BAB I
PENDAHULUAN
Hadith atau disebut juga assunnah menurut jumhur ulama adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau lainnya.
Hadith adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya dan taat kepada Allah beliau juga memerintahkan untuk percaya dan taat kepada rasulnya yang berarti harus mentaati segala bentuk perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Allah berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“ Katakanlah, taatilah Alah dan rasulnya, jika kamu berpaling maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang kafir”(QS.Ali Imran: 32)
Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berpendapat sebagai berikut:
1. Al-Qur’an bersifat قطعى الورود (Qath’il wurud), sedang hadits bersifat ظنى الورود (Zhannil wurud). Karenanya yang قطعى (qath’i) harus didahulukan dari pada yang ظنّى (Zhanni).
2. Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’adz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah”
4. Kalau Al-Qur’an sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, sejarah perjalannya tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan islam itu sendiri. Tidak sebagaimana al-Qur’an, dalam penerimaan hadith dari Nabi SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabat, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian hadith-hadith yang ada para sahabat kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda, sebab ada yang meriwayatkan sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW ( yang disebut dengan periwayatan bi al-lafdzi ) dan ada yang hanya sesuai maknanya sedang redaksinya tidak sama ( yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na). Dalam hal periwayatan hadith ini juga tidak bisa dielakkan tentang cara-cara penerimaan dan penyampaian hadith sehingga memunculkan redaksi hadith yang bermacam-macam.
Munculnya cara yang bermacam-macam dalam periwayatan hadis ini tentunya membawa implikasi yang berbeda tentang hukum periwayatannya. Dalam makalah ini penulis memaparkan cara – cara periwayatan hadits berikut hukum periwayatannya serta syarat-syarat orang yang menyampaikan hadith
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis sama yang diwurudkan Rasul SAW. Periwayatan hadis dengan cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya karena cara ini lebih memenuhi maksud tujuan hadis tersebut. Kebanyakan para sahabat nabi SAW. Pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadis dengan cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi SAW. Bukan menurut redaksi mereka. Bahkan seperti dikatakan Ajjaj Khatib, sebenarnya para sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdhi bukan dengan ma’nawi .
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya mendengar Rasulullah saw)
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas
nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim)
2. حدّثنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن جابر عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا ضرر ولا ضرار…… (رواه احمد )
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: - "إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
“ Dari Abu Hurairoh ra. Ia berkata saya mendengar Rasulullah bersabda : sesungguhnya umatkau akan dating pada hari kiamat dengan wajah yang bersinar karena bekas wudlu maka barang siapa yang ingin memperpanjang masa bersinarnya maka hendaklah ia melalkukan ( kesempurnaan wudlu)( HR. Bukhari dan muslim sedangkan lafadz hadits menurut riwayat imam Muslim)
B. Periwayatan Ma’nawi
Periwayatan ma’nawi adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya mereka susun sendiri, tidak persis sebagaimana yang diucapkan Nabi SAW.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengapa hadis ada yang diriwayatkan dengan makna, antara lain ;
1. Secara kuantitas jumlah hadits sangat banyak berbeda dengan ayat – ayat al-Qur’an
2. Hadits bukan hanya berupa perkataan Nabi SAW. Tapi juga berupa perbuatan dan ketetapan Nabi SAW. Bahkan ada yang memasukkan ahwal dan himmahnya. Sehingga penerimaan hadits tidak hanya berupa rangkaian kata-kata yang diterimanya langsung dari Nabi SAW melainkan juga perbuatan Nabi SAW yang disaksikan dan diikutinya kemudian disampaikan oleh mereka melalui perbuatan dengan redaksi perkataan mereka sendiri.
3. Daya hafal para sahabat dan kedekatan mereka dengan Nabi SAW tidak sama, sehingga ada yang dengan muda menghafalnya secara utuh tetapi ada juga yang hanya mampu menjaga makna dan tujuan hadis tersebut.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis dengan maknanya . sebagaian ahli hadis, ahli ushul , dan ahli fikih mengharuskan periwayatan hadis sebagaimana yang mereka terima tidak ada penambahan atau pengurangan dengan kata lain periwayatan itu harus dengan lafdhi tidak dengan maknawi .
Jumhur ulama berpendapat lain yaitu membolehkan seseorang meriwayatkan hadits dengan makna atau pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya apabila terpenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Menguasai bahasa arab dan tahu arah / khithab suatu perkataan
2. Berpandangan luas tentang fikih
3. Mengetahui ilmu ma’ani
4. Mengetahui hal – hal yang bisa merusak makna dan apa apa yang tidak, sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut.
Ulama yang memperbolehkan periwayatan dengan makna ini antara lain berhujjah dengan hadits marfu’ dari Abdullah ibn Sulaiman bin Akmiyah al-laithi ia berkata
قلت يا رسول الله اني اسمع منك الحديث لا استطيع ان اؤديه كما اسمع منك يزيد حرفا او ينقص حرفا , فقال اذا لم تحلوا حراما ولم تحرموا حلالا واصبتم المعني فلا باءس (رواه البيهقي)
“ saya berkata wahai rasulullah sesungguhnya saya telah mendengar darimu seuatu hadits tapi saya tidak mampu untuk menyampaikan sebaimana yang saya dengar darimu (mingkin) bertambah satu huruf atau berkurang satu huruf ,maka Nabi SAW bersabda : asal kalian tidak menghalalkna yang haram dan tidak mengharamkan yang halal maka tidak apa-apa” (HR. Imam Baihaqi)
Hukum meriwayatkan hadis dengan makna menurut penulis harus dilihat macam hadis tersebut, kalau hadis itu berupa perbuatan Nabi SAW atau ketetapan nabi maka diperbolehkan sesuai dengan syarat – syarat perawi secara umum. Tapi apabila hadits tersebut berupa perkataan maka penulis cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama yaitu meriwatkan hadith harus dengan lafdznya sebagaimana yang disampaikan oleh rasulullah kepada para sahabat. Meriwayatkan hadis dengan makna itu tentunya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasikan. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun seperti sekarang maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadl yang berbeda meskipun maknanya sama.
