحفظ ما استطعت ) ، فكان طليق إذا كان يوم صيامه دخل فلم يخرج إلا إلى صلاة . وكان أبو هريرة وأصحابه إذا صاموا جلسوا في المسجد وقالوا : نطهر صيامنا .. وعن ميمون بن مهران : ( أهون الصيام الصيام عن الطعام والشراب ) .. وأياً ما كان الأمر فللصوم أثره وثوابه ، وللغيبة والكذب ونحوه عقابها وجزاؤها عند الله ( وكل شيء عنده بمقدار )الرعد : 8 . وكل عمل بحساب وميزان( لا يضل ربي ولا ينسى )طه : 52. وتأمل هذا الحديث النبوي عن دقة الحساب الإلهي في الآخرة تجد فيه الجواب الكافي عن هذا السؤال والسؤالين قبله : روى الإمام أحمد والترمذي عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم جلس بين يديه فقال : يا رسول الله إن لي مملوكين يكذبونني ويعصونني ، وأضربهم وأشتمهم ، فكيف أنا منهم؟ . ( يعني يوم القيامة ) فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : (يحسب ما خانوك وعصوك وكذبوك ، وعقابك إياهم ، فإن كان عقابك إياهم دون ذنوبهم كان فضلا لك ، وإن كان عقابك إياهم بقدر ذنوبهم كان كفافا لا لك ولا عليك ، وإن كان عقابك فوق ذنوبهم اقتص لهم منك الفضل الذي بقى قبلك) فجعل الرجل يبكي بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ويهتف . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ماله لا يقرأ كتاب الله ؟ ( ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئاً ، وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين ) الأنبياء : 47 . فقال الرجل يا رسول الله : ما أجد شيئاً خيراً من فراق هؤلاء - يعني عبيده - إني أشهدك أنهم أحرار كلهم .


http://www.qaradawi.net/new/library2/267-2014-01-26-18-46-21/2410


Link-Link terkait sejumlah keterangan di atas

1. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab : http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3999&idto=4000&bk_no=14&ID=2632

2. Fathul Mun'im : http://www.sonnaonline.com/DisplayExplanation.aspx?ExplainId=48893&HadithID=277137

3. Al-Iqna' : http://islamport.com/w/shf/Web/1229/221.htm

4. Mughnil Muhtaj : http://shiaonlinelibrary.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/873_%D9%85%D8%BA%D9%86%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD%D8%AA%D8%A7%D8%AC-%D9%85%D8%AD%D9%85%D8%AF-%D8%A8%D9%86-%D8%A3%D8%AD%D9%85%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D8%B1%D8%A8%D9%8A%D9%86%D9%8A-%D8%AC-%D9%A1/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%81%D8%AD%D8%A9_435

5. Fathul Baari : https://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3482&idto=3483&bk_no=52&ID=1204

6. Fawaaid Ibni Busyron : http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?hflag=1&bk_no=1278&pid=876367

7. Ahaditsu Romadhoniyah : http://www.startimes.com/?t=31180230

8. Al-Munhal Al-Hadits : http://www.sonnaonline.com/DisplayExplanation.aspx?ExplainId=150,57713,96528,80708&HadithID=176284

9. Fatawi shiyam (al-mufthirot) : http://www.ferkous.com/site/rep/Ramadhan-fatawa/Bg35.php

10. Al-Bayan fi Madzhabisy syafi'i : http://shamela.ws/browse.php/book-21721/page-1652

11. Faidhul Qodir : http://islamport.com/w/srh/Web/1227/2539.htm

12. Kanzul Umaal : http://shamela.ws/browse.php/book-2677/page-6053

13. Jami'is Shogir - Imam As-Suyuthi : http://shiaonlinelibrary.com/%D8%A7%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%A8/2262_%D8%A7%D9%84%D8%AC%D8%A7%D9%85%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%BA%D9%8A%D8%B1-%D8%AC%D9%84%D8%A7%D9%84-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%8A%D9%88%D8%B7%D9%8A-%D8%AC-%D9%A2/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%81%D8%AD%D8%A9_112

14. Al-Taisir Syarh Al-Jami'is Shoghir - Imam Munawi : http://islamport.com/d/1/srh/1/9/180.html

Semoga bermanfaat.

Kamis, 26 Juni 2014

KISAH SEORANG PEMUDA DAN BUAH APEL

Sebagai pengganti buah apel yang digigitnya, sang pemuda harus menikahi wanita yang buta, bisu, tuli, dan lumpuh.

Dikisahkan, beberapa abad lalu di masa akhir era tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa.

Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu. Dalam kondisi yang lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa diduga di saat yang tepat.

Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam hati. Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata Tsabit menyesal.

Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang sudah digigitnya itu.

Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.

Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.

Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”

Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.

Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.

“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.

Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!” 

Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.

“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas. 

“Kau harus menikahi putriku.”

Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit.  “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.

Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.

Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain. 

Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.

“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.

***

Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar pengantin wanita dengan langkah yang berat.

Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.

Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit. 

Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.

Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.

“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.

“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.

“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.

“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.

“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”

“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya terdapat rida Allah.”

“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”

“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.

Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur. 
Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas kehalalannya.

Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya dengan putrinya yang salehah.

Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah.

Bersama istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab.

Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.

Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in di masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah.

Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi, pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80 hijriah atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan “Fiqh al-Akbar”, yang hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.

Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah, Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.

Saat ini, mazhab Hanafi merupakan satu dari empat mazhab yang paling banyak dianut Muslim Sunni di dunia. Mazhab tersebut juga menjadi dasar kekhalifahan masa Dinasti Abbasiyyah dan Turki Usmani, serta dianut oleh Kekaisaran Mughal di India.

Di era sekarang, mazhab Hanafi banyak digunakan Muslim di beberapa negara Timur Tengah dan Asia Selatan, seperti Turki, Afghanistan, India, Pakistan, Bangladesh, serta di Suriah, Lebanon, Turki, Iran, Irak, dan Palestina. 

MENINGGALKAN SYUBHAT
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Pemuda dan Buah Apel tersebut. Di antaranya, meninggalkan syubhat, yakni perkara yang samar dan meragukan.

Sang pemuda, Tsabit, meragukan kehalalan apel yang didapatkannya tanpa membeli, menanam, atau pun dari pemberian.

Ia pun meyakinkan kehalalan terhadap apa yang dimakannya tersebut dengan meminta keridaan sang pemilik.

Tsabit sangat berhati-hati terhadap apa yang ia masukkan ke perutnya. Meski menemukannya di jalan yang seharusnya tak lagi dimiliki orang lain, Tsabit merasa ragu ia akan melanggar hak kepemilikan si pemilik kebun.

Ia takut bahwa memakan harta orang lain dapat membawa kemurkaan Allah. Maka, Tsabit pun meminta izin dari sang pemilik apel.

Allah dalam firmannya pun telah mewanti-wanti Muslimin agar tak terhanyut dengan perkara syubhat. Pasalnya, syubhat sering kali membawa seseorang terjatuh pada keharaman karena meremehkan perkara tersebut.

“Katakanlah, tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah: 100).

Rasulullah pun menyebutkan dalam hadis An-Nu’man bin Basyir, “Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar), berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram,” sabda Rasul.

Dalam hadis yang lain, Rasulullah juga memerintahkan Muslimin agar meninggalkan segala perkara syubhat. “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu!”

Seringkali kita lalai pada perkara syubhat dan tanpa sadar jatuh pada keharaman. Bahkan, tak sedikit pula yang justru dengan sadar melakukan perbuatan yang diharamkan. 

Dari kisah ini, dapat diambil pelajaran agar berhati-hati dan menjauhkan diri dari segala perkara haram dan syubhat. Setiap Muslim hendaknya melakukan sesuatu yang telah jelas kehalalannya. Setiap makanan, pakaian, harta harus dipastikan kehalalannya.

Selain itu, terdapat hikmah lain yang dapat kita petik dari kisah Tsabit dan gadis yang salehah, yakni pria saleh akan mendapat atau berjodoh dengan wanita yang salehah, demikian pula sebaliknya.