C. Tahammul al-hadith
Methode atau cara penerimaan riwayat (hadits) sering disebut dengan tahammul al-hadith.
Pada masa Nabi SAW dan masa sahabat cara menerima hadis itu ada tiga cara, yaitu :
1. Dengan mendengar sendiri hadith – hadith tersebut dari Nabi SAW
2. Dengan melihat sendiri perbuatan – perbuatan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari
3. Mendengar kata-kata Nabi atau melihat perbuatan Nabi SAW itu dari sahabat-sahabat lain, karena tidak mendapat secara langsung dari Nabi SAW.
Adapun pada masa tabiin dan seterusnya, sebagaimana dijelaslan oleh Mahmud Thalhan , Para ulama membagi cara penerimaan hadis itu ada delapan cara yaitu :
1. Al- Sima’
yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik didektekan atau tidak, dan baik dari hafalan gurunya atau dari tulisannya.
Menurut jumhur ulama hadits cara ini adalah cara yang terbaik karena akan terhindar dari kesalahan. Tetapi menurut sebagian ulama cara yang terbaik lagi adalah bila ketika mendengar hadits tersebut seorang murid langsung mencatatnya. Hal ini sangat logis karena ketika syeh sibuk menyampaikan hadits, seorang murid langsung mencatatnya sehingga kemungkinan lupa sangat minim sekali. Adapun lafadz-lafadz yang biasa dipergunakan oleh perawi hadits dengan cara sima’i ini antara lain adalah :
خبرنى ia telah bercerita kepadaku
حدثني ia telah bercerita kepadaku
سمعت.......... saya telah mendengar ….
2. Al-qira’ah ‘ala’ al-syaikhi
ulama hadith menyebut cara ini dengan ‘arad. Menerima hadith dengan cara ini adalah sesorang membaca sebuah hadith di hadapan seorang guru, baik ia sendiri membacanya atau orang lain membaca sedangkan ia mendengarkan bacaan tersebut. Hukum mendapatkaan hadits dengan cara ini menurut jumhur ulama sah – sah saja. Hanya saja imam Ahmad bin Hambal mensyaratkan sesorang yang sedang membaca hadits tersebut mengetahui dan memahami hadits tersebut. Sedang imam Haromain mensyaratkan pada seorang guru atau syeh yang sedang mendengar bacaan hadits tersebut tidak diam saja tapi apabila ia mendengar bacaan hadith yang salah maka ia langsung memperingatkannya dan menunjukkan bacaan yang benar. Sebenarnya apabila kita teliti cara menerima hadit dengan cara ini sebenarnaya sama dengan cara sima’i sehingga hukumnya sama – sama boleh saja dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh imam Ahmad dan Imam Haromain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadith yang berdasarkan methode ini adalah :
قرات عليه.... ( saya telah memmbaca hadits dihadapan…..)
قرئ على فلان وانا اسمع.... ( seseorang telah membaca hadits kepada Fulan dan saya memndengar…)
حدثنا قراءة عليه.... ( ia telah bercerita kepadaku dengan cara membacakan kepada ….)
3. ijazah
yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya.
Cara pemberian ijaazah ini banyak macamnya, antara lain :
a. seorang syekh memberi ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada sesesorang yang tertentu, misalnya : saya memberi ijazah kepadamu kitab shoheh bukhori.
Bentuk ijazah seperti ini adalah yang paling tinggi nilainya. Dan jumhur ulama memperbolehkan periwayatan hadits dengan bentuk seperti tersebut.
b. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tidak tertentu, misalnya : saya memberikan ijazah kepadamu apa-apa yang telah aku dengar.
c. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu pula, misalnya : aku mengijazahkan kepada kaum muslimin seluruh apa yang aku dengar.
d. Seorang syeh mengijazahkan Sesuatu yang tidak jelas kepada orang yang yang tidak jelas, misalnya : saya mengijazahkan kepadamu kitab sunan, sedangkan dia hanya meriwayatkan beberapa hadith saja dari kitab tersebut. Atau seorang syekh mengatakan saya member ijazah kepada Ahmad sedangkan di situ banyak yang bernama Ahmad.
e. Ijazah kepada seseorang yang tidak ada, misalnya : seeorang guru berkata: saya memberi ijazah kepada anakmu yang masih ada dalam kandunganmu.
Meriwayatkan hadit denggan cara sebagaimana pada poin (a) yaitu memberikan ijazah kepada seorang yang memang tertentu kepa hadits tertentu ini boleh karena bentuk ijaza ini sangat jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi meriwayatkan hadith dengan keempat cara ijazah yang terahir ini diperselisihkan oleh ulama hadith, Kebanyakan muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan hadith dengan cara ini.
4. Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Munawalah itu mempunyai dua macam,yaitu :
a. Munawalah disertai dengan ijazah, misalnya seorang guru setelah memberikan naskah kepada muridnya kemudian ia berkata : riwayatkanlah dari saya ini.
Meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperbolehkan dan merupakan derajat yang paling rendah dalam kategori periwayatan secara sima’i
b. Munawalah tanpa disertai ijazah, misalnya : seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridya dan hanya berkata : ini adalah hadits yang telah aku dengar.
Menurut Ibnu Sholah dan imam nawawi, meriwayatkan dengan cara seperti ini dianggap tidak sah.
5. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis sendiri apa yang telah diriwayatkannya atau menyuruh orang lain untuk menulis hadits kepada orang yang ada dihadapannya atau kepada orang lain.
Mukatabah ini juga ada dua macam, ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang tidak disertai dengan ijazah. hukum meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah yang disertai dengan ijazah ini adalah sah dan sama kuatnya dengan munawalah yang disertai ijazah. Adapun mukatabah yang tidak disertai ijazah ini masih diperselisihkan dikalangan ulama hadits . menurut sebagian ulama seperti Imam Mawardi, al-Amidy, Ibnul Qattan meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tidak sah . Tetapi sebagian besar ulama hadits baik angkatan mutaqoddimun maupun mutaakhirun berpendapat bahwa periwayatan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tetap sah.
Lafadz – lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadits dengan cara mukatabah ini ialah :
حدثني فلان كتابة
اخبرني فلان كتابة
كتب الي فلان
6. I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seseorang dengan tidak menyuruh agar si murid meriwayatkannnya.
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasarkan i’lam ini adalah
اعلمني فلان قال حدثنا ......
Menurut sebagian mutaqoddimin seperti ibnu juraij memperbolehkan menyampaikan hadits seperti ini , karena pemberitahuan seorang guru kepada muridnya dengan memperdengarkannya hal itu menunjukkan ridlonya seorang guru kepada muridnya untuk menyampaikan hadits tersebut. Tetapi sebagian ulama’ mengharuskan adanya ijazah dari gurunya.
7. Wasiyat
Yaitu pesan sesorang sebelum bepergian atau wafatnya dengan sebuah kitab supaya diriwayatkannya.
Meurut jumhur ulama tidak diperkenankan meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara ini kecuali apabila orang yang diwasiati itu diberi ijazah .
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits berdasar wasiyat ini seperti :
اوصى الي فلان بكذا...
8. Wijadah
Yaitu seseorang menemukan tulisan hadits orang lain dengan tanpa mendengar, ijazah atau munawalah. Hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperselisihkan di kalangan ulama hadits. Para muhadditsin besar dan ulama – ulama malikiyah tidak memperkenankan . Ajjaj memperbolehkan periwayatan dengan cara ini dengan syarat bahwa hadits yang ditemukannya tersebut betul-betul dinisbatkan kepada seseorang tertentu yang diketahuinya dengan dikuatkan oleh ahli habar atau kitab tersebut sudah terkenal bahwa ia adalah dinisbatkan kepada si fulan misalnya.
Periwayatan hadith dengan cara wijadah ini pada masa mutaqoddimin sangat jarang sekali ditemukan karena mereka sangat menghormati ahli ilmu dan sangat mengutamakan periwayatan dengan musafahah dengan sima’i atau qiroah ‘ala al-shaihi .
C. ‘Ada al-Hadith
Yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadith kepada orang lain.
Semua ulama hadith mensyaratkan untuk orang yang dapat menyampaikan atau meriwayatkan hadith sehingga hadithnya dapat diterima sebagai hujjah. Hal itu karena apa yang ia riwayatkan begitu sangat penting karena menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Syarat – syarat tersebut adalah :
1. Beragama islam
Riwayat orang kafir tidak dapat diterima walaupun dia bukan orang yang suka dusta. Hal itu karena Allah SWT menyuruh kita untuk berhati- hati menerima berita yang disampaikan oleh orang fasik apalagi orang kafir, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurot : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات : 6)
2. Baligh
Yang dikehendaki dengan baligh disini adalah sampai umur dan berakal, karena dengan pertimbangan seseorang yang sudah balig maka kemampuan akalnya sudah mampu membedakan yang baik dan buruk dan mengertti akn akibat dari perbuatannya. Anak yang belum baligh riwayatnya tidak bisa diterima karena mereka kemungkinan berbohong sebab mereka tidak tahu akibat dari berbohong . Tidak diterimanya riwayat anak yang belum baligh ini berdasarkan hadith Nabi SAW.
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مُرَّ عَلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رضى الله عنه بِمَعْنَى عُثْمَانَ. قَالَ أَوَمَا تَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ». (رواه ابو داود )
Tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa periwayatan anak kecil itu bisa
diterima dengan syarat ketika menyampaikan hadith tersebut ia dalam
keadaan sudah dewasa, hal itu karena banyak sahabat Nabi SAW seperti
Hasan, Husein, Ibnu al-Abbas dan lain-lain yang menerima hadits ketika
mereka masih kanak-kanak .
3. ‘Adalah
Yaitu suatu sifat yang melekat di dalam jiwa yang mana orang yang mempunyai sifat adalah akan selalu bertanqwa dan muru’ah (mampu menjaga diri dari perbuatan yang tercela dan kurang pantas )
Termasuk adalah orang yang menjauhi dosa – dosa besear dan sebagian dosa – dosa kecil, dan menjauhi hal-kal yang mubah tetapi perbuatan tersebut dianggap kurang pantas seperti makan sambil berjalan, kencing di jalan walaupun kemaluannya tidak terlihat orang lain, tertawa terbahak-bahak,dan lain-lain.
4. Dlabit
Yaitu kekuatan ingatan seorang perawi terhadap apa yang didengarnya dan memahaminya dengan baik, serta dihafalkannya sejak dari ia menerima sampai kepada ia menceritakannya kepada orang lain.
Cara untuk mengetahui kedlabitan seseorang adalah dengan mengecek riwayatnya dengan dengan riwayat orang lain, jika riwayatnya bersesuaian walaupun dalam maknanya maka bisa diterima tetapi kalau riwayatnya banyak yang tidak sesuai dengan riwayat orang lain maka riwayatnya tidak bisa diterima.
Adapun lafad yang digunakan untuk menyampaikan hadits sebenarnya telah diketahui dimuka dalam pembahasan tahammul al-hadith . Perbedaan cara perawi menerima hadith dari gurunya maka berbeda pula lafadl yang digunakan untuk mmenyampaikan hadith kepada orang lalin. Perbedaan lafdz dalam menyampaikan hadits itu mengakibatkan perbedan nilai suatu hadits, misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz sama’ lebih meyakinkan kepada kita bahwa ia menerima sendiri dari guru yang menyampakan hadith, hal ini tentunya berbeda dengan hadith yang diriwayatkan dengan memakai sighat ‘an’annah ( ‘an = dari, ‘anna = sesungguhnya) memberi kesimpulan adanya kemungkinan rawi-rawi tersebut mendengar sendiri langsung dari gurunya atau melalui dari orang lain.