Tsabit seorang pemuda saleh yang tanpa diduga ia pun menikahi wanita yang sangat salehah. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik ,dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...,” demikian (QS an Nur: 26).
 BERIKUT TEKS IBAROHNYA

يحكى أنه في القرن الأول الهجري كان هناك شابا تقياً يطلب العلم ومتفرغ له ولكنه
كان فقيرًا ، وفي يوم من الأيام خرج من بيته من شدة الجوع ولأنه لم يجد ما يأكله فانتهى به الطريق إلى أحد البساتين والتي كانت مملوءة بأشجار التفاح وكان أحد أغصان شجرة منها متدليًا في الطريق فحدثته نفسه أن يأكل هذه التفاحة ويسد بها رمقه ولا أحد يراه ولن ينقص هذا البستان بسبب تفاحة واحده فقطف تفاحة واحدة وجلس يأكلها حتى ذهب جوعه ولما رجع إلى بيته بدأت نفسه تلومه ...

وهذا هو حال الإنسان المؤمن دائمــًا

جلس يفكر ويقول كيف أكلت هذه التفاحة وهي ملك لغيرى ولم أستأذن منه ولم أستسمحه

فذهب يبحث عن صاحب البستان حتى وجده
فقال له الشاب يا عم بالأمس بلغ بي الجوع مبلغا عظيماً وأكلت تفاحة من بستانك من
دون علمك ، وجئت لك اليوم أستأذنك فيها ...
فقال له صاحب البستان .. والله لا أسامحك بل أنا خصيمك يوم القيامة عند الله

بدأ الشاب المؤمن يبكي ويتوسل إليه أن يسامحه وقال له أنا مستعد أن أعمل أي شيء كى تسامحني و أخذ يتوسل وصاحب البستان لا يزداد إلا إصرارًا وذهب وتركه والشاب يلحقه ويتوسل إليه حتى دخل بيته ....
وبقي الشاب عند البيت ينتظر خروجه إلى صلاة العصر فلما خرج صاحب البستان وجد الشاب لا زال واقفًا ودموعه التي تحدرت على وجهه فزادته نورًا غير نور الطاعة والعلم

فقال الشاب لصاحب البستان ....
يا عم إنني مستعد للعمل فلاحًا في هذا البستان من دون أجر باقي عمري أو أي أمر تريد ولكن بشرط أن تسامحني

عندها أطرق صاحب البستان يفكر ثم قال ....
يا بني إنني مستعد أن أسامحك الآن لكن بشرط فرح الشاب وتهلل وجهه بالفرح وقال اشترط ما تشاء ؟؟؟
فقال صاحب البستان شرطي هو أن تتزوج ابنتي صدم الشاب من هذا الجواب وذهل ولم يستوعب بعد هذا الشرط ثم أكمل صاحب البستان قوله ...
ولكن يا بني إعلم أن ابنتي عمياء وصماء وبكماء وأيضا جليسة الفراش لا تمشي ومنذ زمن وأنا أبحث لها عن زوج استأمنه عليها ويقبل بها بجميع مواصفاتها التي ذكرتها
فإن وافقت عليها سامحتك ....




صُدِم الشاب مرةً أخرى بهذه المصيبة الثانية ...
وبدأ يفكر كيف يعيش مع هذه العلة خصوصًا أنه لازال في مقتبل العمر
وكيف تقوم بشؤونه وترعى بيته وتهتم به وهي بهذه العاهات

بدأ يحسبها ويقول أصبر عليها في الدنيا ولكن أنجو من ورطة التفاحة ...
ثم توجه إلى صاحب البستان وقال له يا عم لقد قبلت ابنتك وأسأل الله أن يجازيني على نيتي وأن يعوضني خيرًا مما أصابني ...

فقال صاحب البستان . حسنـًا يا بني، موعدك الخميس القادم عندي في البيت لوليمة
زواجك وأنا أتكفل لك بمهرها ....

فلما كان يوم الخميس جاء هذا الشاب متثاقل الخطى حزين الفؤاد منكسر الخاطر
ليس كأي زوج ذاهب إلى يوم عرسه فلما طرق الباب فتح له أبوها وأدخله البيت
وبعد أن تجاذبا أطراف الحديث قال له يا بني تفضل بالدخول على زوجتك وبارك الله
لكما وعليكما وجمع بينكما فى خير

وأخذه بيده وذهب به إلى الغرفة التي تجلس فيها ابنته فلما فتح الباب ورآها ...
إذا بفتاة بيضاء أجمل من القمر قد انسدل شعرها كالحرير على كتفيها فقامت ومشت إليه فإذا هي ممشوقة القوام وسلمت عليه وقالت ....
السلام عليك يا زوجي
أما صاحبنا فهو قد وقف في مكانه يتأملها وكأنه أمام حورية من حوريات الجنة
نزلت إلى الأرض وهو لا يصدق ما يرى ولا يعلم ما الذي حدث ولماذا وصفها أبوها بالصماء العمياء

ففهمت الفتاة ما يدور في رأس الشاب فذهبت إليه وصافحته وقبلت يده وقالت ...
إنني عمياء من النظر الى الحرام....
وبكماء من النطق بالحرام
وصماء من الإستماع إلى الحرام
ولا تخطو قدماى خطوة إلى الحرام
وإنني وحيدة أبي ومنذ عدة سنوات وأبي يبحث لي عن زوج صالح ، فلما جئت أنت
تستأذنه في تفاحة وتبكي من أجلها كى يسامحك
قال أبي أن من يخاف من أكل تفاحة لا تحل له فمن المؤكد أن يخاف الله في ابنتي

فهنيئـًا لي بك زوجـًا
وهنيئا لأبي بك نسبـًا

وبعد عام أنجبت هذه الفتاة من هذا الشاب غلامًا كان من القلائل الذين مرّوا على هذه الأمة

أتدرون من ذلك الغلام .......

إنه الإمام الفقيه أبو حنيفة النعمان
صاحب أول وأكبر مدرسة فقهية فى التاريخ
ندعو الله العلى العظيم أن يوقعنا
جميعــًا فى مثل هذه الورطة

 http://www.islamray.net/vb/showthread.php?t=1616

Pedoman zakat fitrah


A. Zakat fitrah hukumnya fardlu ‘ain bagi orang islam yang:
  1. Menemui bagian dari bulan Romadlon dan bagian dari bulan Syawal
  2. Mempunyai kelebihan harta dari kebutuhan malam hari raya dan siangnya, bagi dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi.
NB: Kebutuhan dalam hal ini meliputi: makanan, tempat tinggal yang layak, dan pakaian sepantasnya, serta pembantu jika diperlukan.