Lafadz-lafdz untuk mmenyampikan hadith itu, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Lafadz meriwayatkan hadith bagi rawi yang mendengar langsung dari gurunya. lafadz – lafad tersebut tersusun sebagi berikut :
سمعت, سمعنا
حدثني , حدثنا
اخبرني ,اخبرنا
قال لي ...
b. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
Lafadz – lafadz yang dipakai adalah :
روي
حكي
عن
ان ...
Selain syarat-syarat tersebut di atas yang harus dipenuhi oleh seorang yag menyampaikan hadits, maka berikut ini tidak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh orang yang menyampaikan hadits yaitu seorang yang meyampakan hadits harus mempunyai tata kerama atau adab-adab tertentu sebagai mana disampaikan oleh syekh Zainudin Abdu al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dalam bukunya alfiyah al’iraqi fi ulumi al-hadith :
Adab orang yang menyampaikan hadits :
1. Memperbaiki niat dalam menyampikan hadits
2. Berwudlu dulu
3. Mandi dan memakai wangi-wangian
4. Menjelaskan suara agar yang mendengar menjadi jelas
5. Duduk dengan sopan
6. Tidak menyampaikan hadits dengan tergesa-gesa
7. Tidak menyampaikan hadits bila dimajlis tersebut ada yang lebih berhak
8. Menghadap pada orang yang akan diberi hadits
9. Menahan diri untuk tidak menyampaikan hadit pada orang yang dikhawatirkan tidak bisa menjaganya
10. Sebelum dan sesudah meyampaikan hadits hendaknya membaca hamdalah, sholawat dan salam,dll.
BAB III
PENUTUP
Hadith adalah segala sesuatu yan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Di dalam meriwayatkan hadits baik para sahabat maupun tabiin ada yang meriwayatkan hadith dengan lafadz yang sama persis sebagaiimana yang disamapikan oleh Rasulullah SAW dan ada yang meriwayatkan dengan maknanya saja. Dalam menyikapi kedua jenis periwayatan tersebut para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang menolak .
Metode atau cara menerima hadith ada delapan yaitu :
1. Al-sima’
2. Al-qiro’ah ‘ala al-syaikhi
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-kitabah
6. Al-I’lam
7. Al-wasiat
8. Al- wijadah
Riwayat seorang perawi tidak begitu saja diterima periwayatannya tapi perlu dilihat apa sudah memenuhi syarat atau belum, adapun syarat seorang perawi adalah :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. dlabith
lafadz yang digunakan oleh para perawi hadith itu ada banyak macamnya , namun bila dikelompokkan ada dua, yaitu :
1. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mendengar langsung dari gurunya
2. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mungkin mendengar langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
sumber : http://caksyeh.blogspot.co.id/2013/06/periwayatan-hadits-dengan-lafadl-dan.html
PENDAHULUAN
Hadith atau disebut juga assunnah menurut jumhur ulama adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau lainnya.
Hadith adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Qur’an. Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya dan taat kepada Allah beliau juga memerintahkan untuk percaya dan taat kepada rasulnya yang berarti harus mentaati segala bentuk perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Allah berfirman :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berpendapat sebagai berikut:
1. Al-Qur’an bersifat قطعى الورود (Qath’il wurud), sedang hadits bersifat ظنى الورود (Zhannil wurud). Karenanya yang قطعى (qath’i) harus didahulukan dari pada yang ظنّى (Zhanni).
2. Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’adz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah”
4. Kalau Al-Qur’an sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Hadis sebagai sumber ajaran Islam, sejarah perjalannya tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan islam itu sendiri. Tidak sebagaimana al-Qur’an, dalam penerimaan hadith dari Nabi SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabat, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka. Penulisan itupun hanya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian hadith-hadith yang ada para sahabat kemudian diterima oleh para tabi’in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbeda, sebab ada yang meriwayatkan sesuai atau sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW ( yang disebut dengan periwayatan bi al-lafdzi ) dan ada yang hanya sesuai maknanya sedang redaksinya tidak sama ( yang disebut dengan periwayatan bi al-ma’na). Dalam hal periwayatan hadith ini juga tidak bisa dielakkan tentang cara-cara penerimaan dan penyampaian hadith sehingga memunculkan redaksi hadith yang bermacam-macam.
Munculnya cara yang bermacam-macam dalam periwayatan hadis ini tentunya membawa implikasi yang berbeda tentang hukum periwayatannya. Dalam makalah ini penulis memaparkan cara – cara periwayatan hadits berikut hukum periwayatannya serta syarat-syarat orang yang menyampaikan hadith
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periwayatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis sama yang diwurudkan Rasul SAW. Periwayatan hadis dengan cara ini adalah cara yang sebaik-baiknya karena cara ini lebih memenuhi maksud tujuan hadis tersebut. Kebanyakan para sahabat nabi SAW. Pada dasarnya mengharuskan periwayatan hadis dengan cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi SAW. Bukan menurut redaksi mereka. Bahkan seperti dikatakan Ajjaj Khatib, sebenarnya para sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafdhi bukan dengan ma’nawi .