Dasar hukum:
سلم التوفيق ص: 41
وزكاة الفطر تجب بإدراك جزء من رمضان وجزء من شوال على كل مسلم عليه وعلى من عليه نفقتهم إذا كانوا مسلمين على كل واحد صاع من غالب قوت البلد إذا فضلت عن دينه وكسوته ومسكنه وقوت من عليه نفقتهم يوم العيد وليلته.
الإقناع في حل ألفاظ أبى شجاع – موسى الحجاوي – يع – (ج 1 / ص 210)
(و) الثالث من الشروط (وجود الفضل) أي الفاضل (عن قوته وقوت) من تلزمه نفقته من (عياله) من زوجية أو بعضية أو ملكية (في ذلك اليوم) أي يوم العيد (وليلته) ويشترط أيضا أن يكون فاضلا عن مسكن وخادم لائقين به يحتاج إليهما كما في الكفارة بجامع التطهير والمراد بحاجة الخادم أن يحتاجه لخدمته أو خدمة ممونه، أما حاجته لعمله في أرضه أو ماشيته فلا أثر لها
حاشية إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 195)
(قوله: وعن دين على المعتمد) أي عند شيخ الاسلام وابن حجر.والمعتمد عند الرملي والخطيب: أن الدين لا يمنع وجوب الفطرة. وعبارة المغني: ولا يشترط كونه فاضلا عن دينه ولو لآدمي.كما رجحه في المجموع، كالرافعي في الشرح الصغير، وجزم به ابن المقري في روضه: واقتضاه قول الشافعي رضي الله عنه والاصحاب – لو مات بعد أن هل شوال، فالفطرة في ماله مقدمة على الديون، وبأن الدين لا يمنع الزكاة، وبأنه لا يمنع نفقة الزوجة والقريب فلا يمنع إيجاب الفطرة، وما فرق به من أن زكاة المال متعلقة بعينه والنفقة ضرورية، بخلاف الفطرة فيهما لا يجدي، فالمعتمد ما تقرر، وإن رجح في الحاوي الصغير خلافه، وجزم به المصنف في نكته، ونقله عن الاصحاب
فقه العبادات – شافعي – (ج 1 / ص 642)
- شروط وجوبها :
 - 1 – الإسلام : فلا فطرة على الكافر الأصلي . أما المرتد ففطرته موقوفة إن عاد إلى الإسلام وجبت عليه وإلا فلا وكذلك فطرة من على المرتد مؤنته . أما قريب الكافر المسلم فعلى الكافر فطرته كما عليه نفقته
 - 2 – إدراك جزء من رمضان وجزء من شوال ( 1 ) : فمن مات بعد غروب شمس ليلة العيد وجب إخراج زكاة الفطر عنه بخلاف من مات قبل الغروب . ومن ولد له ولد قبل غروب شمس ليلة العيد وجبت عليه فطرته بخلاف من ولد بعد الغروب
 - 3 – وجود الفضل عن مؤنته ومؤنة عياله في يوم العيد وليلته : وتشمل المؤنة القوت والمسكن وخادما يحتاج إليه وثوبا وقميصا وسراويل وعمامة تليق به وما يحتاج إليه من زيادة لبرد أو تجميل وغير ذلك مما يليق به وبممونه أيضا . ولا يلزم بيع ما هيأه للعيد من كعك وسمك ونقل ( 2 ) وغير ذلك
B. Barang yang digunakan untuk zakat fitrah harus berupa quthil balad (makanan pokok daerah) dan tidak boleh diuangkan, kecuali mengikuti pendapat Abu Hanifah.
Satu sho’ menurut Abu Hanifah dan Muhammad (murit Abu hanifah) adalah 8 rithl (3,8 kg),  sedangkan menurut Abu Yusuf (murit Abu hanifah) satu sho’ adalah 5,3 rithl (2,7 kg).
Sehingga zakat fitrah boleh dibayar dengan uang seharga 3,8 kg makanan pokok daerah setempat dengan mengikuti pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, atau dengan uang seharga 2,7 kg makanan pokok daerah setempat dengan mengikuti pendapat Abu Yusuf.
Dasar hukum :
حاشية إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 197)
(قوله: لا تجزئ قيمة) أي لصاع الفطرة بالاتفاق عندنا، فيتعين إخراج الصاع من الحب أو غيره من القوت الغالب.
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 3 / ص 383)
المبحث الثالث ـ جنس الواجب وصفته ومقداره :
قال الحنفية (1) : تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء: الحنطة والشعير والتمر والزبيب، وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو تمر أو زبيب، والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة وثلاثون درهماً، ويساوي 3800 غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين، ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال (2) ، وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه (3) وهو أصغر من الهاشمي، وكانوا يستعملون الهاشمي.
ودليلهم على تقدير الفطرة بصاع أو نصفه: حديث ثعلبة بن صعير العذري أنه قال: خطبنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم فقال: «أدوا عن كل حر وعبد نصف صاع من بُرّ، أو صاعاً من تمر، أو صاعاً من شعير» (4) .
دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
الموسوعة الفقهية الجزء السادس والعشرون ص: 306
الأحكام المتعلقة بالصاع : مقدار الصاع : 7 – اختلف الفقهاء في مقدار الصاع , فذهب جمهور الفقهاء إلى أن الصاع : خمسة أرطال وثلث بالعراقي ; لما ورد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : لكعب بن عجرة { تصدق بفرق بين ستة مساكين } قال أبو عبيد : ولا اختلاف بين الناس أعلمه في أن الفرق ثلاثة آصع , والفرق ستة عشر رطلا ; فثبت أن الصاع خمسة أرطال وثلث . وروى : أن أبا يوسف حينما دخل المدينة سألهم عن الصاع , فقالوا : خمسة أرطال وثلث , فطالبهم بالحجة فقالوا : غدا . فجاء من الغد سبعون شيخا كل واحد منهم أخذ صاعا تحت ردائه فقال : صاعي ورثته عن أبي , وورثه أبي عن جدي , حتى انتهوا به إلى النبي صلى الله عليه وسلم . والرطل العراقي عندهم : مائة درهم وثمانية وعشرون درهما وأربعة أسباع درهم . وقال أبو حنيفة : الصاع ثمانية أرطال لأن أنس بن مالك قال : { كان النبي صلى الله عليه وسلم يتوضأ بالمد وهو رطلان ; ويغتسل بالصاع } , فعلم من حديث أنس : أن مقدار المد رطلان . فإذا ثبت أن المد رطلان : يلزم أن يكون صاع رسول الله أربعة أمداد , وهي ثمانية أرطال لأن المد ربع صاع باتفاق . والرطل العراقي عند أبي حنيفة : عشرون أستارا , والأستار : ستة دراهم ونصف
C. Kadar besaran zakat fitrah adalah satu sho’.
Satu sho’ bila ditimbang dengan timbangan Indonesia ada beberapa versi:
  1. Menurut kitab Fath al-Qodir                 : 2,719 kg
  2. Menurut kitab Tasyyidul bunyan           : 2,5 kg
فتح القدير ص: 20
ساتو نصاب  براس فوتيه : 2719,19 غرام.
مختصر تشييد البنيان ص: 205
وتجب زكاة الفطرة صاعا برا أم شعيرا أو مسيبليا أم كنيا أم دخنا أصفر كما اعتمدوه في الجهة بل يجوز من كل حب وجبت فيه الزكاة والصاع أربعة أمداد والمد ثمانية عشر أوقية عن رطل ونصف في جهتنا في حضر موت الداخل سابقا أما اليوم فالرطل موحد وهو ستة عشر أوقية في كامل المنطقة (إثنان كيلو ونصف تقريبيا)
التهذيب متن الغاية والتقريب ص: 96
وقدره خمسة أرطال وثلث بالعراقي وتساوي بالوزن 2400 غرام تقريبا
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 119
وحدات المكاييل:
الصاع الشرعي أو البغدادي: (4) أمدادأو(5 و3/1) رطل، أي أربع حَفَنات كبار،ووزنه: (7،685) درهماً أو (75،2) لتراً أو (2176)غم وهو رأي الشافعي وفقهاء الحجاز والصاحبين باعتبارأن المد: رطل وثلث بالعراقي، وعند أبي حنيفة وفقهاء العراق: ثمانية أرطال باعتبار أن المد رطلان، فيكون (3800غم).وفي تقدير آخر هو الشائع أن الصاع (2751غم). قال النووي: الأصح أن الصاع ست مئة وخمسة وثمانون درهماً وخمسة أسباع درهم. والرطل مئة وثمانية وعشرون درهماً وأربعة أسباع درهم. والعبرة بالصاع النبوي إن وجد أومعياره، فإن فقد أخرج مزكي الفطرة قدراً يتيقن أنه لا ينقص عن صاع. والصاع بالكيل المصري: قَدَحان.
المد: (3/1)1 رطلاً أو (675)غم(غرام)أو(688،0) لتراً.
D. Orang-orang yang wajib dizakati fitrah adalah;
1. Dirinya sendiri                4. Orang tua yang  tidak mampu
2.  Istri                                5. Hamba
3. Anak                               6. Khodim (orang yang bekerja dengan upah nafkah )
Dasar hukum :
نهاية الزين – (ج 1 / ص 174)
ضابط كل من لزمه نفقة شخص لزمه فطرته إن كان ذلك الشخص مسلما وذلك كالزوجة والأصول والفروع والرقاب ومثل الزوجة خادمها المملوك لها أو لهما أو المستأجر بالنفقة بخلاف المستأجر بدراهم ولو صحبتها امرأة لتخدمها بالنفقة لا يلزم الزوج فطرتها لعدم الإجارة
فتح المعين – (ج 2 / ص 168-170)
( عمن ) أي عن كل مسلم ( تلزمه نفقته ) بزوجية أو ملك أو قرابة حين الغروب ( ولو رجعية ) أو حاملا بائنا ولو أمة فيلزم فطرتهما كنفقتهما ولا تجب عن زوجة ناشزة لسقوط نفقتها عنه بل تجب عليها إن كانت غنية ولا عن حرة غنية غير ناشزة تحت معسر فلا تلزم عليه لانتفاء يساره ولا عليها لكمال تسليمها نفسها له ولا عن ولد صغير غني فتجب من ماله فإن أخرج الأب عنه من ماله جاز ورجع إن نوى الرجوع وفطرة ولد الزنا على أمه ولا عن ولد كبير قادر على كسب