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم)
2. حدّثنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ
أَبِى زَائِدَةَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ
عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ
اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَالاِسْتِنْشَاقُ بِالْمَاءِ وَقَصُّ
الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ
وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ »
“telah bercerita bercerita kepadaku yahya ibn ma’in telah bercerita
kepadaku waki’ dari zakariya ibn Abi zaidah dari mushab ibn shaibah dari
thalqi ibn habib dari zubair dari ‘aisyah ia berkata : nabi SAW
bersabda : sepuluh hal termasuk bersuci yaitu : mencukur brengos,
menipiskan jenggot,siwak ishtinshaq, memotong kuku, membersihkan kotoran
di ujung jari, mencabut bulu kketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (
HR Muslim)
3. أخبرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
3. أخبرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin
Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya
benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi
mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat
Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa
para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan
hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan
cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf. Hal ini sebagaimana
yang di katakan Umar bin Khattab
قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
“ Umar bin Khattab berkata : barang siapa mendengar suatu hadits
kemudian ia membacakan hadits tersebut sesuai dengan ( lafdz) yang ia
dengar maka ia selamat”
Di zaman para sahabat, mereka tidak meriwayatkan hadis kecuali dengan cara ini, utamanya hadis–hadis yang berkenaan bacaan taabbud dan jawami’ul kalim. Hadith-hadith yang berkenaan dengan bacaan–bacaan ta’abbudi seperti adzan, tasyahud, takbir, salam, doa dan lain-lain semua itu para sahabat tidak ada yang meriwayatkan dengan makna tapi mereka meriwayatkan dengan lafdhi kar na bacaan-bacaan tersebut adalah tauqifi ( ketetapan dari Rasul yang tidak boleh ditambah) karena bacaan-bacaan tersebut adalah bacaan-bacan yang bernilai ibadah sedangkan bacan yang bernilai ibadah itu adalah haj prerogratif Allah dan rasulnya yang ana manusia biasa tidak bisa begitu saja membuat ucapan-ucapan atau lafadz kemudian dimasukkan dalam rangkaian ibadah. Begitu juga hadish-hadis jawa>mi’ul kalim yaitu hadith yang lafadlnya singkat tapi mempunyai makna yang sangat dalam dan luas. hadis – hadith ini harus diriwayatkan dengan lafdhi tidak dengan yang lain, karena orang-orang sekalipun ahli sastra arab tidak akan mampu untuk menyamai kata-kata tersebut, dan itu hanya dimiliki oleh Nabi SAW.
Di zaman para sahabat, mereka tidak meriwayatkan hadis kecuali dengan cara ini, utamanya hadis–hadis yang berkenaan bacaan taabbud dan jawami’ul kalim. Hadith-hadith yang berkenaan dengan bacaan–bacaan ta’abbudi seperti adzan, tasyahud, takbir, salam, doa dan lain-lain semua itu para sahabat tidak ada yang meriwayatkan dengan makna tapi mereka meriwayatkan dengan lafdhi kar na bacaan-bacaan tersebut adalah tauqifi ( ketetapan dari Rasul yang tidak boleh ditambah) karena bacaan-bacaan tersebut adalah bacaan-bacan yang bernilai ibadah sedangkan bacan yang bernilai ibadah itu adalah haj prerogratif Allah dan rasulnya yang ana manusia biasa tidak bisa begitu saja membuat ucapan-ucapan atau lafadz kemudian dimasukkan dalam rangkaian ibadah. Begitu juga hadish-hadis jawa>mi’ul kalim yaitu hadith yang lafadlnya singkat tapi mempunyai makna yang sangat dalam dan luas. hadis – hadith ini harus diriwayatkan dengan lafdhi tidak dengan yang lain, karena orang-orang sekalipun ahli sastra arab tidak akan mampu untuk menyamai kata-kata tersebut, dan itu hanya dimiliki oleh Nabi SAW.
Contoh hadith jawami’ul kalim
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن جابر عن عكرمة عن بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا ضرر ولا ضرار…… (رواه احمد )
“Telah bercerita kepada kami Abdullah dan telah bercerita kepadaku Abdu
al-Razaq dari Ma’mar dari jabir dari ‘ikrimah dari Ibn Abbas ia berkata:
Rasulullah bersabda tidak boleh memayahkan diri dan memayahkan orang
lain…..”(HR.Ahmad)
Para ulama’ hadis juga sangat berhati-hati apabila meriwayatkan hadis yang berlainan kata katanya tetapi maksudnya sama. Apabila mereka menerima hadis dari beberapa orang guru yang susunan katanya berlainan sedang maknanya sama mereka biasa berkata :
حدثنا فلان وفلان واللفظ لفلان
“hadits ini telah diceritakan kepada saya oleh fulan dan fulan sedang matannya yang saya sampaikan menurut yang diriwayatkan fulan”
Contoh :
Para ulama’ hadis juga sangat berhati-hati apabila meriwayatkan hadis yang berlainan kata katanya tetapi maksudnya sama. Apabila mereka menerima hadis dari beberapa orang guru yang susunan katanya berlainan sedang maknanya sama mereka biasa berkata :
حدثنا فلان وفلان واللفظ لفلان
“hadits ini telah diceritakan kepada saya oleh fulan dan fulan sedang matannya yang saya sampaikan menurut yang diriwayatkan fulan”
Contoh :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ: - "إِنَّ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ, مِنْ أَثَرِ اَلْوُضُوءِ, فَمَنْ اِسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ
“ Dari Abu Hurairoh ra. Ia berkata saya mendengar Rasulullah bersabda : sesungguhnya umatkau akan dating pada hari kiamat dengan wajah yang bersinar karena bekas wudlu maka barang siapa yang ingin memperpanjang masa bersinarnya maka hendaklah ia melalkukan ( kesempurnaan wudlu)( HR. Bukhari dan muslim sedangkan lafadz hadits menurut riwayat imam Muslim)
B. Periwayatan Ma’nawi
Periwayatan ma’nawi adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya mereka susun sendiri, tidak persis sebagaimana yang diucapkan Nabi SAW.
Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengapa hadis ada yang diriwayatkan dengan makna, antara lain ;
1. Secara kuantitas jumlah hadits sangat banyak berbeda dengan ayat – ayat al-Qur’an
2. Hadits bukan hanya berupa perkataan Nabi SAW. Tapi juga berupa perbuatan dan ketetapan Nabi SAW. Bahkan ada yang memasukkan ahwal dan himmahnya. Sehingga penerimaan hadits tidak hanya berupa rangkaian kata-kata yang diterimanya langsung dari Nabi SAW melainkan juga perbuatan Nabi SAW yang disaksikan dan diikutinya kemudian disampaikan oleh mereka melalui perbuatan dengan redaksi perkataan mereka sendiri.