الإقناع للشربيني – (ج 1 / ص 227)
( ويزكي عن نفسه وعمن تلزمه نفقته من ) زوجته وبعضه ورقيقه ( المسلمين )
 تنبيه ضابط ذلك من لزمه فطرة نفسه لزمه فطرة من تلزمه نفقته بملك أو قرابة أو زوجية إذا كانوا مسلمين ووجد ما يؤدي عنهم
E.  Waktu zakat fitrah adalah mulai terbenamnya matahari akhir Romadlon sampai dengan terbenamnya matahari satu Syawal, dan boleh di ta’jil mulai awal Romadlon.
Sebelum habisnya waktu zakat fitrah, sebagai amil atau lembaga atau panitia zakat, harus sudah memastikan zakat diberikan kepada yang berhak.
Dasar hukum:
الإقناع في حل ألفاظ أبى شجاع (ج 1 / ص 209-210)
(و) الشرط الثاني (بغروب) كل (الشمس من آخر يوم من رمضان) لانها مضافة في الحديث إلى الفطر من رمضان في الخبر الماضي، ولا بد من إدراك جزء من رمضان وجزء من ليلة شوال ويظهر أثر ذلك فيما إذا قال لعبده: أنت حر مع أول جزء من أول ليلة شوال أو مع آخر جزء من رمضان، أو كان هناك مهايأة في رقيق بين اثنين بليلة ويوم أو نفقة قريب بين اثنين كذلك فهي عليهما لان وقت الوجوب حصل في نوبتيهما فتخرج عمن مات بعد الغروب دون من ولد بعده ويسن أن تخرج قبل صلاة العيد للاتباع وهذا جري على الغالب من فعل الصلاة أول النهار، فإن أخرت استحب الاداء أول النهار ويحرم تأخيرها عن يوم العيد بلا عذر كغيبة ماله أو المستحقين.
مغني المحتاج – (ج 5 / ص 141)
( وَلَهُ تَعْجِيلُ الْفِطْرَةِ مِنْ أَوَّلِ ) لَيْلَةِ ( رَمَضَانَ ) ؛ لِأَنَّهَا وَجَبَتْ بِسَبَبَيْنِ وَهُمَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ فَجَازَ تَقْدِيمُهَا عَلَى أَحَدِهِمَا ؛ وَلِأَنَّ التَّقْدِيمَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ جَائِزٌ بِاتِّفَاقِ الْمُخَالِفِ فَأُلْحِقَ الْبَاقِي بِهِ قِيَاسًا بِجَامِعِ إخْرَاجِهَا فِي جُزْءٍ مِنْهُ ( وَالصَّحِيحُ مَنْعُهُ ) أَيْ التَّعْجِيلِ ( قَبْلَهُ ) أَيْ رَمَضَانَ ؛ لِأَنَّهُ تَقْدِيمٌ عَلَى السَّبَبَيْنِ .
المجموع شرح المهذب – (ج 6 / ص 128)
واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب علي أن الافضل أن يخرجها يوم العيد قبل الخروج إلى صلاة العيد وأنه يجوز إخراجها في يوم العيد كله وأنه لا يجوز تأخيرها عن يوم العيد وانه لو أخرها عصى ولزمه قضاؤها وسموا اخراجها بعد يوم العيد قضاء ولم يقولوا في الزكاة إذا أخرها عن التمكن أنها قضاء بل قالوا يأثم ويلزمه اخراجها وظاهره أنها تكون اداء والفرق أن الفطرة مؤقتة بوقت محدود ففعلها خارج الوقت يكون قضاء كالصلاة
F.  Niat zakat:
1.  Niat zakat fitrah dilakukan pada waktu :
- ‘Azlul mal ( menakar , membungkus, dan memisahkan harta zakat)
- Memberikan pada mustahiqqin
- Memberikan pada wakil/panitia zakat
2. Niat zakat fitrah boleh dilakukan sendiri atau diwakilkan
3. Yang melakukan niat adalah orang yang wajib mengeluarkan zakat
4. Untuk istri dan anak, yang niat adalah suami
Akan tetapi bagi suami diperbolehkan menyerahkan barang yang bakal digunakan untuk membayar zakat, pada anaknya atau istrinya  agar mereka melakukan niat sendiri.
Dasar Hukum:
نهاية الزين – (ج 1 / ص 175)
والحاصل أن اعتبار الفطرة شرعا متوقف على أربعة أمور النية والقدر المخرج والمؤدي والمؤدى عنه أما النية فتكون من المؤدي عن نفسه أو عمن تلزمه فطرته من زوجة وخادمها ورقيق وأصول وفروع إذا وجبت نفقتهم ونحو ذلك أو عن موليه الغني من صغير ومجنون وسفيه ولو من مال نفسه لأنه يستقل بتمليكه بخلاف أصوله وفروعه الذين لا تجب نفقتهم وبخلاف الأجنبي فإنه لا بد من الإذن له في الأداء عنهم فلو أدى عنهم بغير إذنهم لا يقع الموقع ومن كانت فطرته واجبة على غيره كالزوجة فأخرج عن نفسه من ماله بغير إذن من وجبت عليه صح ولا رجوع له بها على من وجبت عليه لأنها تجب ابتداء على المؤدى عنه ثم يتحملها عنه المؤدي وتكون النية عند العزل عن المال أو عند الدفع إلى المستحق أو بينهما.
فتح المعين مع إعانة الطالبين (ج 2 / ص 182)
 بل تكفي ) النية قبل الأداء إن وجدت ( عند عزل ) قدر الزكاة عن المال ( أو إعطاء وكيل ) أو إمام والأفضل لهما أن ينويا أيضا عند التفرقة ( أو ) وجدت ( بعد أحدهما ) أي بعد عزل قدر الزكاة أو التوكيل ( وقبل التفرقة ) لعسر اقترانها بأداء كل مستحق
 ( وقوله عند عزل قدر الزكاة عن المال ) أي تمييزه عنه وفصله منه ( قوله أو إعطاء وكيل ) أي أو عند إعطاء وكيل عنه في تفرقة الزكاة على المستحقين ولا يشترط نية الوكيل عند الصرف للمستحقين لوجود النية من المخاطب بالزكاة مقارنة لفعله إذ المال له.
حاشيتا قليوبي وعميرة – (ج 5 / ص 218)
وَمِنْ التَّوْكِيلِ فِي النِّيَّةِ كَالتَّفْرِقَةِ أَنْ يَقُولَ لِغَيْرِهِ : أَخْرِجْ زَكَاتِي أَوْ زَكِّ عَنِّي أَوْ أَخْرِجْ فِطْرَتِي أَوْ أَهْدِ عَنِّي فِي الْهَدْيِ وَنَحْوَ ذَلِكَ ، فَيَتَعَيَّنُ عَلَى الْوَكِيلِ النِّيَّةُ .وَلَهُ تَوْكِيلُ وَاحِدٍ فِي النِّيَّةِ وَوَاحِدٍ فِي الدَّفْعِ لِلْمُسْتَحِقِّينَ .
G. Orang yang mengeluarkan zakat untuk orang-orang yang bukan menjadi tanggungan nafkahnya hukumnya tidak sah, kecuali mendapat izin dari orang-orang tersebut
Dasar hukum:
نهاية الزين – (ج 1 / ص 175)
أما النية فتكون من المؤدي عن نفسه أو عمن تلزمه فطرته من زوجة وخادمها ورقيق وأصول وفروع إذا وجبت نفقتهم ونحو ذلك أو عن موليه الغني من صغير ومجنون وسفيه ولو من مال نفسه لأنه يستقل بتمليكه بخلاف أصوله وفروعه الذين لا تجب نفقتهم وبخلاف الأجنبي فإنه لا بد من الإذن له في الأداء عنهم فلو أدى عنهم بغير إذنهم لا يقع الموقع ومن كانت فطرته واجبة على غيره كالزوجة فأخرج عن نفسه من ماله بغير إذن من وجبت عليه صح ولا رجوع له بها على من وجبت عليه لأنها تجب ابتداء على المؤدى عنه ثم يتحملها عنه المؤدي
H. Amil adalah petugas zakat yang dibentuk oleh imam (pemerintah) dan posisinya sebagai wakil mustahiqqin
Dasar hukum:
فتح المعين – (ج 2 / ص 190)
 والعامل كساع وهو من يبعثه الإمام لأخذ الزكاة وقاسم وحاشر لا قاض
المنهج القويم – (ج 1 / ص 494)
( و ) الصنف الخامس ( العاملون عليها ) ومنهم الساعي الذي يبعثه الإمام لأخذ الزكوات وبعثه واجب وشرطه فقه بما فوض إليه ومنها أن يكون مسلما مكلفا حرا عدلا سميعا بصيرا ذكرا لأنه نوع ولاية والكاتب والقاسم والحاشر الذي يجمع أرباب الأموال والعريف الذي يعرف أرباب الاستحقاق والحاسب والحافظ والجندي والجابي ويزاد فيهم بقدر الحاجة وليس منهم الإمام والوالي والقاضي بل رزقهم في خمس الخمس والذي يستحقه العامل أجزة مثل عمله فقط فإن استؤجر بأكثر من ذلك بطلت الإجارة والزائد من سهمه على أجرته يرجع للأصناف
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 182)
( قوله أو إمام ) معطوف على وكيل أي وتكفي النية عند إعطاء إمام الزكاة لأن الإمام نائب المستحقين فالدفع إليه كالدفع إليهم ولهذا أجزأت وإن تلفت عنده بخلاف الوكيل
المجموع شرح المهذب – (ج 6 / ص 139)
واتفق أصحابنا على أن الافضل أن يفرق الفطرة بنفسه كما اشار إليه الشافعي بهذا النص وانه لو دفعها الي الامام أو الساعي أو منتجمع عنده الفطرة للناس وأذن له في اخراجها اجزأه ولكن تفريقه بنفسه أفضل من هذا كله وممن صرح بهذا الماوردى والمحاملي في التجريد والبغوى والسرخسى وسائر الاصحاب قال الماوردى قال الشافعي تفريقها بنفسه أحب الي من ان يطرحها عند من تجمع عنده قال فاحتمل ذلك أن يريد به إذا لم يكن الوالي نزها ويحتمل أنه أحب ذلك بكل حال قال وهذا أولى والله اعلم
I.   Panitia zakat yang tidak dibentuk oleh pemerintah (imam) bukan Amil syar’i dan kedudukannya sebagai wakil muzakki. Sehingga tidak boleh mengambil bagian dari harta zakat yang terkumpul atas nama amil, akan tetapi diperbolehkan mengambil bagian zakat dengan status selain Amil seperti ketika berstatus fakir, miskin, atau ghorim.
Dasar hukum:
شرح الياقوت النفيس صـ 288
(والعاملين عليها) ولا يعينون الا من جهة الدولة مثل الكاتب والحاسب والكيال وغيرهم فيعطى له أجرة أما لو عين العامل من قبل مجموعة من المزكين لا يقال عامل عليها بل يجب على المزكي توزيع زكاته إما بنفسه أو بغيره ولكن أجرته عليه وليست في الزكاة. وهذا محل الإشكال فقد يرسل بعض المسافرين زكاة أموالهم أو بعضها إلى وطنهم أقربائهم عن طريق من يثقون به ويقولون له خذ أجرتك منها فهذا غير جائز لكن من أئمة الجعفرية من يقول إذا كثرت الزكاة يأخذ منها العاملون الذي عينه رب المال أجرته. إلا أن الطريقة التي يسلكها الذين يرسلون زكاتهم إلى وطنهم عن طريق شخص معين يأمرونه بأخذ مبلغ معين له ويقصدون به نصيبه من الزكاة لأنه من مستحقيها ولا يقصدون به أجرتهم إلا أنهم ربما يخصصون له قدرا زائدا عن غيره وهو ممن يستحقون الزكاة فيستحقها.
J.   Ketika zakat fitrah diberikan kepada panitia zakat yang bukan berstatus amil Syar’i, harus dipastikan tidak ada beras zakat yang kembali pada pemiliknya
Dasar hukum:
الأم الجزء الثاني ص: 84
ولا يجوز لك إذا كانت الزكاة فرضا عليك أن يعود إليك منها شيء , فإن أديت ما كان عليك أن تؤديه وإلا كنت عاصيا لو منعته , فإن قال : فإن وليتها غيري ؟ قيل إذا كنت لا تكون عاملا على غيرك لم يكن غيرك عاملا إذا استعملته أنت , ولا يكون وكيلك فيها إلا في معناك , أو أقل ; لأن عليك تفريقها , فإذا تحقق منك فليس لك الانتقاص منها لما تحققت بقيامه بها ( قال ) : ولا أحب لأحد من الناس يولي زكاة ماله غيره ; لأن المحاسب بها المسئول عنها هو , فهو أولى بالاجتهاد في وضعها مواضعها من غيره وأنه على يقين من فعل نفسه في أدائها , وفي شك من فعل غيره لا يدري أداها عنه , أو لم يؤدها , فإن قال : أخاف حبائي , فهو يخاف من غيره مثل ما يخاف من نفسه , ويستيقن فعل نفسه في الأداء ويشك في فعل غيره .
K.  Harta zakat harus diberikan kepada musahiqqin baladuzzakat (desa tempat zakat), kecuali menurut sebagian Ulama’, zakat boleh dibawa keluar dari baladuzzakat
Dasar hukum:
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 198)
( قوله عن بلد المال ) أي عن محل المال الذي وجبت فيه الزكاة وهو الذي كان فيه عند وجوبها ويؤخذ من كون العبرة ببلد المال أن العبرة في الدين ببلد المدين لكن قال بعضهم له صرف زكاته في أي محل شاء لأن ما في الذمة ليس له محل مخصوص وهو المعتمد وهذا في زكاة المال أما زكاة الفطرة فالعبرة فيها ببلد المؤدى عنه
 ( قوله ولو إلى مسافة قريبة ) في حاشية الجمل ما نصه  ( فرع ) ما حد المسافة التي يمتنع نقل الزكاة إليها  فيه تردد والمتجه منه أن ضابطها في البلد ونحوه ما يجوز الترخص ببلوغه  ثم رأيت ابن حجر مشى على ذلك في فتاويه فحاصله أنه يمتنع نقلها إلى مكان يجوز فيه القصر ويجوز إلى ما لا يجوز فيه القصر اه  سم وعبارة ح ل قوله إلى بلد آخر أي إلى محل تقصر فيه الصلاة وليس البلد الآخر بقيد لأن المدار على نقلها لمحل تقصر فيه الصلاة فإذا خرج مصري إلى خارج باب السور كباب النصر لحاجة آخر يوم من رمضان فغربت عليه الشمس هناك ثم دخل وجب إخراج فطرته لفقراء خارج باب النصر
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 198-199)
( قوله ويجوز عنده ) أي أبي حنيفة رضي الله عنه وفي حاشية الجمل بعد كلام ما نصه ( فائدة ) المفتى به من مذهب المالكية كما علم من مراجعة الثقات منهم أن النقل يجوز لدون مسافة القصر مطلقا أي سواء كان المنقول إليه أحوج من أهل بلد الزكاة أو لا وسواء زكاة الفطر والماشية النابت وأما نقلها إلى فوق مسافة القصر فلا يجوز إلا إن كان المنقول إليه أحوج من أهل بلد الزكاة وإلا فلا يجوز  اه  وهذا كله فيما إذا أخذها المالك بنفسه أو نائبه ودفعها لمن هو في غير محلها  وأما إذا جاء من ليس من أهل محلها وأخذها في محلها فلا يقال فيه نقل بل الذي حضر في محلها صار من أهله سواء حضر قبل الحول أو بعده   وسواء حضر لغرض غير أخذها أو لغرض أخذها فقط فيجوز دفعها له مطلقا أي سواء جاء من دون مسافة القصر أو من فوقها سواء كان أحوج من أهل البلد أم لا
بغية المسترشدين – (ج 1 / ص 217)
(مسألة : ج) : وجدت الأصناف أو بعضهم بمحلّ وجب الدفع إليهم ، كبرت البلدة أو صغرت وحرم النقل ، ولم يجزه عن الزكاة إلا على مذهب أبي حنيفة القائل بجوازه ، واختاره كثيرون من الأصحاب ، خصوصاً إن كان لقريب أو صديق أو ذي فضل وقالوا : يسقط به الفرض ، فإذا نقل مع التقليد جاز وعليه عملنا وغيرنا ولذلك أدلة اهـ. وعبارة ب الراجح في المذهب عدم جواز نقل الزكاة ، واختار جمع الجواز كابن عجيل وابن الصلاح وغيرهما ، قال أبو مخرمة : وهو المختار إذا كان لنحو قريب ، واختاره الروياني ونقله الخطابي عن أكثر العلماء ، وبه قال ابن عتيق ، فيجوز تقليد هؤلاء في عمل النفس.(مسألة : ي ك) : لا يجوز نقل الزكاة والفطرة على الأظهر من أقوال الشافعي ، نعم استثنى في التحفة والنهاية ما يقرب من الموضع ويعد معه بلداً واحداً وإن خرج عن السور ، زاد ك و ح : فالموضع الذي حال الحول والمال فيه هو محل إخراج زكاته هذا إن كان قارًّا ببلد ، فإن كان سائراً ولم يكن نحو المالك معه جاز تأخيرها حتى يصل إليها ، والموضع الذي غربت الشمس والشخص به هو محل إخراج فطرته.
L.  Tashorruf zakat fitrah sama dengan zakat mal, namun dipreoritaskan untuk fuqoro’ dan masakin dan boleh diberikan pada satu orang fakir atau miskin, menurut sebagian ulama’
Dasar hukum:
إعانة الطالبين – (ج 2 / ص 197)
 وعبارة الروض وشرحه ويجب استيعاب الأصناف الثمانية بالزكاة إن أمكن بأن فرقها الإمام ووجدوا كلهم لظاهر الآية سواء زكاة الفطر وغيرها واختار جماعة من أصحابنا منهم الاصطخري جواز صرف الفطرة إلى ثلاثة مساكين أو غيرهم من المستحقين اهـ وعبارة التحفة لكن اختار جمع جواز دفعها لثلاثة فقراء أو مساكين مثلا وآخرون جوازه لواحد وأطال بعضهم في الانتصار له بل نقل الروياني عن الأئمة الثلاثة وآخرين أنه يجوز دفع زكاة المال أيضا إلى ثلاثة من أهل السهمان قال وهو الاختيار لتعذر العمل بمذهبنا
 ولو كان الشافعي حيا لأفتى به
نهاية الزين – (ج 1 / ص 182)
المذكور في الآية عند الإمام الشافعي رضي الله عنه إنما تصرف لهؤلاء لا لغيرهم ولا لبعضهم فقط بل يجب استيعابهم ولا يخفى ما في هذا من الصعوبة سيما في زكاة الفطر والمعنى عند الإمام مالك وأبي حنيفة رضي الله عنهما إنما تصرف لهؤلاء لا لغيرهم وهذا يصدق بعدم استيعابهم فيجوز دفعها لصنف منهم ولا يجب التعميم  قال ابن عجيل اليمني ثلاث مسائل في الزكاة يفتى فيها على خلاف المذهب نقل الزكاة ودفع زكاة واحد لواحد ودفعها إلى صنف واحد  قال ولو كان الشافعي حيا لأفتى بذلك واختار جمع جواز دفع زكاة الفطر إلى ثلاثة فقراء أو مساكين وآخرون جوازه لواحد وأطال بعضهم في الانتصار له
M.        Zakat tidak boleh diberikan kepada :
1. Orang kaya.                    3. Bani Hasyim dan Bani Muthollib                5. Hamba sahaya
2. Orang kafir.                    4. Orang-orang yang wajib di nafkahi
Dasar hukum:
الإقناع في حل ألفاظ أبى شجاع – موسى الحجاوي – يع – (ج 1 / ص 214)
(وخمسة لا يجوز دفعها) أي الزكاة (إليهم) الاول (الغني بمال) حاضر عنده (أو كسب) لائق به يكفيه.(و) الثاني (العبد) غير المكاتب إذ لا حق فيها لمن به رق غير المكاتب.(و) الثالث (بنو هاشم وبنو عبد المطلب) فلا تحل لهما لقوله (ص) إن هذه الصدقات إنما هي أوساخ الناس، وإنهالا تحل لمحمد ولا لآل محمد رواه مسلم.وقال: لا أحل لكم أهل البيت من الصدقات شيئا إن لكم في خمس الخمس ما يكفيكم أو يغنيكم أي بل يغنيكم، ولا تحل أيضا لمواليهم لخبر مولى القوم منهم.(و) الرابع (من تلزم المزكي نفقته) بزوجية أو بعضية (لا يدفعها) إليهم (باسم) أي من سهم (الفقراء و) لا من سهم (المساكين) لغناهم بذلك وله دفعها إليهم من سهم باقي الاصناف إذا كانوا بتلك الصفة إلا أن المرأة لا تكون عاملة ولا غازية كما في الروضة.
N. Tashorruf zakat untuk masjid, madrasah, dan lembaga-lembaga Islam tidak diperbolehkan, kecuali menurut Qoul dloif yang dinuqil imam Qoffal dari sebagian Ulama’
Dasar hukum:
بغية المسترشدين – (ج 1 / ص 220)
مسألة) : لا يستحق المسجد شيئاً من الزكاة مطلقاً ، إذ لا يجوز صرفها إلا لحرّ مسلم ، وليست الزكاة كالوصية ، فيما لو أوصى لجيرانه من أنه يعطي المسجد كما نص عليه ابن حجر في فتاويه خلافاً لـ : (بج) ، لأن الوصية تصح لنحو البهيمة كالوقف بخلاف الزكاة.
مواهب الفضل من فتاوى بافضل ص: 38-39