3. Daya hafal para sahabat dan kedekatan mereka dengan Nabi SAW tidak sama, sehingga ada yang dengan muda menghafalnya secara utuh tetapi ada juga yang hanya mampu menjaga makna dan tujuan hadis tersebut.
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis dengan maknanya . sebagaian ahli hadis, ahli ushul , dan ahli fikih mengharuskan periwayatan hadis sebagaimana yang mereka terima tidak ada penambahan atau pengurangan dengan kata lain periwayatan itu harus dengan lafdhi tidak dengan maknawi .
Jumhur ulama berpendapat lain yaitu membolehkan seseorang meriwayatkan hadits dengan makna atau pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya apabila terpenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Menguasai bahasa arab dan tahu arah / khithab suatu perkataan
2. Berpandangan luas tentang fikih
3. Mengetahui ilmu ma’ani
4. Mengetahui hal – hal yang bisa merusak makna dan apa apa yang tidak, sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut.
Ulama yang memperbolehkan periwayatan dengan makna ini antara lain berhujjah dengan hadits marfu’ dari Abdullah ibn Sulaiman bin Akmiyah al-laithi ia berkata
قلت يا رسول الله اني اسمع منك الحديث لا استطيع ان اؤديه كما اسمع منك يزيد حرفا او ينقص حرفا , فقال اذا لم تحلوا حراما ولم تحرموا حلالا واصبتم المعني فلا باءس (رواه البيهقي)
“ saya berkata wahai rasulullah sesungguhnya saya telah mendengar darimu seuatu hadits tapi saya tidak mampu untuk menyampaikan sebaimana yang saya dengar darimu (mingkin) bertambah satu huruf atau berkurang satu huruf ,maka Nabi SAW bersabda : asal kalian tidak menghalalkna yang haram dan tidak mengharamkan yang halal maka tidak apa-apa” (HR. Imam Baihaqi)
Hukum meriwayatkan hadis dengan makna menurut penulis harus dilihat macam hadis tersebut, kalau hadis itu berupa perbuatan Nabi SAW atau ketetapan nabi maka diperbolehkan sesuai dengan syarat – syarat perawi secara umum. Tapi apabila hadits tersebut berupa perkataan maka penulis cenderung mengikuti pendapat jumhur ulama yaitu meriwatkan hadith harus dengan lafdznya sebagaimana yang disampaikan oleh rasulullah kepada para sahabat. Meriwayatkan hadis dengan makna itu tentunya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasikan. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun seperti sekarang maka tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadl yang berbeda meskipun maknanya sama.
C. Tahammul al-hadith
Methode atau cara penerimaan riwayat (hadits) sering disebut dengan tahammul al-hadith.
Pada masa Nabi SAW dan masa sahabat cara menerima hadis itu ada tiga cara, yaitu :
1. Dengan mendengar sendiri hadith – hadith tersebut dari Nabi SAW
2. Dengan melihat sendiri perbuatan – perbuatan Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari
3. Mendengar kata-kata Nabi atau melihat perbuatan Nabi SAW itu dari sahabat-sahabat lain, karena tidak mendapat secara langsung dari Nabi SAW.
Adapun pada masa tabiin dan seterusnya, sebagaimana dijelaslan oleh Mahmud Thalhan , Para ulama membagi cara penerimaan hadis itu ada delapan cara yaitu :
1. Al- Sima’
yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik didektekan atau tidak, dan baik dari hafalan gurunya atau dari tulisannya.
Menurut jumhur ulama hadits cara ini adalah cara yang terbaik karena akan terhindar dari kesalahan. Tetapi menurut sebagian ulama cara yang terbaik lagi adalah bila ketika mendengar hadits tersebut seorang murid langsung mencatatnya. Hal ini sangat logis karena ketika syeh sibuk menyampaikan hadits, seorang murid langsung mencatatnya sehingga kemungkinan lupa sangat minim sekali. Adapun lafadz-lafadz yang biasa dipergunakan oleh perawi hadits dengan cara sima’i ini antara lain adalah :
خبرنى ia telah bercerita kepadaku
حدثني ia telah bercerita kepadaku
سمعت.......... saya telah mendengar ….
2. Al-qira’ah ‘ala’ al-syaikhi
ulama hadith menyebut cara ini dengan ‘arad. Menerima hadith dengan cara ini adalah sesorang membaca sebuah hadith di hadapan seorang guru, baik ia sendiri membacanya atau orang lain membaca sedangkan ia mendengarkan bacaan tersebut. Hukum mendapatkaan hadits dengan cara ini menurut jumhur ulama sah – sah saja. Hanya saja imam Ahmad bin Hambal mensyaratkan sesorang yang sedang membaca hadits tersebut mengetahui dan memahami hadits tersebut. Sedang imam Haromain mensyaratkan pada seorang guru atau syeh yang sedang mendengar bacaan hadits tersebut tidak diam saja tapi apabila ia mendengar bacaan hadith yang salah maka ia langsung memperingatkannya dan menunjukkan bacaan yang benar. Sebenarnya apabila kita teliti cara menerima hadit dengan cara ini sebenarnaya sama dengan cara sima’i sehingga hukumnya sama – sama boleh saja dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh imam Ahmad dan Imam Haromain.
Lafadz-lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadith yang berdasarkan methode ini adalah :
قرات عليه.... ( saya telah memmbaca hadits dihadapan…..)
قرئ على فلان وانا اسمع.... ( seseorang telah membaca hadits kepada Fulan dan saya memndengar…)
حدثنا قراءة عليه.... ( ia telah bercerita kepadaku dengan cara membacakan kepada ….)
3. ijazah
yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya.