(مسألة 14 في الزكاة) ما قولكم في إخراج الزكاة لنحو بناء المسجد ومدرسة ومعهد ولنحو فرش المسجد وغيرها من مصالح العامة بدعوى أنها داخلة في سبيل الله وبقال أن القفال من الشافعية نقل عن بعض الفقهاء لأنهم أجازوا صرف الزكاة إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن ذلك كله في سبيل الله؟ – إلى أن قال- وما يقال عن القفال عن بعض الفقهاء مما ذكره السائل لم نره عنه فيما بأيدينا من المصادر نعم رأيت ذلك في تفسير الخازن عن بعض الفقهاء وقال بعده والقول الأول هو الصحيح لإجماع المجمهور عليه
تفسير الخازن – (ج 3 / ص 295)
السابع قوله تعالى : { وفي سبيل الله } يعني وفي النفقة في سبيل الله وأراد به الغزاة فلهم سهم من مال الصدقات فيعطون إذا أرادوا الخروج إلى الغزو ما يستعينون به على أمر الجهاد من النفقة والكسوة والسلاح فيعطون ذلك وإن كانوا أغنياء لما تقدم من حديث عطاء وأبي سعيد الخدري ولا يعطى من سهم الله لمن أراد الحج عند أكثر أهل العلم وقال قوم يجوز أن يصرف سهم سبيل الله إلى الحج يروى ذلك عن ابن عباس وهو قول الحسن وإليه ذهب أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه وقال بعضهم : إن اللفظ عام فلا يجوز قصره على الغزاة فقط ولهذا أجاز بعض الفقهاء صرف سهم سبيل الله إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسور والحصون وعمارة المساجد وغير ذلك قال لأن قوله وفي سبيل الله عام في الكل فلا يختص بصنف دون غيره والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه
اللباب في علوم الكتاب – (ج 8 / ص 306)
ونقل القفالُ في تفسيره عن بعض العلماء أنَّهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى ، وبناء الحصون ، وعمارة المساجد؛ لأن قوله : { وَفِي سَبِيلِ الله } عام في الكل.
تفسير الرازي – (ج 8 / ص 76)
واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله : { وَفِى سَبِيلِ الله } لا يوجب القصر على كل الغزاة ، فلهذا المعنى نقل القفال في «تفسيره» عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد ، لأن قوله : { وَفِى سَبِيلِ الله } عام في الكل
تفسير النيسابوري – (ج 4 / ص 169)
 الصنف السابع قوله { في سبيل الله } يعني الغزاة . -إلى أن قال- وظاهر لفظ الآية لا يوجب القصر على الغزاة فلهذا نقل القفال عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقة إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن كلها في سبيل الله
مفاتيح الغيب – (ج 16 / ص 90)
واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ لا يوجب القصر على كل الغزاة فلهذا المعنى نقل القفال في ( تفسيره ) عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد لأن قوله وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ عام في الكل
موعظة مؤمنين ص: 53
وقد تقرر أن العام يجب إبقاؤها على عمومه حتى يرد ما يخصصه وإذا لا مخصص فهو عام في كل ما يتقرب به إلى الله ويؤيد دينه وشرعه كبناء مدرسة وشراء كتب للعلماء وإعانة في مشروع خير وموضع بر مما لا تحصى أفراده فاحفظ هذه الفائدة.
قرة العين ص: 72
أن العمل اليوم بالقول المقابل للجمهور الذي ذهب إليه أحمد بن حمبل واسحاق بن راهويه في أخذ سهم سبيل الله من الزكاة الواجبة على أغنياء المسلمين للاستعانة به على تأسيس المدارس والمعاهد الدينية اليوم من المتعين.
بلغة الطلاب للشيخ طيفور على وفا المدوري ص: 211
(مسألة ع) لا يجوز صرف الزكاة إلى وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المسجد ولا يجوز أن يستدل لذلك بعموم قوله تعالى في سبيل الله بأنه عام في الكل كما قاله القفال لأن للزكاة مصرفا خاصا أما سبيل الله فقد انعقد إجماع يعتد به سواء الأئمة الأربعة وغيرهم على أنه خاص هنا بالغراة كما هو مقتضى كلام إبن العربي في أحكام القرآن وأما ما نقل عن القفال فمردود بما قاله أبو يوسف أن الطاعات كلها في سبيل الله ولكن عند هذا اللفط لا يقصد منه إلا الغزاة فسبيل الله عام بحسب معناه لغة خاص في عرف الشرع فصار معنى الخاص هو الحقيقة الشرعية وهو مقدمة على الحقيقة اللغوية كما تقرر وأيضا في تجويز ذلك إضرار بالمستحقيق الذين نص الشارع عليهم فقد قال صلى الله عليه وسلم لا ضرر ولاضرار.
O. Tashorruf zakat untuk kiyai, ustadz dan orang-orang yang mengurus kemaslahatan umat, diperbolehkan menurut Ibnu Rusyd dan imam Lakhmi dari madzhab Maliki, khusus zakat fitrah boleh ditasarrufkan kepada mereka, apabila mereka tidak mampu (fakir atau miskin).
Dasar hukum:
شرح خليل للخرشي – (ج 6 / ص 350-351)
( قَوْلُهُ : وَلِذَا إذَا لَمْ يُعْطَوْا مِنْهُ ) ظَاهِرُهُ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ وَهُوَ مَا نَصَّ عَلَيْهِ ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ فَقَدْ أَجَابَ سَيِّدِي مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ حِينَ سُئِلَ عَنْ إعْطَاءِ الزَّكَاةِ لِلْعَالِمِ الْغَنِيِّ وَالْقَاضِي وَالْمُدَرِّسِ وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمْ مِمَّنْ نَفْعُهُ عَامٌّ لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا نَصُّهُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ يَجُوزُ إعْطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ وَلِبَقَاءِ الدَّيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِهَا ابْنُ رُشْدٍ وَاللَّخْمِيُّ وَقَدْ عَدَّهُمْ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي تُعْطَى لَهُمْ الزَّكَاةُ حَيْثُ قَالَ { وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ } يَعْنِي : الْمُجَاهِدَ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِعُمُومِ نَفْعِهِمْ لِلْمُسْلِمِينَ فَيُعْطَى الْمُجَاهِدُ وَلَوْ كَانَ غَنِيًّا كَمَا ذَكَرْنَاهُ فِي عُمُومِ النَّفْعِ ، وَفِي هَذَا الْمَعْنَى الْعَالِمُ وَالْقَارِئُ وَالْمُعَلِّمُ وَالْمُؤَذِّنُونَ ؛ لِأَنَّ فِي ذَلِكَ بَقَاءَ الْإِسْلَامِ وَشُهْرَتَهُ وَتَعْظِيمَهُ وَإِرَاحَةَ الْقُلُوبِ عَلَيْهِ فَيَنْخَرِطُ ذَلِكَ فِي سِلْكِ قَوْله تَعَالَى { وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ } قَالَهُ مُحَمَّدٌ الصَّالِحُ بْنُ سُلَيْمٍ الْأَوْجَلِيُّ وَقَالَ اللَّخْمِيُّ : الْعُلَمَاءُ أَوْلَى بِالزَّكَاةِ وَلَوْ كَانُوا أَغْنِيَاءَ ذَكَرَهُ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ الْفَاسِيُّ فِي حَاشِيَتِهِ عَلَى الْمُخْتَصَرِ قَالَ شَيْخُنَا السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ : هَذَا كُلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ رَاتِبٌ فِي بَيْتِ الْمَالِ .
وَفِي أَسْئِلَةِ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَّامٍ لِمُحَمَّدِ بْنِ سَحْنُونَ أَنَّ الزَّكَاةَ تَجُوزُ لِلْعُلَمَاءِ الْفُقَرَاءِ وَهِيَ رِوَايَةُ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ مَالِكٍ ا هـ .
أَيْ : فَقَيَّدَ بِالْفُقَرَاءِ وَرَجَّحَهُ بَعْضُ شُيُوخِنَا فَانْظُرْهُ
حاشية الدسوقي على الشرح الكبير – (ج 5 / ص 49)
( وَإِنَّمَا تُدْفَعُ لَحُرٍّ مُسْلِمٍ فَقِيرٍ ) غَيْرِ هَاشِمِيٍّ فَتُدْفَعُ لِمَالِكِ نِصَابٍ لَا يَكْفِيهِ عَامَهُ فَأَوْلَى مَنْ لَا يَمْلِكُهُ لَا لِعَامِلٍ عَلَيْهَا وَمُؤَلَّفٍ قَلْبُهُ وَلَا فِي الرِّقَابِ وَلَا لِغَارِمٍ وَمُجَاهِدٍ وَغَرِيبٍ يَتَوَصَّلُ بِهَا لِبَلَدِهِ بَلْ بِوَصْفِ الْفَقْرِ وَجَازَ دَفْعُهَا لِأَقَارِبِهِ الَّذِينَ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ وَلِلزَّوْجَةِ دَفْعُهَا لِزَوْجِهَا الْفَقِيرِ بِخِلَافِ الْعَكْسِ
مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – (ج 6 / ص 374)
 ( وإنما تدفع لحر مسلم فقير ) ش : ختم الباب ببيان مصرف زكاة الفطر ، فقال : وإنما تدفع لحر مسلم فقير يعني أنه يشترط فيمن تدفع له زكاة الفطر ثلاثة شروط : ( الأول ) الحرية ، ( والثاني ) الإسلام ، ( والثالث ) الفقر ولا خلاف في ذلك عندنا فلا تدفع لعبد ولا لمن فيه شائبة ولا لكافر ولا لغني ، قال في المدونة : ولا يعطاها أهل الذمة ولا العبد ، قال أبو الحسن : يريد : ولا الأغنياء فإن أعطاها من لا يجوز له أخذها عالما بذلك لم يجزه ولا ضمان عليهم ، وإن لم يعلم نظر فإن كانت قائمة بأيديهم استرجعها ، وإن أكلوها وصانوا بها أموالهم ضمنوها ، وإن هلكت بسبب من الله نظر فإن غروا ضمنوا ، وإن لم يغروا لم يضمنوا ، انتهى
Delapan Golongan Yang Berhak Menerima Zakat[1]

  1. 1.    Fuqoro` (orang-orang faqir)
Orang faqir  adalah orang yang tidak mempunyai harta yang bisa mencukupi separuh kebutuhannya, dan kebutuhan orang-orang yang ditanggung nafkahnya selama umumnya usia manusia yakni 60 tahun dan tidak mempunyai pekerjaan sama sekali, atau mempunyai pekerjaan, hanya saja penghasilannya tidak bisa mencukupi separuh kebutuhan setiap harinya, seperti halnya kebutuhan setiap harinya adalah Rp. 20.000,- sedangkan ia hanya berpenghasilan kurang dari Rp. 10.000,-.  Yang dimaksudkan dengan “harta dan pekerjaan adalah harta dan pekerjaan yang halal dan layak. Dengan demikian termasuk kategori faqir yang berhak menerima zakat adalah:
  1. Orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan.
  2. Orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai pekerjaan. Dan harta yang dimiliki tidak cukup untuk memenuhi separuh kebutuhan pokoknya selama umumnya usia manusia (60 tahun).
  3. Orang yang mempunyai pekerjaan yang halal dan layak, namun tidak mempunyai harta. Dan hasil dari pekerjaan yang dimiliki tidak cukup untuk memenuhi separuh kebutuhan pokok setiap harinya.
  4. Orang yang mempunyai harta serta pekerjaan yang halal dan layak namun kedua-duanya tidak bisa mencukupi separuh kebutuhan tiap harinya.
  5. Orang mempunyai harta dan pekerjaan, atau harta yang bisa mencukupi kebutuhan pokoknya selama umumnya usia manusia, namun harta dan pekerjaan tersebut haram menurut agama.
Catatan:
Kebutuhan yang diperhitungkan adalah kebutuhan selama umumnya usia manusia (60 tahun) apabila hanya mempunyai harta. Apabila hanya mempunyai pekerjaan saja atau mempunyai pekerjaan dan harta, maka yang diperhitungkan adalah kebutuhan setiap harinya. ketentuan ini berlaku untuk fakir maupun miskin.
  1. 2.    Masakin (orang-orang miskin)
Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta yang bisa mencukupi separuh atau lebih dari kebutuhannya, dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya selama umumnya usia manusia (60 tahun) atau orang yang hanya mempunyai pekerjaan saja atau mempunyai harta dan pekerjaan namun tidak mencukupi kebutuhan setiap harinya. Yang dimaksudkan dengan “harta dan pekerjaan” adalah harta dan pekerjaan yang halal dan layak (lihat bab fakir).
Perbedaan yang paling prinsip antara faqir dan miskin adalah, nilai harta atau penghasilannya faqir tidak sampai separo dari yang diperlukan, sedangkan miskin mempunyai harta atau penghasilan yang tidak mencukupi, namun jumlahnya lebih dari separo yang diperlukan. Dan jika harta atau penghasilannya cukup atau lebih dari cukup, maka termasuk kaya.
Catatan:
@ Standar “tidak cukup” dalam keterangan di atas adalah menggunakan standar ekonomi sedang (tidak mewah dan tidak ngirit).
  1. 3.     ‘Amil Zakat
‘Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk mengelola dan mengurusi zakat, dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau negara. Artinya, ‘Amil berhak mendapat bagian dari harta zakat apabila tidak mendapat  gaji dari negara  sehubungan dengan pengelolaan  zakat.
‘Amil meliputi pendataan zakat, penarikan, penghitungan, pembagi zakat dan lain-lain. Sedangkan jumlah zakat yang diberikan pada ‘Amil disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukan, alias memakai standar ujroh mitsil (ongkos standar). Mengingat begitu pentingnya peranan ‘Amil zakat, maka ‘Amil zakat harus ahli syahadah yakni harus islam, laki-laki, merdeka, mukallaf, adil, bisa mendengar, bisa melihat, mengerti permasalahan zakat (faqih) serta bukan dari Bani Hasyim atau Bani Muthollib atau budak yang dimerdekakan mereka. Akan tetapi boleh menjadikan orang kafir sebagai tukang takar, tukang angkat atau penjaga harta zakat yang setatusnya sebagai buruh dan dibayar dari bagiannya ‘amil.
Catatan:
Amil (panitia penerimaan zakat fitrah) yang biasa dibentuk oleh masyarakat/ormas disekolah-sekolah, masjid dan lain-lain, bukanlah amil syar’i, karena mereka tidak dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi status mereka adalah wakil dari muzakki. Sehingga mereka tidak dapat bagian zakat atas nama Amil.

  1. 4.    Muallaf
Secara harfiah, muallaf qulubuhum mengandung arti orang-orang dilunakkan hatinya. Dalam fiqh, yang termasuk kategori muallaf adalah:
  1. Orang yang baru masuk Islam dan Imannya belum kuat.
  2. Orang yang baru masuk Islam dan Imannya sudah kuat dan mempunyai pengaruh di kalangan kaumnya. Dengan memberi zakat kepadanya, diharapkan kaumnya yang masih kafir mau masuk islam.
Catatan:
Untuk dua golongan muallaf di atas, boleh diberi zakat secara mutlak (Baik laki-laki atau perempuan, kaya ataupun miskin, baik kaum muslimin membutuhkan mereka ataupun tidak, yang membagi zakat adalah Imam ataupun pemilik harta sendiri)
  1. Orang yang baru masuk Islam dan Imannya sudah kuat yang melindungi kaum muslimin dari gangguan dan keburukan orang-orang kafir atau golongan anti zakat.
Catatan:
Dua golongan muallaf terakhir, berhak mendapat zakat dengan ketentuan sebagai berikut:
@ Yang memberi/membagi zakat imam (kepala negara), bukan pemilik harta.
@ Muallaf nya laki-laki.
@ Ada kepentingan. Artinya, biaya untuk melindungi kaum muslimin dan biaya memerangi kaum anti zakat lebih besar dibanding zakat yang diberikan.
Golongan muallaf berhak mendapat zakat dengan syarat Islam. Oleh sebab itu, membujuk non muslim agar masuk Islam dengan menggunakan harta zakat tidak diperbolehkan.
  1. 5.    Budak Mukatab
Budak mukatab adalah budak yang dijanjikan merdeka oleh majikannyanya, apabila sudah melunasi sejumlah tebusan yang ditentukan dengan cara angsuran. Budak mukatab berhak mendapat zakat dengan ketentuan sebagai berikut :
@ Islam
@ Tidak mempunyai biaya untuk menebus dirinya.
@ Sahnya akad akad kitabah yang dilakukan.
@ Status dari pemberi zakat bukan sayidnya budak mukatab.
@ Akad kitabah untuk memerdekakan secara keseluruhan (total), bukan sebagiannya saja.
Maksud dari “mukatab berhak mendapat zakat” adalah untuk membantu melunasi tanggungannnya agar ia bisa merdeka.
  1. 6.    Ghorim (Orang yang Mempunyai Hutang).
Ghorim adalah orang yang berhutang atau yang mempunyai tanggungan hutang. Termasuk kategori ghorim adalah :
  1. Orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang/kelompok atau lebih yang sedang bertikai. Orang yang berhutang untuk mendamaikan berhak mendapat zakat apabila benda atau materi yang digunakan untuk sarana islah diperoleh secara hutang dan saat pembagian zakat tanggungan hutang belum lunas.
  2. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan dirinya sendiri atau keluarganya meskipun kemudian dialokasikan untuk kemaksiatan. Apabila berhutang dengan maksud digunakan untuk diri sendiri atau keluarga, dan bersifat sunnah atau mubah seperti halnya untuk biaya hidup atau pendidikan, maka berhak mendapat zakat, meskipun kemudian dialokasikan untuk kemaksiatan.
  3. Orang yang berhutang untuk kemaksiatan, akan tetapi digunakan untuk sesuatu yang mubah, ataupun tetap digunakan untuk kemaksiatan, namun kemudian bertaubat dengan taubat nasuha.
  4. Orang berhutang untuk kemaslahatan umum ataukepentingan orang islam. Seperti, berhutang untuk membangun masjid, madrasah, jembatan dan lain-lain.
  1. 7.    Sabilillah
Sabilillah adalah orang yang berperang dijalan Alloh dan tidak mendapat gaji dari pemerintah. golongan ini mendapatkan bagian zakat sesuai kebutuhannya dan keluarganya, mulai berangkat perang sampai kembali, dan juga semua fasilitas perang yang dibutuhkan.
  1. 8.    Ibnu Sabil (musafir)
Ibnu sabil adalah orang yang memulai bepergian dari daerah zakat, atau musafir yang melewati daerah zakat. Seorang musafir (laki-laki ataupun perempuan) berhak menerima zakat dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. 1.    Tidak maksiat.
Maksudnya, bepergian yang dilakukan oleh musafir tidak mengandung unsur     maksiat. Jika musafir pergi untuk maksiat, maka tidak beleh diberi dan menerima zakat. Selain itu, tempat yang dituju oleh musafir harus jelas. Maka apabila musafir bepergian tanpa adanya tujuan yang jelas. Maka juga tidak boleh diberi dan menerima zakat.
  1.  Butuh biaya.
Maksudnya, musafir sedang tidak punya biaya, atau kehabisan biaya atau kekurangan biaya.
Catatan:
Jumlah zakat yang diberikan kepada para ibnu sabil tidak sama, setiap ibnu sabil diberi harta zakat yang cukup digunakan bekal untuk sampai tujuan atau tempat dimana hartanya berada.

wallahu a'lam

Qonun Asasi Nahdlatul 'Ulama

  MUQODDIMAH_QONUN_ASASI_NU (Pendahuluan Fondasi Dasar Jam'iyyah NU)   Jam'iyyah Nahdhotul 'Ulama' mempunyai garis...