Cara pemberian ijaazah ini banyak macamnya, antara lain :
a. seorang syekh memberi ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada sesesorang yang tertentu, misalnya : saya memberi ijazah kepadamu kitab shoheh bukhori.
Bentuk ijazah seperti ini adalah yang paling tinggi nilainya. Dan jumhur ulama memperbolehkan periwayatan hadits dengan bentuk seperti tersebut.
b. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tidak tertentu, misalnya : saya memberikan ijazah kepadamu apa-apa yang telah aku dengar.
c. Seorang syekh memberikan ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu pula, misalnya : aku mengijazahkan kepada kaum muslimin seluruh apa yang aku dengar.
d. Seorang syeh mengijazahkan Sesuatu yang tidak jelas kepada orang yang yang tidak jelas, misalnya : saya mengijazahkan kepadamu kitab sunan, sedangkan dia hanya meriwayatkan beberapa hadith saja dari kitab tersebut. Atau seorang syekh mengatakan saya member ijazah kepada Ahmad sedangkan di situ banyak yang bernama Ahmad.
e. Ijazah kepada seseorang yang tidak ada, misalnya : seeorang guru berkata: saya memberi ijazah kepada anakmu yang masih ada dalam kandunganmu.
Meriwayatkan hadit denggan cara sebagaimana pada poin (a) yaitu memberikan ijazah kepada seorang yang memang tertentu kepa hadits tertentu ini boleh karena bentuk ijaza ini sangat jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tetapi meriwayatkan hadith dengan keempat cara ijazah yang terahir ini diperselisihkan oleh ulama hadith, Kebanyakan muhadditsin tidak memperkenankan meriwayatkan hadith dengan cara ini.
4. Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Munawalah itu mempunyai dua macam,yaitu :
a. Munawalah disertai dengan ijazah, misalnya seorang guru setelah memberikan naskah kepada muridnya kemudian ia berkata : riwayatkanlah dari saya ini.
Meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperbolehkan dan merupakan derajat yang paling rendah dalam kategori periwayatan secara sima’i
b. Munawalah tanpa disertai ijazah, misalnya : seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridya dan hanya berkata : ini adalah hadits yang telah aku dengar.
Menurut Ibnu Sholah dan imam nawawi, meriwayatkan dengan cara seperti ini dianggap tidak sah.
5. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis sendiri apa yang telah diriwayatkannya atau menyuruh orang lain untuk menulis hadits kepada orang yang ada dihadapannya atau kepada orang lain.
Mukatabah ini juga ada dua macam, ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang tidak disertai dengan ijazah. hukum meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah yang disertai dengan ijazah ini adalah sah dan sama kuatnya dengan munawalah yang disertai ijazah. Adapun mukatabah yang tidak disertai ijazah ini masih diperselisihkan dikalangan ulama hadits . menurut sebagian ulama seperti Imam Mawardi, al-Amidy, Ibnul Qattan meriwayatkan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tidak sah . Tetapi sebagian besar ulama hadits baik angkatan mutaqoddimun maupun mutaakhirun berpendapat bahwa periwayatan hadits dengan cara mukatabah tanpa disertai ijazah ini tetap sah.
Lafadz – lafadz yang dipergunakan untuk menyampaikan hadits dengan cara mukatabah ini ialah :
حدثني فلان كتابة
اخبرني فلان كتابة
كتب الي فلان
6. I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seseorang dengan tidak menyuruh agar si murid meriwayatkannnya.
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasarkan i’lam ini adalah
اعلمني فلان قال حدثنا ......
Menurut sebagian mutaqoddimin seperti ibnu juraij memperbolehkan menyampaikan hadits seperti ini , karena pemberitahuan seorang guru kepada muridnya dengan memperdengarkannya hal itu menunjukkan ridlonya seorang guru kepada muridnya untuk menyampaikan hadits tersebut. Tetapi sebagian ulama’ mengharuskan adanya ijazah dari gurunya.
7. Wasiyat
Yaitu pesan sesorang sebelum bepergian atau wafatnya dengan sebuah kitab supaya diriwayatkannya.
Meurut jumhur ulama tidak diperkenankan meriwayatkan hadits yang diperoleh dengan cara ini kecuali apabila orang yang diwasiati itu diberi ijazah .
Lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadits berdasar wasiyat ini seperti :
اوصى الي فلان بكذا...
8. Wijadah
Yaitu seseorang menemukan tulisan hadits orang lain dengan tanpa mendengar, ijazah atau munawalah. Hukum meriwayatkan hadits dengan cara ini masih diperselisihkan di kalangan ulama hadits. Para muhadditsin besar dan ulama – ulama malikiyah tidak memperkenankan . Ajjaj memperbolehkan periwayatan dengan cara ini dengan syarat bahwa hadits yang ditemukannya tersebut betul-betul dinisbatkan kepada seseorang tertentu yang diketahuinya dengan dikuatkan oleh ahli habar atau kitab tersebut sudah terkenal bahwa ia adalah dinisbatkan kepada si fulan misalnya.
Periwayatan hadith dengan cara wijadah ini pada masa mutaqoddimin sangat jarang sekali ditemukan karena mereka sangat menghormati ahli ilmu dan sangat mengutamakan periwayatan dengan musafahah dengan sima’i atau qiroah ‘ala al-shaihi .
C. ‘Ada al-Hadith
Yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadith kepada orang lain.
Semua ulama hadith mensyaratkan untuk orang yang dapat menyampaikan atau meriwayatkan hadith sehingga hadithnya dapat diterima sebagai hujjah. Hal itu karena apa yang ia riwayatkan begitu sangat penting karena menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Syarat – syarat tersebut adalah :
1. Beragama islam
Riwayat orang kafir tidak dapat diterima walaupun dia bukan orang yang suka dusta. Hal itu karena Allah SWT menyuruh kita untuk berhati- hati menerima berita yang disampaikan oleh orang fasik apalagi orang kafir, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hujurot : 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات : 6)
2. Baligh
Yang dikehendaki dengan baligh disini adalah sampai umur dan berakal, karena dengan pertimbangan seseorang yang sudah balig maka kemampuan akalnya sudah mampu membedakan yang baik dan buruk dan mengertti akn akibat dari perbuatannya. Anak yang belum baligh riwayatnya tidak bisa diterima karena mereka kemungkinan berbohong sebab mereka tidak tahu akibat dari berbohong . Tidak diterimanya riwayat anak yang belum baligh ini berdasarkan hadith Nabi SAW.
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مِهْرَانَ عَنْ أَبِى ظَبْيَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مُرَّ عَلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رضى الله عنه بِمَعْنَى عُثْمَانَ. قَالَ أَوَمَا تَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يُفِيقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ». (رواه ابو داود )
3. ‘Adalah
Yaitu suatu sifat yang melekat di dalam jiwa yang mana orang yang mempunyai sifat adalah akan selalu bertanqwa dan muru’ah (mampu menjaga diri dari perbuatan yang tercela dan kurang pantas )
Termasuk adalah orang yang menjauhi dosa – dosa besear dan sebagian dosa – dosa kecil, dan menjauhi hal-kal yang mubah tetapi perbuatan tersebut dianggap kurang pantas seperti makan sambil berjalan, kencing di jalan walaupun kemaluannya tidak terlihat orang lain, tertawa terbahak-bahak,dan lain-lain.
4. Dlabit
Yaitu kekuatan ingatan seorang perawi terhadap apa yang didengarnya dan memahaminya dengan baik, serta dihafalkannya sejak dari ia menerima sampai kepada ia menceritakannya kepada orang lain.
Cara untuk mengetahui kedlabitan seseorang adalah dengan mengecek riwayatnya dengan dengan riwayat orang lain, jika riwayatnya bersesuaian walaupun dalam maknanya maka bisa diterima tetapi kalau riwayatnya banyak yang tidak sesuai dengan riwayat orang lain maka riwayatnya tidak bisa diterima.
Adapun lafad yang digunakan untuk menyampaikan hadits sebenarnya telah diketahui dimuka dalam pembahasan tahammul al-hadith . Perbedaan cara perawi menerima hadith dari gurunya maka berbeda pula lafadl yang digunakan untuk mmenyampaikan hadith kepada orang lalin. Perbedaan lafdz dalam menyampaikan hadits itu mengakibatkan perbedan nilai suatu hadits, misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafadz sama’ lebih meyakinkan kepada kita bahwa ia menerima sendiri dari guru yang menyampakan hadith, hal ini tentunya berbeda dengan hadith yang diriwayatkan dengan memakai sighat ‘an’annah ( ‘an = dari, ‘anna = sesungguhnya) memberi kesimpulan adanya kemungkinan rawi-rawi tersebut mendengar sendiri langsung dari gurunya atau melalui dari orang lain.
Lafadz-lafdz untuk mmenyampikan hadith itu, dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
a. Lafadz meriwayatkan hadith bagi rawi yang mendengar langsung dari gurunya. lafadz – lafad tersebut tersusun sebagi berikut :
سمعت, سمعنا
حدثني , حدثنا
اخبرني ,اخبرنا
قال لي ...
b. Lafadz riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
Lafadz – lafadz yang dipakai adalah :
روي
حكي
عن
ان ...
Selain syarat-syarat tersebut di atas yang harus dipenuhi oleh seorang yag menyampaikan hadits, maka berikut ini tidak kalah pentingnya untuk dimiliki oleh orang yang menyampaikan hadits yaitu seorang yang meyampakan hadits harus mempunyai tata kerama atau adab-adab tertentu sebagai mana disampaikan oleh syekh Zainudin Abdu al-Rahim ibn Husain al-‘Iraqi dalam bukunya alfiyah al’iraqi fi ulumi al-hadith :
Adab orang yang menyampaikan hadits :
1. Memperbaiki niat dalam menyampikan hadits
2. Berwudlu dulu
3. Mandi dan memakai wangi-wangian
4. Menjelaskan suara agar yang mendengar menjadi jelas
5. Duduk dengan sopan
6. Tidak menyampaikan hadits dengan tergesa-gesa
7. Tidak menyampaikan hadits bila dimajlis tersebut ada yang lebih berhak
8. Menghadap pada orang yang akan diberi hadits
9. Menahan diri untuk tidak menyampaikan hadit pada orang yang dikhawatirkan tidak bisa menjaganya
10. Sebelum dan sesudah meyampaikan hadits hendaknya membaca hamdalah, sholawat dan salam,dll.
BAB III
PENUTUP
Hadith adalah segala sesuatu yan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Di dalam meriwayatkan hadits baik para sahabat maupun tabiin ada yang meriwayatkan hadith dengan lafadz yang sama persis sebagaiimana yang disamapikan oleh Rasulullah SAW dan ada yang meriwayatkan dengan maknanya saja. Dalam menyikapi kedua jenis periwayatan tersebut para ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada yang menolak .
Metode atau cara menerima hadith ada delapan yaitu :
1. Al-sima’
2. Al-qiro’ah ‘ala al-syaikhi
3. Al-ijazah
4. Al-munawalah
5. Al-kitabah
6. Al-I’lam
7. Al-wasiat
8. Al- wijadah
Riwayat seorang perawi tidak begitu saja diterima periwayatannya tapi perlu dilihat apa sudah memenuhi syarat atau belum, adapun syarat seorang perawi adalah :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. dlabith
lafadz yang digunakan oleh para perawi hadith itu ada banyak macamnya , namun bila dikelompokkan ada dua, yaitu :
1. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mendengar langsung dari gurunya
2. lafadz meriwayatkan hadith bagi perawi yang mungkin mendengar langsung dari gurunya atau tidak mendengar sendiri.
sumber : http://caksyeh.blogspot.co.id/2013/06/periwayatan-hadits-dengan-lafadl-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar