USHUL FIQH
Devinisi Ushul Fiqh
Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kalimat ushul dan fiqh. Ushul adalah kata jamak dari ashal ( اصل ).
Ashal menurut etimologi ialah pangkal, pokok, dasar dll. Misalnya:
fondasi adalah tempat rumah didirikan; akar adalah penguat tegaknya
pohon dan sebagainya.
Sedangkan lawan kata dari pada ashal adalah cabang ( فرع ). Jadi, jika keterangan tersebut dipakai sebagai acuan, rumah adalah cabang sedangkan fondasinya adalah ashal.
Kata yang kedua ialah fiqh, menurut etimologi artinya paham, sedangkan menurut terminology ialah:
هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية
“……mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci “
seperti perbuatan mukalllaf. Baik perbuatan anggota maupum batin,
seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya perbuatan itu.
Jika disimpulkan ta’rif ushul fiqh ialah :
هو العلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الي الاستفادة من الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“…..ilmu pengetahuan tentang
kaidah-kaidah dan pembahasan yang dipergunakan dalam pengambilam hukum
syara’ yang praktis dari dalil-dalil terperinci “
sedangkan dalil-dalil hukum tersebut
bersumber (mengambil) dari Al qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Yang
telah menjadi ketetapan para ulama’ mujtahid.
Sedangkan devinisi kaidah ialah :
هي الظوابط الكلية العامة التي تشتمل علي احكام جزئية
“…. Batasan-batasan kuli yang juga
umum yang bisa mencakup pada hukum juz’i”. contoh: amr itu menunjukkan
wajib dan larangan menunjukkan keharaman, seperti firman Allah ta’ala:
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة
Ayat tersebut menunjukkan akan kewajiban sholat dan zakat, sedangkan contoh larangan, yaitu firman Allah ta’ala:
لاتقربوا الزنا
Ayat tersebut menunjukkan akan keharaman berzina dan masih banyak contoh-contoh yang terdapat didalam Al qur’an.
Sedangkan yang dimaksud dengan “dalil-dalil tafsil” ialah:
هي الادلة الجزئية التي تتعلق بمسئلة بخصوصها وتدل علي حكم بعينه
“….dalil-dalil juz’i yang berkaitan pada permasalahan pada khususnya dan menunjukkan pada hukum secara spesifik “
-
Tujuan Ilmu Ushul Fiqh
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu
ushul fiqh ialah meletakkan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam
menetapkan hukum bagi setiap perbuatan atau perkataan mukallaf. Dengan
merealisasikan kaidah tersebut maka seorang mukallaf bisa mengetahui
atau memahami hukum-hukum syara’, juga memahami ketidak jelasan nash,
juga dapat mengetahui apabila ada pertentangan diantara dua buah nash,
jug dapat mengetahui cara-cara atau metode para mujtahid dalam mengambil
hukum dari nash, dan juga dapat mengetahui perbedaan pendapat antara
fuqoha’ dalam menentukan dan menetapkan terhadap beberapa kasus.
Tidak
hanya sampai disitu tujuan dari ushul fiqh dan masih banyak yang lain
yang berkaitan erat dengan ushul fiqh, semisal: istihsan, istishab,
qiyas, ijma’, dll.
-
Pokok Bahasan Dalam Ushul Fiqh
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu ushul
fiqh ialah sumber umum hukum syara’ itu sendiri dan hukum umum yang
diperoleh dari sumber hukum syara’.
Ahli ushul fiqh berbicara tentang Al qur’an
dan sunah dari segi lafadlnya, baik dalam bentuk amar, nahi, ‘am, khos,
mutlaq dan muqayyad. Mereka bicarakan tentang ijma’, qiyas, istihsan,
istishab, mafhum, maslahatul mursalah, syariat yang ditetapkan dalam
umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum
pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf.
Demikianlah para ahli ushul fiqh menbahas
lafadl amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib, lafald
nahi dari segi pengertian aslinya menunjukkan haram, lafadl umum (‘am)
yang pengertiaannya meliputi semua yang dapat dimasukkan kedalam
pengertian itu, lafadl mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian
juaga lafadl muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan dalam
kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum (hukum kulli) yang
diambil dari sumber atau dalil umum (dalil kulli). Oleh para fuqoha’
kaidah hukum kulli dijadikan dasar menetapkan hukum pada hukum tertentu.
Umpamanya dari kaidah “amar lil wujud” diterapkan dalam perjanjian
bersumber dari ayat yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود
Artinya:”hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu……” (S. Al Maidah 1)
Berdasarkan kaidah “amar lil wujud” memenuhi janji hukumnya wajib. Dalam ayat yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوا لايسخر قوم من قوم
Artinya:” hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain……” (S. Al Hujarat 11)
Berdasarkan kaidah umum “nahi lit tahrim”
maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok-ngolok golongan lain itu
hukumnya haram. Dalam firman Allah yang berbunyi:
حرمت عليكم امهاتكم
Artinya:”diharamkan bagi kamu (mengawini) ibu-ibumu…..”(S.An nisa’ )
Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu, baik ibu kandung maupun ibu susuan.
Dari uraian diatas jelaslah perbedaan antara
dalil kulli dan dalil ju’i, hukum kulli dan hukum juz’i. dalil kulli
ialah dalil umum yang dapat dimasukkan ke dalamnya beberapa kasus
tertentu seperti amar, nahi, am, mutlaq, ijmak dan qiyas. Amar dikatakan
hukum kulli karena ke dalamnya dapat dimasukkan semua lafadl yang
menunjukkan perintah dan nahi dikatakan hukum kulli karena dapat
dimasukkan ke dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dikatakan
dalil kulli dan nash mengandung lafald amar dinamakan dalil juz’i.
demikian juga nahi dalil kulli dan nash yang mengandung lafald nahi
dinamakan dalil juz’i.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke
dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya.
Wajib dinamakan hukum kulli, karena ke dalamnya dapat dimasukkan
berbagai perbuatan yang wajib. Umpamanya wajib menunaikan janji, wajib
mengadakan saksi dalam pernikahan. Haram adalah hukum kulli yang masuk
kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haramnya
berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh
dan sebagainya, dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan
tertentu dinamakan hukum juz’i.
Ahli ushul fiqh tidak membahas dalil juz’i
dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah
dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang
nantinya oleh para fuqoha’ diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para
fuqoha’ tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas
adalah dalil dan hukum juz’i.
III. SELAYANG PANDANG TENTANG PERTUMBUAHAN DAN EVOLUSI FIQH DAN USHUL FIQH
Tumbuhnya
hukum fiqh itu bersamaan dengan bertumbuhnya islam, karena islam itu
kumpulan dari kaidah-kaidah atau aturan. Karena luasnya aspek yang
diatur dalam islam, sehingga para ahli perlu membagi ajaran islam kepada
beberapa bidang, seperti halnya bidang akhlak, muamalah, aqidah dll.
Kesemuanya itu dimasa
Rosululloh diterangkan di dalam Al qur’an sendiri yang kemudian
diperjelas lagi oleh Rosululloh dalam sunahnya. Hukum yang ditetapkan
dalam Al qur’an atau sunah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu
jawaban atau disebabkan terjadinya suatu kasus atau merupakan keputusan
yang dikeluarkan Rosululloh ketika memutuskan suatu perkara, jadi
sumber fiqh di masa itu hanya ada dua ialah Al qur’an dan sunah.
Dimasa
shahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dahulunya belum pernah
terjadi. Maka untuk menetapkan hukum dalam suatu peristiwa yang baru itu
para sahabat terpaksa berijtihad, dalam ijtihad ini kadang-kadang
terdapat kesepakatan pendapat , seperti ini dinamakan “jmak” dan
kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan “atsar”. Para
sahabat tidak akan menetapkan hukum suatu perbuatan terkecuali memang
sudah terjadi, dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu
hasil ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya
merupakan pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil
ijtihad para sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yang
mengeluarkan ijtihad belum dinamakan fuqaha’.
Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, yang
dikenal dengan masa tabi’in, tabi’it tabi’in dan imam-imam madzhab,
daerah yang dikuasai oleh umat islam semakin luas, banyak bangsa-bangsa
yang bukan arab memeluk agama islam. Karena itu banyak timbul berbagai
kasus baru yang sebelumnya belum pernah terjadi.karena kasus baru inilah
yang memaksa para fuqoha’ berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam
berijtihad mereka bukan saja berbicara yang mungkin terjadi pada masa
mendatang. Jadi sumber fiqh pada masa itu disamping Al qur’an dan sunah
ditambah lagi dengan sumber lain seperi ijmak, qiyas, istishab,
istihsan, maslahatul mursalah, madzhab sahabat dan syariat sebelumnya.
Di masa ini dimulai gerakan pembukuan sunah,
fiqh dan berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqh
disamping mencatat pendapat juga ditambah denga dalil pendapat baik Al
qur’an maupun sunah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang
berkecimpung dalam ilmu fiqh dinamakan “fuqoha” dan ilmu pengetahuan
mereka dinamakan fiqh.
Orang pertama yang mengambil inisiatif dalam
bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunah, pendapat para
sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan dalam sebuah kitab ysng dinamakan
kitab “Muwattha’”, yang menjadi pegangan orang Hijaz. Imam Abu Yusuf
menulis beberapa buah kitab tentang fiqh yang menjadi pegangan orang
Irak, Imam Muhammad bin Hasan salah seorang murid imam Abu Hanifah telah
mengumpulkan tentang pendapat-pendapat imam Abu Hanifah dalam sebuah
kitab “Zahirur Riwayah” yang menjadi dasar madzhab Hanafi, dan di Mesir
Imam Syafi’i menyusun kitab “Al ‘Um” yang menjadi dasar madzhab Syafi’i.
Ilmu ushul fiqh baru lahir pada abad kedua
hijriyah. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa pada abad ini daerah
kekuasaan umat islam makin meluas, banyak orang selain arab memeluk
agama islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami
nash, sehingga di rasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang
dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh yang
menjadi penuntun dalam memahami nash.
Namun semenjak lahirnya ilmu ushul fiqh
sebagaimana juga lahirnya ilmu pengetahuan yang lain, baru dalam bentuk
yang sangat sederhana, pembahasannya masih berserakan dalam pembahasan
dalil yang baru dikemukakan untuk memperkuat dan mempertahankan
pendapat.
Menurut Ibnu Nadim dalam kitabnya yang
bernama “Fahrasat” bahwa orang yang mula-mula mengumpulkan kaidah-kaidah
itu dalan suatu catatan ialah Abu Yusuf namun sangat disayangkan
catatan ini tidak sampai ke tangan kita. Oleh ahli ushul dianggap yang
pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam
kitabnya yang bernama “Risalah”. Dan dibelakang lahirlah para penulis
lain yang melengkapi dan menyempurnakan seperti Imam Ghazali (505 H)
dalam kitabnya yang bernama “Al Musthofa”, Al Amidi (631 H) dalam
kitabnya yang bernama “Al Minhaj” yang disyarahkan oleh Asnawi.
Dari kalangan madzhab
Hanafi yang terkenal seperti Abu Zaid Ad Dabbas (430 H) dalam kitabnya
yang bernama “Ushul”, Fathul Islam Al Bazdawi (430 H) dalam kitabnya
yang bernama “Ushul” dan Nasafi (790 H) dalam kitabnya yang bernama “Al
Manar”.
Di
samping itu lahirlah pula kitab yang bernama “Kitab Badi’il Nizam Al
Jami Baina Bazdawi Wal I’tisom” oleh Muzafaruddin Al Badadi Al Hanafi
(644 H), kitab “Tahrir” oleh Kamal bin Human dan kitab “Jam’ul Jawani”
oleh Ibnu Subki.
Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah
kitab ditulis oleh para ulama’ yang di antaranya “Irsyadul Fuhul” oleh
Syaukani (1250 H), kitab ushul fiqh oleh Hudari Bek (1927 M), kitab
“Tahsilul Wusul” oleh Muhammad Abdurrohman Mahlawi (1920 M). dan banyak
lagi kitab-kitab yang berbicara tentang ushul fiqh.
IV. KESIMPULAN
Ilmu
Ushul Fiqh sangat relevan dikembangkan dalam masyarakat modern, terutama
bagi ulama’ dan intelektual muslim yang memiliki otoritas untuk
memproduk hukum dan memberi fatwa yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Sehingga produk fiqh yang mereka tawarkan, benar-benar menyentuh segala
aspek kehidupan bermasyarakat. Tidak perlu kaku, mempersulit, dan hanya
mengukur kemampuannya sendiri, sehingga hukum yang ada tidak mampu
untuk di emban oleh masyarakat luas, dan pada gilirannya hukum justru
akan di tinggalkan. Dan juga tidak perlu liberal (bebas), sehingga
berakibat pada tidak adanya ukuran yang pasti dan jelas, yang kemudian
hukum tak ubahnya buih dilautan, yang bisa diperalat sebagai justifikasi
oleh oknum-oknum tertentu.
Jika kita memang telah sepakat bahwa islam
adalah agama yang sangat relevan dalam setiap dimensi ruang dan waktu.
Bukankah diantara relevansinya itu setiap muslim, para ulama’ yang sudah
mumpuni keilmuannya bisa meletakkan hukum yang sesuai dengan lingkungan
masing-masing. Sekalipun menyalahi ketentuan yang sudah ada sebelumnya.
Pertanyaannya, kenapa kebanyakan ulama’ masa sekarang merasa puas
bahkan merasa cukup dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh ulam’
sekitar 14 abad yang silam.
Secara pribadi, penulis optimis bahwa dalam
masyarakat kita sekarang banyak ulama’ yang mengikuti pola kesalafan dan
intelektual muslim yang berkualitas tinggi, mampu menelorkan
hukum-hukum islam yang menitik beratkan pada kehidupan modern sekarang
dan setelahnya. Tanpa harus membuang jauh warisan islam khazanah islam
klasik.
Kita hanya bisa berharap dan semoga harapan
itu bisa menjadi kenyataan agar kedua golongan diatas bisa duduk bersama
dalam meja hijau, gna mendiskusikan dalam segala hal yang menyangkut
masyarakat muslim, dan ikut serta memberikan sumbangan besar terhadap
perkembangan hukum-hukum islam..
KARAKTERISTIK USHUL FIQIH
MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH
-
PEMBAHASAN
-
HANAFIYAH
-
Imam Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M).
Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih
dengan seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di kota Kufah dan wafat
pada tahun 150 H (769M) di Bagdad.
Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu
daerah yang penuh dengan pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota
Madinah yang tentunya jumlah hadist yang ada di daerah ini sangat
sedikit dan juga kalangan Khawarij dan Syiah yang berupaya menarik
perhatian umat Islam unutk memperkuat propaganda politik mereka.
Dasar-dasar istidlal yang digunakan oleh Abu
Hanifah adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas.
Artinya jika nash AlQur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan
suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil dari keduanya. Tetapi
bila nash tersebut menunjukkan secara tidak langsung/hanya memberikan
kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat maka pengambilan hukum
tersebut melalui Qiyas.
Dalam pernyatan tersebut Abu Hanifah tidak
menyebutkan Qiyas dan Ihtishan ke dalam dasar-dasar yang menjadi pijakan
dalam berijtihad sebab yang Beliau maksudakan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan metode Istidlal Aqliyah.
Masalah ini dapat di pahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa ”
beliau tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak
ditemukan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak
ditemukan dalam pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabiin maka
Beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad “.
Dalam masalah ini sebenarnya belum ada
perbedaan dengan para imam yang lain. Semua imam sepakat tentang
keharusan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar
pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya terletak pada
kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan moral dan
kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disariatkannya suatu hukum.
Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas,istihsan, urf (adat
kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi
bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan
teori-teori
tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadist ahad, tidak seperti para
imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dengan
membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, illat, hikmah, dan
tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang Beliau pahami.
Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang acapkali
menyelami dibalik arti dan illat suatu hukum dan sering mempergunakan
Qiyas tetapi itu tidak berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al
Quran dan sunnah. Tidak ada riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu
Hanifah mendahulukan rasio daripada Sunnah. Bahkan jika beliau menemukan
pendapat sahabat yang benar beliau menolak untuk berujtihad. Dengan
kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi
malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits
di Hijaz.
Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan
dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum
Tawaf, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli
Hadits Makkah dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak
mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang
sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan
selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat
yang harus di penuhi dalam penerimaan hadits ahad sbb:
-
Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
-
Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
-
Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau dasar – dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’
dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk
mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena
itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang mengerti masalah fiqih.
Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah
dibesarkan tentu mempengaruhi cara berfikir. Dengan sikap selektif dalam
penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat lebih leluasa melakukan
penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral dan banyak
mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan terhadap
berbagai perkembangan pada saat itu. Para ahli fiqih diwilayah Kufah
lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dari fuqoha bukan dari para
muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk menyeleksi
hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan hadits
atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dari situ beliau
cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor
lain yang melatar belakangi kecenderungan dan metode rasional Abu
Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan
merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan
peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai pedoman
hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal.
Keadaan ini berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi
oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada
masa Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini
para ahli fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan
Ijma’ para sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad
seperti fuqoha’ Irak.1
Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah
menjadi seorang rasionalis bahwa Beliau tidak langsung menggumuli
Ilmu-ilmu syariat. Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari
Ilmu kalam kemudian belajar Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman.
Beliau juga seorang pedagang kain yang menyebabkan Beliau mempunyai
pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan. Studinya dalam Ilmu kalam
membuatnya tampil dalam menggunakan logika unutk mengatasi berbagai
persoalan Fiqih.
-
-
SYAFI'IYAH
-
Muhammad Bin Idris Asy Syafii dilahirkan dikota Gaza (Palestina) pada
tahun 150 H ketika masih kecil dibawa Ibunya ke Makkah dan di kota
tersebut Beliau belajar Hadis dengan Muslim Al Zanji dan Sofyan Bin
Umaiyah. Sesudah itu Beliau meneruskan pelajarannya ke kota Madinah dan
belajar dengan Imam Malik.
Setelah beberapa tahun Beliau melakukan
perjalanannya ke berbagai kota kemudian beliau sempat singgah di Bagdad
selama beberapa tahun. Selama di Bagdad Beliau menghimpun pandangan
Fiqihnya berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya dalam sebuah kitab
yang dinamakan “Al Hujjah” dan juga dinamakan mazhab qadim/qoul qadim.
Pada tahun 198 H atas permintaan Gubernur Abbas Bin Musa untuk
mengunjungi Mesir dan beliau berada di Mesir selama 6 tahun sampai
beliau wafat pada tahun 204 H. Selama di Mesir Beliau mengubah
pendapatnya yang lama yang di tulis pada saat di Bagdad di ganti dengan
pendapat baru yang dinamakan pendapat jadid/qoul jadid yang terhimpun dalam kitab “Al Um” selama dalam perantauan. Disamping itu Imam Syafii juga menulis kitab “Ar Risdalah” yang menjadi dasar Ilmu Ushul Fiqih.
Mazhab Syafii adalah satu-satunya mazhab
yang tersebar tanpa mendapat dukungan dari pemerintah tersebar
dikarenakan dalam menetapkan hukum selalu mempergunakan dalil nash.
Karena itu ajaran imam Syafii dapat menghimpun kedua aliran yang
berkembang pada masanya yaitu Ahli Hadits dan Ahlu Ra’yi. Karena Beliau
pernah belajar kepada kedua tokoh aliran tersebut. Namun Beliau tidak
terpengaruh kepada Aliran Ahlu Ra’i tetapi lebih banyak kepada aliran
Ahlul hadits.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab
Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui
baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash
selama tidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi.
Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam
Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga
berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda
dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para
sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota
Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah
Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak
baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber
pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
Imam Syafii menyebutkan 4 cara Al Qur’an dalam menerangkan suatu hukum sbb:
-
Al Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa, haji atau nash yang mengharamkan zina, minum khomr dll.
-
Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Seperti jumlah rokaat Sholat, waktu pelaksanaannya, zakat apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkannya. Semua itu disebut secara global dalam Al Qur’an dan Nabilah yang menerangkan secara perinci.
-
Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al Qur’an. Bentuk penjelasan penjelasan Al Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al Qur’an disebutkan yang artinya sbb:
“….. Barang siapa yang taat kepada Rosul berarti ia taat kepada Allah …” (Q.s 4:80)
Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan
oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al Qur’an. Karena Al Qur’an
memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi … (Qs
59:7)
-
Allah juga mewajibkan hambanya unutk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al Qur’an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan untuk berijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap Maqasid Al Syar’iah (tujuan-tujuan hukum syariah) misalnya dengan Qiyas / penalaran analogi. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“ Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rosulnya dan orang-orang
yang mempunyai kekuasaan diantara kamu. Maka apabila kamu berselsih
tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya “ (Qs.4:59)
Menurut Imam Syafii kembalikan kepada Allah dan Rosulnya berarti
kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat
dilakukan dengan Qiyas. Beliau juga menyebutkan bahwa Ijtihad merupakan
perintah AlQur’an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui
“posisi tengah” pemikiran metodologis Syafii. Beliau sangat berpegang
teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.
III. KESIMPULAN
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sesuai dengan kondisi di
irak Imam Abu Hanifah dalam membina Fiqihnya lebih dahulu mengutamakan
AlQur’an sebagaimana imam-imam yang lain kemudian Sunnah. Hanya dalam
pemakaian Sunnah beliau meletakkan syarat yang sangat berat sekali. Jadi
dengan demikian jelas Imam Abu Hanifah diantara imam-imam Mazhab
lainnya terkenal yang paling banyak mempergunakan rasio.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab
Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui
baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash
selam atidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi.
Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam
Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga
berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda
dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para
sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota
Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah
Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak
baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber
pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
HUKUM SYARA’
II PEMBAHASAN
1 .HAKIM
Hakim adalah
orang yang menetapkan atau mengeluarkan hukum yaitu hukum-hukum
Alloh SWT, maksudnya hakim ini adalah orang yang mengeluarkan
hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan semua pekerjaan
mukallaf.
Para
ulama bersepakat bahwa pembuat peraturan syara’ ialah Alloh SWT
peraturan itu diturunkan pada rosulnya dalam bentuk wahyu Al
Quran atau Sunnah, dan dari sana para mujtahid mendapat
petunjuk dengan melakukan istimbat dari dalil-dalil syariat.
Lalu timbul pertanyaan sipakah yang nenjadi hakim sebelum rosul diangkat ?
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga :
-
MAZHAB ASY'ARIYYAH
Mereka berpendapat bagaimanapun cerdasnya otak manusia tidak
mampu mengetahui hukum Alloh tanpa melalui perantara Rosul dan
kitabnya. Karena kecerdasan akal seseorang berbeda-beda, seseorang
mengatakan baik suatu perkara mungkin orang lain akan
mengatakan jelek. Dan dimaklumi akal manusia selalu di pengaruhi
kepentingan dan keinginannya.
Dasar mazhab ini, kebaikan adalah sesuatu yang dijelaskan syara’
bahwa sesuatu itu benar, lalu diperbolehkan dan di perintahkan
untuk mengerjakannya . Dan sesuatu yang jelek adalah sesuatu
yang dijelaskan oleh syara’ bahwa itu jelek dan diperintahkan
untuk menjauhinya. Sementara mereka berpendapat bahwa manusia
yang hidup sebelum turunnya wahyu mereka tidak dibebankan untuk
melakukan perintah atau meninggalkan apa yang dilarang. Pendapat
ini diperkuat dengan firman Alloh :
Artinya : Dan aku tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rosul ( QS:Al Isro’ 15 )
-
MAZHAB MU’TAZILAH
Mazhab
ini berpendapat bahwa hukum dapat diketahui dengan akal tanpa
melalui wahyu Rosul dengan menimbang apakah perbuatan itu
merusak ataupun bermanfaat, kalau akal menganggap baik berarti
baik disisi Alloh dan jika dianggap jelek akal berarti jelek
pula disisi Alloh.
Sedangkan orang yang hidup sebelum diutusnya Rosululloh mereka
tetap berkewajiban melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
Alloh, karena hukum dapat diketahui dengan akal.
Dasar mereka adalah firman Alloh :
Artinya : Katakanlah tidak sama buruk dengan yang baik meskipun
yang buruk itu menarik hatimu. (QS: Al Maidah: 100)
-
MAZHAB MATURIDIYAH
Pendirian mazhab ini menggabungkan kedua mazhab terdahulu yaitu
dengan akal manusia dapat menemukan ciri-ciri perbuatan itu.
Apakah perbuatan itu baik atau buruk lalu dengan wahyu
memastikan apakah yang ditemui akal itu sudah benar atau salah.
Dan sesungguhnya pekerjaan itu tidak dikatakan baik jika tidak
diperintahkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan tidak
dikatakan jelek kalau syara’ tidak menyuruh untuk
meninggalkannya. Maka sesungguhnya setiap perbuatan mulia akal
pasti mampu membenarkannya dengan melihat segi manfaatnya dan
mampu mengetahui perkara buruk dengan melihat segi madlorotnya.
II . HUKUM
Definisi
hukum secara garis besar adalah sesuatu yang dikeluarkan pleh
hakim dengan kemampuannya atas perbuatan mukallaf.
Seperti yang dijelaskan didepan bahwa
pembuat hukum syara’ adalah Alloh SWT, oleh sebab itu para
ulama ushul sepakat bahwa definisi Hukum Syara’
adalah Khitob (firman) Alloh yang berhubungan dengan perbuatan
para mukallaf baik dalam bentuk perintah, pilihan, atau
penetapan sesuatu.
Ini diperkuat dengan firman Alloh :
Artinya: Menetapkan hukum itu hak Alloh
Dia menerangkan yang sebenarnya dan pemberi keputusan yang
paling baik. (QS:Al An’am : 57)
Sedang menurut istilah Fuqoha’ Hukum Syara’ adalah Dampak / akibat dari khitob Alloh pada setiap perbuatan mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah.
Para ulama usul menetapkan bahwa hukum syara’ dibagi dua yaitu :
-
Hukum Taklifi yaitu Perkara yang menuntut untuk melakukan, meninggalkan atau kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan.
contoh yang mengandung tuntutan.
Artinya : Hai orang –orang yang beriman penuhilah akad-akad itu .
Mengandung tuntutan untuk tidak melakukan .
Artinya : Janganlah kamu semua mendekati zina.
Yang menunjuk pada pilihan .
Artinya : Bila telah ditunaikan sholat bertaburlah dimuka bumi .
-
Hukum Wad’I adalah suatu perkara yang menjadi syarat , sebab , atau mani’ .
contoh yang menunjukkan sebab
Artinya : Hai orang-orang yang beriman bila hemdak melakukan sholat maka basuhlah sampai siku .
yang menunjukkan syarat.
Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu bagi yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah.
Dari uraian diatas dapat dibedakan antara hukum taklifi dan hukum wad’I dari dua segi :
-
Hukum Taklifi mngandung tuntutan untuk mangerjakan sesuatu ataupun meninggalkannya atau memberi kebebasan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkanya. Sedang hukum wad’I menjelaskan sesuatu yang menjadi sebab, syarat, atau mani’ dari suatu perbuatan .
-
Hukum Taklifi hanya perkara yang berada dalam batas kemampuan mukallaf yang mampu dikerjakan seorang mukalllaf sedang wad’I perkara yang menjadi sebab, syarat, ataupun mani’ adakalanya suatu perkara itu dalam batas kemampuan mukallaf dan adakalanya diluar batas kemampuan mukallaf .
-
-
HUKUM TAKLIFI
-
Pembagian-pembagian hukum taklif, hukum Taklif dibagi menjadi
lima macam yaitu wajib, sunnah, haram , makruh ,dan mubah.
1 . Wajib
Wajib
menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh
syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau
menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan
mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib
dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafad :
Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diajibkan atas orang-orang sebelum kamu.
Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
-
Wajib dari segi waktu
a. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
b.Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
-
Wajib dari segi orang yang mengerjakan
a.Wajib ‘aini
yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : sholat, puasa
b .Wajib kafai
yaitu
wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah
seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
-
Wajib dari segi kadar tuntutan .
a . Wajib Mukhaddat
yaitu
perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di
wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban
sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh sholat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
yaitu
perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan
waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Alloh ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.
-
Wajib juga dibagi menjadi Mua’yan dan Mukhoyar
a. Mua’yan
yaitu
kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat,
puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum
melaksanakannya.
b. Mukhoyar
yaitu
sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu
dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh
melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh
orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.
2. Sunnah / Mandub
Mandub
adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada
mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu
keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang
mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya .
Sighatnya mandub dapat diketahui dengan
lafadnya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar,
tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah
itu tidak keras.
Contoh
ياايهاالذين امنوااذاتداينتم بدين الي اجل مسمي فاكلتبوه
Artinya : Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tudak secara tunai hendaklah kamu menulisnya.
Dalam ayat lain diterangkan :
فليس عليكم جناح الاتكتبوها
Artinya : Maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu menulisnya.
Dari lafad yang kedua diketahui menulis hutang itu hanya mandub.
Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
-
Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
-
Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
-
Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
3. Haram
Haram
adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak
mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan
mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. contoh
ولاتقربوا لزنا انه كان فاحشة
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji.
Haram dibagi dua yaitu:
-
Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
-
Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.
4. Makruh
Makruh
adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun
tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang
melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Contoh:
ياايهاالذين امنوالاثسالواعن اشياءان ثبدلكم ثسؤكم
Artinya : Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal
yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.
Makruh menurut Hanafiah dibagi dua :
-
Makruh Tahtiman yaitu perkara yang ditetapkan meninggalkannya dengan bersumberkan dalil dhonni. seperti hadist ahad dan qiyas. contoh memakai perhiasan emas dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam hadist ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang meninggalkannya.
-
Makruh Tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk meninggalkanya dengan tuntutan yang tidak keras. seperti memakan daging keledai ahli / jinak dan meminum susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melakukannya.
5. Mubah
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih atau meninggalkannya .
Contoh .
واذاحللثم فاصطادوا
Artinya : Dan apabila kamu telah menunaikan ibadah haji maka bolehlah berburu.
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam :
-
Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak.
-
Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi yang melakukannya.
-
Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul asliyah.
Lima macam hukum taklifi yang diterangkan diatas adalah
pembagian menurut jumhurul ulama, namun menurut ulama hanafiyah
dibagi menjadi tujuh. Tiga perkara yang dituntut ialah: fardlu,
wajib, mandub, dan tiga perkara yang dilarang yaitu: haram, makruh
tanzih, makruh tahrim, dan bagian yang ketujuh adalah mubah.
Perkara dikatakan fardlu bila dalil
yang menunjukkannya dari Al Quran dan sunnah yang mutawatir,
seperti sholat. Tapi kalau diterangkan dari nash dhonni seperti
hadist ahad qiyas dianamakan wajib seperti bacaan fatihah dalam
sholat. Kalau tuntutan tidak keras di namakan mandzub kalau larangannya
keras dan dalilnya khot’I seperti Al-Quran dan Sunnah mutawatir dinamakan haram, contoh zina. Kalau dalilnya dzanni dinamakan karohiatuttahrim, kalau tidak keras dinamakn karohiatuttahrim tamzih, dan kalau tidak diterangkan hukumnya dinamakan mubah.
-
-
Pembagian Hukum Wad’i
-
Hukum wad’I di bagi menjadi lima macam ialah:sebab, syarat, mani’, rukhsos, azimah, syah, dan batal.
-
Sebab
Sebab adalah perkara yang di jadikan syara’ sebagai tanda atas adanya musabab, tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab.
Dan semua tanda yang melahirkan hukum
apabila hukum antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas dan tanda
itu cocok untuk di jadikan sebab lahirnya hukum dinamakan ‘illat setiap ‘illat itu pasti sebab dan setiap sebab tidak bisa di sebut ‘illat.
Macam-macam sebab
-
-
Adanya sebab menjadi sebab hukum takhlifi. Contoh masuknya waktu sholat menjadi sebab wajibnya mengerjakan sholat.
-
Adanya sebab menjadi sebab di tetapkannya milik halal gugur atau hilang keduanya. Contoh membeli menjadi sebab di tetapkannya milik, hibah dan wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan dan nikah menjadi sebab di tetapkannya halal.
-
Sebab itu adalah perbuatan seorang mukhallaf yang mampu baginya untuk melakukannya. Contoh membunuh secara sengaja menjadi sebab adanya qishos.
-
Adanya sebab itu adalah perkara yang bukan dari pekerjaan mukhallaf dan diluar kemampuan manusia. Contoh masuknya waktu jadi sebab wajibnya sholat.
-
-
Syarat
Syarat
adalah perkara yang menjadi ketergantungan adanya hukum, karena adanya
syarat menjadi sebab adanya hukum dan karena tidak adanya syarat menjadi
sebab tidak adanya hukum dan syarat bukan bagian dari perkara itu.Contoh
wudhu sebagai syarat syahnya sholat, sholat bila ada wudhu maka
sholatnya syah, tapi tidak mesti adanya wudhu itu adanya sholat.
Antara syarat dan rukun itu sama menentukan
syahnya sesuatu tapi rukun jadi satu dengan perbuatan atau menjadi
bagian dari perbuatan, kalau syarat tidak menjadi bagian dari perbuatan.
Contoh rukun membaca fatihah, dalam sholat fatihah menjadi rukun syahnya sholat.
Syarat –syarat dalam perbuatan hukum yang di
tetapkan syra’ dinamakan syarat syar’I dan yang ditetapkan oleh
mukallaf dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat ja’li yaitu jatuhnya talak, apabila kedua belah pihak punya ikatan perkawinan.
-
Mani’
Mani’
adalah perkara yang adanya ini menyebabkan tidak adanya hukum atau
batalnya sebab-sebab hukum walaupun menurut syara’ telah terpenuhi
syarat dan rukunnya, tapi karena adanya mani’ mencegah berlakunya hukum.
Mani’ menurut istilah ushul yaitu perkara
yang muncul bersamaan dengan terpenuhinya sebab atau syarat dan mencegah
terpenuhinya musabab atas sebab-sebabnya dan kadang-kadang mani’ jadi
penghalang dari terpenuhinya sebab syari’at bukan terpenuhinya hukum
darinya.contoh hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, jadi
hutang menjadi pencegah terpenuhinya sebab-sebab diwajibkannya
zakat. Harta orang yang berhutang sebenarnya bukan miliknya tapi
milik orang yang dihutangi, hutang inilah yang menghapus syarat
yang menjadi pelemgkap sebab hukum syara’ sehingga tidak
dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat.
Ulama hanafi membai mani’ menjadi lima macam:
-
Mani’ yang menghalangi sah sebab hukum. Seperti menjual orang merdeka.
-
Mani’ yang jadi penghalang kesempurnaan sebab. Contoh orang yang punya hutang mencegah wajibnya zakat.
-
Mani’ yang menjadi penghalang berlakunya hukum. Seperti khiyar syarat, penjual menghalangi pembeli mengguanakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama masa khiyar berlaku .
-
Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar rukyah ini tidak menghalangi lahirnya hak milik namun hak milik itu dianggap sempurna sebelum melihat barangnya walau sudah ditangan pembeli.
-
Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum. Seperti aib
-
Rukhshoh dan Azimah
Definisi azimah
adalah hukum yang disyariatkan Alloh semenjak aslinya, bersifat
umum yang tidak dikhususkan pada satu keadaan atau kasus
tertentu, dan bukan pula belaku pada mukallaf tertentu. Contohnya
sholat diwajibkan pada setiap orang dan juga diwajibkan.
Dan yang dimaksud rukhshoh
adlah Hukum yang telah ditetapkan oleh alloh untuk memberikan
kemudahan pada mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabka
kemudahan.
Rukhsoh dibagi menjadi empat macam :
-
Diperbolehkannya perkara yang dilarang ketika dhorurot atau hajat. Contoh ketika orang yang dalam keadan yang sangat lapar
-
Diperbolehkan meninggalkan wajib jika ada udhur. Contoh barangsiapa yang sakit dibulan romadlon atau dalam perjalanan maka diperbolehkan berbuka.
-
diperbolehkannya akad yang dibutuhkan manusia yang yang bersamaan bedanya dengan akad yang ditetapkan. Contoh akad menjual barang yang tidak diketahui barangnya, karena kebutuhan manusia maka diperbolehkan.
-
menasah hukum –hukum yang berlaku pada masa imam-imam sebelum kita, Seperti memotong bagian yang terkena najis.
Para ulama kalangan Syafi’I membagi rukhsoh menjadi dua yaitu:
-
Rukhsoh tarfiyah yaitu hukum azainah tetap berlaku dan dalilnya tetap berlaku namun mukallaf diberi keringanan untuk tidak tidak melakukannya. Contoh berbuka pada siang hari dibulan romadlon itu haram namun nash memeberi keringanan dan tidak menghapus hukum haramnya.
-
Rukhsoh irqath hukum azimahnya berubah dan rukhsoh merubah hukum azimah, hukum yang berlaku hukum rukhsoh. Contoh kebolehan memakan bangkai dan lain-lain.
5. Sah dan Batal
Sah adalah Suatu perkara yang telah memenuhi rukun dan syrat serta dilakukan sesuai ketentuan syara’. Contoh sholat ,zakat ,haji, jual beli, dll.
Batal adalah Perkara yang belum trpenuhi rukun dan syaratnya. Contoh Sholat, zakat, jika belum terpenuhi syaratnya dan rukunnya maka menjadi batal.
III. MAHKUM FIHI
Yang dimaksud Mahkum Fihi
adalah Perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’. Maka
setiap hukum syara’ harus berhubunga dengan pekerjan para
mukallaf baik dari segi tuntutan pilihan atau penetapan. Contoh Membelanjakan harta dijalan Alloh.
Agar perbuatan mukallaf dapat dijadikan obyek hukum syara’disyaratkan :
-
Hukum itu telah diketahui dengan jelas sehingga dapat dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki syara’.
-
Mukallaf harus mengetahui bahwa kewajiban yang dibebakan kepadanya adaalah dari Alloh.
-
Kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf baik yang dituntut untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan betul-betul dapat dilaksanakan mukallaf dan berada dalam batas kemampuan mukallaf.
Lalu syarat ini menadi dua cabang yaitu:
-
Tidak syah tuntutan syara’ yang mustahil dari segi zat, maksudnya mustahil yang masuk akal atau tidak masuk akal.
-
Tidak syah tuntutan syara’ pada mukallaf dengan mengerjakan pekerjaan orang lain.
Dari uraian diatas tergambar bahwa
taklif itu hanya berlaku terhadap apa yang dapat dikerjakan
manusia, namun perbuatan yang dibebankan syara’ itu menimbulkan
kesulitan dan kesulitan itu ada duayaitu:
-
Kesulitan yang mungkin dapat diatasi seperti kesulitan dalam mencari rizki.
-
Kesulitan yang tidak mampu dikerjakan manusia baik kesulitan yang menimpa jiwa maupun harta, dan bila dipenuhi dapat menimbulkan sesuatu yang dapat mmbahayakan dirinya.
IV. MAHKUM ALAIHI
Yang dimaksud mahkum alaihi ialah mukallaf yang menjadi obyek
tuntutan hukum syra’. Maka disyaratkan bagi seorang mukallaf yang
dikenai hukum sebagai berikut :
-
Seorang mukallaf mampu memahami dalil taklif.
-
Seorang mukallaf itu dapat menanggung beban atau ahliyah terhadap taklif perkara yang dituntutkan padanya.
Ahli ushul membagi ahliyah menjadi dua macam :
-
Ahliyatul wujub adalah kecakapan manusia untuk menanggung hak dan kewajiban. kecakapan ini ada semenjak ia dalam kandungan.
-
Ahliyatul Ada’ adalah Kecakapan yang dimiliki seseorang umtuk melakukan perbuatan yang dipandang syah oleh syara’ baik dalam bidang ibadah,muamalah, jinayah dsb. Dasar Ahliyatul ada’ ini berdasarkan pada kemampuan akal
Keadan-keadan manusia dalam ahliyatul wujub berada dalam 2 posisi yaitu :
-
Adakalanya manusia ahliyatul wujubnya berkurang. Contoh anak yang berada dalam kandungan ibu dia punya hak yaitu hak waris, wasiat, waqof, tetapi dia tidak punya kewajiban dia hanya punya hak-hak terbatas.
-
Adakalanya manusia ahliyatul wujubnya sempurna ini dimiliki semenjak dilahirkan dalam keadaan hidup sampai meninggal.
Keadaan manusia dalam ahliyatul ada berada dalam tiga keadaan:
-
Adakalanya manusia secara asli tidak punya kecakapan untuk melakukan. Contoh orang gila anak, kecil.
-
Adakalanya manusia belum sempurna kecakapannya. Contoh anak yang masih dalam masa pertumbuhan menuju tamyiz sebelum baligh.
-
Adakalanya manusia sempurna kecakapannya. Contoh seorang yang sudah baligh dan berakal.
Hal-hal yang mengurangi atau menghilangkan kecakapan yang disebut awaridul ahliyah dan dibagi dua yaitu:
-
Awaridussamawiayah yaitu hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan kecakapan yang berasal dari ketentuan syara’ contoh gila, tidur, lupa dll.
-
Awaridulmuktasabah yaitu hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan kecakapan yang berasal dari perbuatan muakllaf. Contoh boros, mabuk, kekeliruan dll.
III KESIMPULAN
Dari uaraian tersebut dapat disimpulakan bahwa setiap perkataan atau
perbuatan manusia yang menyangkut hubungan dengan Allah atau sesama
manusia semua diatur oleh syara’ dan peratuaran syara’ itu sendiri
berasal dari Allah yang diturunkan melalui Rosulnya dalam bentuk wahyu
Al Qur’an atau Sunnah. Dari situ diambil istimbatnya oleh para mujtahid.
Dan orang yang menetapkan hukum disebut
hakim lalu yang dijadikan objek hukum syara’ itu adalah mukallaf atau
mahkum alaih, lalu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
disebut mahkum fiihi.
IJTIHAD
A.Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ; جهد- يجهد- جهدا yang berarti '' berusaha dengan sungguh – sungguh'' . Dan kata الاجتهاد tidak dipakai melainkan kepada sesuatu yang mengandung arti
كلفة و مشقة [kesukaran, kesulitan ] . Sebagaimana ungkapan ;
اجتهد في حمل حجر الرحي
” Dia bersusah payah membawa batu penggiling ”. Tidak dikatakan ;
اجتهد في حمل خردل او نواة
” Dia bersusah payah membawa satu biji sawi atau satu biji kurma”.
Dari pengertian bahasa ini , para
ulama ‘ merumuskan pengertian menurut istilah dengan berbeda – beda .
Bagi ulama yang mendekatinya melalui pemikiran holistick dan integral ,
ijtihad diartikan dengan ” segala upaya yang dicurahkan mujtahid dalam
berbagai bidang ilmu , seperti bidang fiqhi , teologi, filsafat dan
tasawuf ”. Semtara ulama, usul fiqhi melihat bahwa ijtihadsebagai
aktivitas yang berkaitan dengan masalah fiqhi . Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwah upaya memahami nash tentang masalah – masalah teologi
, filsafat dan tasawuf tidak dikategorikan sebagai aktivitas ijtihad.
Pengertian ijtihad menurut bahasa sering menggunakan kata; استفراغ الوسع / بذل الوسع بذل المجهود yang berarti mencurahkan seluruh kemampuan .
Adapun definisi –definisi yang ditengahkan oleh para ulama’ usul fiqhi antara lain ;
1. Definisi yang ditengahkan oleh al- Ghazali ;
بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بالاحكا م الشرعية
”Upaya maksimal seorang mujtahid dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i.”
Definisi yang diketengahkan oleh al- Ghazali di atas lebih
bersifat umum , dan ditekankan pada adanya upaya yang maksimal bagi
seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum syar’i.
2. Definisi yang diketengahkan oleh al- Amidi ;
استفراغ
الوسع في طلب الظن بشيء من الحكا م الشرعية علي وجه يحس من النفس العجز
عن المزيد فيه
‘’Mencurahkan
segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni,
sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu .
Definisi yang
ditengakan oleh al- Amidi mengindikasikan bahwa objek ijtihad adalah
masalah-masalah yang bersifat zhanni, sehingga hasilnyatidak mutlak
benar.
3. Definisi yang ditengahkan oleh Muhammad Abu Zahrah ;
بذل الفقيه وسعه في استنباط الاحكا م العملية من ادلتها التفصيلية
‘’Usaha seorang
faqih yang menggunakan seluruh kemampunnya untuk menggali hukum yang
bersifat amaliah [ amaliah ] dari dalil-dalil yang terperinci ‘’.
‘’Definisi yang diketengahka oleh Abu
Zahrah ini menekankan adanya subyek ijtihad adalah seorang faqih dan
obyeknya adalah hukum-hukum yang bersifat amaliyah / praktis .
Dari beberapa
definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ usul fiqhi di atas dapat
dipahami bahwa ijtihad adalah upaya optimal yang dilakukan oleh mujtahid
/ faqih untuk menemukan suatu hukum yang bersifat amaliyah / praktis
dan nilai kebenarannya adalah zhanni.
B. Pembagian Ijtihad
Ijtihad dilihat dari segi obyek kajiannya , menurut al-Syatibi took ushul fiqhi Malikiyyah , dibagi menjadi dua yaitu ;
1. Ijtihad Istimbati .
Ijtihad istimbati adalah ijtihad
yang dilakukan dengan mendasarkan pada pada nash-nash syari’at dalam
meneliti dan menyimpulkan ide hokum yang terkandung didalamnya . Hasil
ijtihad yang diperoleh dari nash-nash tersebut selanjutnya dijadikan
tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hokum yang dihadapi .
Dalam ijtihad istimbati ini seorang mujtahid diharuskan memenuhi
pensyaratan mujtahid – seperti yang akan diketengahkan nanti. Hal ini
disebabkan mujtahid dalam ijtihad istimbati berhadapan langsung dengan
nash –nash syari’at. Karena sulitnya pensyaratannya sebagai mujtahid
secara sempurna , maka menurut al-Syatibi , mujtahid dalam ijtihad
istimbati ini kemungkinan akan terputus, khususnya dizaman modern yang
spesialisasi ilmu semakin diperketat dan dipersempit , sehingga
seseorang lebih cenderung hanya menguasai satu bidang ilmu saja . Hal
ini berbeda dengan para ulama terdahulu yang pada umumnya menguasai
berbagai bidang ilmu secara integral .
2. Ijtihad Tatbiqi
Ijtihad tatbiqi
adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada suatu permasalahan
yang yang terjadi dilapangan. Dalam hal ini seorang mujtahid langsung
berhadapan dengan obyek hokum dimana ide atau subtansi hukum sari produk
ijtihad istimbati akan diterapkan. Bagi seorang mujtahid dalam ijtihad
tatbiqi dituntut memahami maqashid al-syari’ah secara mendalam.
Jakarta, 28 Desember 2005
Perkembangan Definisi, Syarat dan Kategorisasi Ijtihad
Drs. H. Abd. Fattah Wibisono, MA
Pendahuluan
Kalau diperhatikan buku-buku ushul fiqh,
baik yang terbit belakangan maupun yang masuk kategori klasik yang dapat
dijangkau, akan ditemukan perbedaan yang terkait dengan definisi,
syarat-syarat dan kategorisasi ijtihad. Perbedaan tersebut agaknya bukan
karena faktor kebetulan semata. Boleh jadi, perbedaan tersebut
mencerminkan adanya pertumbuhan dan perkembangan definisi, syarat-syarat
dan kategorisasi ijtihad dari masa ke masa dan dari satu generasi ke
generasi lain.
Tulisan pendek ini akan mencoba melihat
perbedaan tersebut dalam perspektif pertumbuhan dan perkembangan
tersebut. Karena itu, tulisan ini akan menyajikan berbagai definisi, dan
kategorisasi syarat-syarat ijtihad yang berasal dari buku-buku ushul
fiqh yang dapat terjangkau.
Perkembangan Definisi Ijtihad
Secara harfiah, kata ijtihad yang merupakan
mashdar dari kata kerja ijtahada yajtahidu berarti, “mencurahkan segala
kemampuan dan menanggung beban (Ma’luf, 1986: 106). Mencurahkan
kemampuan untuk membawa sesuatu yang sangat berat seumpama batu
bazzarah, dalam pengertian harfiah ini, disebut ijtihad. Sebaliknya,
membawa sesuatu yang teramat ringan seumpama biji sawi tidak bisa
disebut ijtihad (Amidi, IV, tt: 141. Lihat juga Syaukani, tt: 250). Hal
ini berart, suatu aktivitas yang bisa dikategorikan sebagai ijtihad
apabila ia membutuhkan pengerahan tenaga sepenuhnya atau kemampuan
puncaknya. Segala aktivitas yang hanya memerlukan tenaga tidak pada
kemampuan puncak, agaknya belum bisa dikategorikan sebagai ijtihad.
Dalam perspektif ushul fiqh, kata “ijtihad”
mempunyai pengertian yang sangat spesifik dan cenderung mengalami
pergeseran makna, meski dalam esensi yang sama. Yakni, menetapkan hukum
terhadap suatu masalah. Pengertian awal untuk kata “ijtihad” ini
diberikan (dalam bentuk tertulis) oleh al-Syafi’i. Dalam pandangannya,
“ijtihad” berarti qiyas. Al-Syafi’i mengatakan bahwa istilah ijtihad dan
qiyas merupakan dua nama, tapi esensi dan aktivitasnya sama, yaitu
kesimpulan tentang hukum tertentu yang dihasilkan setelah ditemukan
kesamaan sifat antara masalah yang sudah ada hukumnya (Syafi’i, 1309 H:
40 dan 477). Pengertian ijtihad yang diberikan al-Syafi’i tidak
terumuskan melalui redaksi tertentu. Ia hanya memberikan sifat kata
ijtihad dengan menyebut kata qiyas, kemudian ia lanjutkan dengan
memberikan contoh-contoh untuknya.
Pernyataan al-Syafi’i tersebut mempunyai
implikasi yang relatif luas. Pemberian hukum terhadap suatu masalah yang
tidak melalui qiyas, seumpama pola penalaran yang bertumpu pada
penggunaan qaidah kebahasaan, konsekuensinya tidak bisa dikategorikan
sebagai ijtihad.
Dari buku-buku yang bisa dijangkau, definisi
ijtihad yang terumuskan secara redaksional, agaknya baru diberikan
al-Ghazali (w.505). Dalam kitab Mustashafa min ‘Ilmi al-Ushul (t.t. 478
), ia memberikan definisi ijtihad sebagaimana berikut, yang artinya,
”Kesungguhan mujtahid mencurahkan kemampuan (puncak) untuk menemukan
hukum-hukum syara’.
Dari definisi al-Ghazali ini terungkap
bahwa segala upaya menetapkankan hukum terhadap suatu masalah dapat
dimasukkan ke dalam kategori ijtihad. Keluasan dari definisi al-Ghazali
terletak pada kemampuannya mengakomodir segala metode istinbath yang
dipergunakan oleh mujtahid ke dalam definisi ijtihadnya; suatu hal yang
tidak didapatkan pada pengertian ijthad al-Syafi’i. Kekurangan (kalau
bisa dikatakan demikian) yang tampak pada definisi al-Ghazali terletak
pada tidak terekamnya sifat dari masalah-masalah yang diijtihadkan;
apakah masalah-masalah yang bersifat qat’iah atau dzanniah?
Saefuddin al-Amidi (juz IV, tt: 141) yang
datang belakangan (wafat 631), memberikan definisi ijtihad relatif lebih
detail sebagaimana berikut: ”Mencurahkan segala kemampuan dalam mencari
hukum-hukum syari’ah yang bersifat dzanni, dalam batas sampai pada
keyakinan bahwa dirinya tidak mampu lagi berusaha lebih dari itu.
Definisi yang diberikan al-Amidi ini
mengandung penjelasan tentang obyek ijtihad yang bersifat tidak
qath’iah. Istilah qath’iah di sini mengacu pada pemikiran al-Syatibi
yang mengelompokkan semua dalil syara’ ke dalam yang bersifat qath’i
al-dalalah dan dzanni al-dalalah. Dalam pandangan dia, dalil yang
bersifat qath’i merupakan akumulasi dari berbagai dalil dzanni mengenai
topik yang sama, sedang dzanni adalah juz’iyyat dari qath’i yang masih
memerlukan penjelasan (Syatibi, juz III, cet. I,1991: 11). Dalil-dalil
qath’i al-wurud juga dapat dipahami sebagai nash yang menerangkan
persoalan aqidah. Qath’i dalam pengertian pertama dan kedua ini tidak
menjadi objek ijtihad (Husain, dalam Baqir, ed., 1994: 23).
Hal lain yang terjelaskan oleh definisi
Al-Amidi ini ialah tingkat kualitas hasil ijtihad dan sifat hukum yang
dihasilkan. Ijtihad hanya bisa menghasilkan pemikiran yang bersifat
dzanni. Uraian lebih lanjut mengenai tingkat kedzannian hasil pemikiran
ijtihad, dikupas al-Subki, sebagai yang dikutip Muhammad Musa Tiwana.
Karena sifatnya yang dzanni itu, maka ijtihad yang kualitasnya sama
tidak bisa saling membatalkan dan selalu terbuka peluang untuk dikaji
ulang. Lihat Abdurrahman (al-Sayuthi, t.t.: 71, lihat pula Harahap,
1994: 10-11). Sedangkan hukum yang dihasilkan ijtihad berkenaan dengan
tingkah laku dan perbuatan manusia, lazim disebut hukum syar’i (Husen,
dalam Baqir, ed., 1994: 23).
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa
aktivitas ijtihad agaknya berkaitan dengan upaya memperoleh sesuatu yang
diduga kuat mempunyai kedekatan dengan nash, baik dengan cara
menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang ada hukumnya dalam nash
maupun dengan cara memahami maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah
yang sering disebut dengan maslahat. Persoalannya kemudian, bagaimana
dengan upaya mencari hukum untuk suatu kasus yang ada dalam nash, apakah
dapat dikategorikan sebagai ijtihad? Ibnu Hazm memasukan aktivitas
tersebut ke dalam kategori ijtihad (Ibnu Hazm, juz 8, 1978: 1478-1479).
Perkembangan Syarat-syarat Ijtihad
Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu
unsur yang harus terpenuhi dalam suatu aktivitas ijtihad adalah
pencurahan segala kemampuan secara optimal. Untuk memenuhi hal tersebut,
al-Ghazali agaknya merupakan orang pertama yang mengajukan persyaratan
ijtihad dalam pengertian umum ini dengan menyebutkan secara langsung
kata ijtihad. Ulama yang datang kemudian agaknya hanya mengembangkan
persyaratan ijtihad yang diajukan al-Ghazali dan memberikan tambahan di
sana sini, yang cenderung mempersempit ruang gerak ijtihad.
Harus diakui, untuk aktivitas ijtihad dalam
pengertian qiyas, al-Syafi’i (1309 H: 509-512) sesungguhnya telah
mengemukakan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah, pengetahuan
tentang kitab Allah dan hadits Nabi Muhammad SAW serta ijma’.
Persyaratan tersebut dikenakan al-Syafi’i kepada aktivitas ijtihad dalam
pengertian qiyas dan bukan kepada aktivitas ijtihad dalam pengertian
umum sebagai yang dilakukan oleh al-Ghazali sebagai yang akan diuraikan
kemudian. Di samping itu, persyaratan qiyqs/ijtihad yang dikemukakan
al-Syafi’i tidak terumuskan secara definitif seperti yang dilakukan
al-Ghazali. Itu sebabnya, al-Ghazali dan bukan al-Syafi’i yang
dimasukkan sebagai orang pertama yang mengajukan persyaratan ijtihad
dalam pengertian umum. Akan tetapi, boleh jadi persyaratan ijtihad yang
dikemukakan al-Ghazali merupakan pengembangan dari persyaratan
qiyas/ijtihad yang dikemukakan al-Syafi’i.
Al-Ghazali (t.t.: 478) mengajukan dua
persyaratan ijtihad sebagai berikut: “Ia mengetahui madarik al-syar’i
yang mempengaruhi (kemungkinan) munculnya dugaan (kuat) dengan melakukan
penelitian. Kedua, ia mempunyai integritas diri yang dapat terhindar
dari segala kemaksiatan dan perbuatan yang dapat merusak integritas
seseorang.”
Dari dua syarat yang dikemukakan al-Ghazali
di atas, yang kedua agaknya kurang tepat untuk dijadikan sebagai syarat
ijtihad. Ia agaknya lebih tepat disebut sebagai syarat mujtahid. Dengan
demikian syarat ijtihad menurut al-Ghazali sebenarnya hanya satu. Syarat
ini relatif lebih simpel dan luwes, karena selalu terbuka peluang untuk
diberikan penjabaran sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Kata madariku al-syar’i, (yang merupakan
kata kunci pada syarat pertama) umpamanya, dapat di pahami sebagai
wawasan syari’ah. Kalau pemahaman seperti ini dapat diterima, maka
syarat ijtihad dapat selalu berkembang sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman. Untuk zaman sekarang ini, ilmu-ilmu seperti antropologi,
sosiologi, ekonomi, psikoogi, kedokteran dan sebagainya dapat
dimasukkan ke dalam kategori madariku al-syar’i (wawasan syar’iah),
apabila dipergunakan sesuai dengan maksud dan tujuan Islam (Ibrahim,
2004). Dari lingkungan mazhab Hanbali, Ibn al-Qayyim, juga mengemukakan
pengetahuan mengenai tujuan dan maksud al-Qu’ran dan al-Hadis beserta
pengetahuan tentang kesahehan sanadnya, sebagai syarat ijtihad (Ibn
al-Qayyim, juz I, 1973: 44)
Persyaratan ijtihad menjadi sedemikian rumit
dan komplek, agaknya dimulai Abu ‘Amr bin Shalah, yang pendapatnya
kemudian diadopsi Abu Zakaria Al Nawawi dalam buku Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab. Dalam buku ini, al-Nawawi mengedepankan beberapa syarat
ijtihad dan disesuaikan dengan tipe atau model ijtihad yang hendak
dikembangkan. Uraian lengkap tentang hal ini akan dikemukakan kemudian
ketika membicarakan kategorisasi ijtihad.
Syarat-syarat ijtihad kemudian berkembang
sangat dinamis dan kelewat rumit itu bisa ditemukan pada persyaratan
yang dibuat oleh para ulama dan dihimpun oleh Muhammad Tiwana. Ia
memerlukan 46 halaman (dari halaman 159-205) untuk menjelaskan syarat
ijtihad dan mengelompokkannya ke dalam kategori : ‘Ammah, Hammah,
Asasiyah, dan takmiliyah. Masuk ke dalam kategori ‘ammah (umum) adalah,
keharusan seorang mujtahid beragama Islam, baligh, berakal, laki-laki
merdeka, dapat memahami sesuatu dengan baik. Masuk ke dalam kategori
hammah (penting) adalah, mempunyai pengetahuan bahasa Arab secara baik,
menguasai ilmu logika, dan mempunyai pengetahuan tentang al-bara’at
al-ashilah. Masuk ke dalam kategori asasiah adalah, mempunyai
pengetahuan tentang al-Qur’an dan al-Sunnah yang meliputi: asbab
al-nuzul atau asbab al-wurud nya, nasikh mansukh, ulum al-tafsir dan
ulum al-hadits, maqasid al-takmiliah (pendukung) adalah mengetahui
dalil-dalil qath’i dan zanni dari al-Qur’an dan al-Sunnah, masalah yang
telah menjadi ijma’, mengetahui perbedaan pendapat para ulama dan ia
(mujtahid) terbukti seorang yang taqwa melalui kewaraan tingkah lakunya
(Tiwana, t.t.: 159-205).
Perkembangan Kategori Ijtihad dan Mujtahid
Di atas telah dikemukakan bahwa, di samping
merupakan orang pertama yang mengemukakan syarat-syarat ijtihad yang
relatif komplek, Ibnu Shalah juga dikenal sebagai ulama yang membuat
kategorisasi mujtahid. Menurut Abdurrahman al-Sayuthi, pendapat mengenai
tipe atau model ijtihad yang kemudian diadopsi oleh al-Nawawi,
sepenuhnya berasal dari kreasi Abu ‘Amr bin Shalah. Kategorisasi itu
dimuat dalam kitab Adab al-Futya, karya Abu ‘Amr bin Shalah. Namun
demikian, ketika membuat kategorisasi tersebut, baik Ibnu Shalah,
al-Nawawi maupun al-Sayuthi, tidak menggunakan kata ijtihad. Kata yang
mereka gunakan adala, ifta’ atau muft ( al-Sayuthi, 1984: 97).
Sungguhpun masih memerlukan penelitian lebih
lanjut, agaknya pada masa awal, seorang mufti sekaligus adalah seorang
mujtahid. Kalau dugaan ini dapat diterima, yang agaknya perlu dijelaskan
adalah mengenai pergeseran makna kata mufti dari yang semula
dipergunakan untuk menyebut orang yang hanya dapat memberikan fatwa di
seputar mazhabnya, bergeser ke kata ijtihad atau mujtahid yang mempunyai
cakupan lebih luas. Ia tidak sekedar memberikan fatwa di lingkungan
mazhabnya saja, melainkan juga di luar mazhabnya.
Dari sisi tipe atau model yang hendak
dikembangkan ini, Al-Nawawi membuat dua kategori tipe atau model
ijtihad; mustaqlil (mandiri) dan muntasib (tidak mandiri atau
dinisbahkan dengan mazhab tertentu). Untuk kategori mujtahid muntasib,
al-Nawawi (juz I, tt.: 42) memecah kedalam empat kategori. Kategori
pertama dan kedua ia sebut muntasib dan muqayyad atau fi al-mazhab.
Untuk dua kategori berikutnya, ia tidak menyebut istilah tertentu,
melainkan hanya menyebutkan ciri-cirinya yang cenderung sangat rinci.
Dua model atau tipe jtihad yang belum dsebutkan namanya oleh Al-Nawawi
itu, diberikan nama oleh ulma yang datang belakangan seumpama Abu Zahrah
dengan sebutan mujtahid murajjih dan mustadlil (Abu Zahrah, 1958:
396-397. lihat pula Abu Zahrah, 1958: 118).
Selanjutnya al-Nawawi mengemukakan bahwa
syarat dan sekaligus ciri model ijtihad mustaqil adalah, mengetahui
adillat al-ahkam al-syar’iyah (yang berasal) dari al-Qur’an, al-Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Syarat lain adalah memiliki metode istinbath sendiri,
mengetahui ulum al-Qur’an dan al-Hadits, mengetahui nasakh mansukh,
menguasai bahasa Arab beserta gramatikanya (termasuk ilmu sharaf),
mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama, mengetahui fiqih yang
meliputi masalah-masalah pokok dan furu’nya. Syarat untuk mujtahid
muntasib sama dengan persyaratan yang harus dimiliki oleh mujtahid
mustaqil terkecuali persyaratan untuk menguasai metode istinbath
sendiri. Bagi mujtahid muntasib model pertama ini, seorang mujtahid
diperbolehkan mengikuti metode istinbath yang dikembangkan oleh
mujtahid mustaqil . untuk syarat mujtahid fi al-mazhab atau mujtahid
muqayyad, cukup mengikuti pola ijtihad yang dikembangkan oleh imam
mazhabnya. Ia cukup dengan menggunakan pemikiran ijtihad imam mazhabnya.
Untuk model ijtihad muntasib yang ketiga, syaratnya adalah, mengetahui
pemkiran mazhabnya beserta argumentasi yang dipergunakan oleh imam
mazhabnya. Ia cukup mentarjih pendapat yang bekembang di lingkungan
mazhabnya. Untuk model mujtahid muntasib ke empat, syaratnya adalah
mengetahui berbagai pendapat yang berkembang di lingkungan mazhabnya dan
bisa memberikan fatwa sesuai dengan pendapat mazhabnya (al-Nawawi, juz
I, t.t.: 42-45).
Ijtihad di zaman modern, menurut Yusuf
Qardhawi, muncul dalam bentuk-bentuk perundang-undangan, fatwa dan
penelitian. Ijtihad dalam bentuk perundang-undangan pertama kali muncul
di Turki Usmani. Pada masa-masa akhir, pemerintahan Turki Usmani
menghimpun berbagai pendapat di lingkungan mazhab-mazhab yang berkaitan
dengan hukum keluarga. Untuk selanjutnya, bahan-bahan tersebut
ditetapkan sebagai undang-undang tentang hak-hak keluarga. Langkah
pemerintah Turki Usmani ini kemudian diikuti oleh pemerintah Mesir pada
awal abad ke-20. Ijtihad dalam bentuk fatwa dilkukan secara kolektif
dengan melibatkan beberapa individu yang memiliki disiplin ilmu beragam.
Masalah yang di bahas lebih banyak masalah-masalah kontemporer seumpama
bank Islami dan bayi tabung. Ijtihad dalam bentuk penelitian, muncul
melalui tesis, disertasi, buku-buku ilmiah, kertas kerja dalam
seminar-seminar yang dihasilkan oleh seorang ulama yang memiliki
spesialisasi dan kemampuan (Qardhawi, 1987: 181-187).
Bentuk-bentuk ijtihad tersebut tentu saja
tidak lagi bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam kategori ijtihad yang
diadopsi oleh Al-Nawawi dari Ibnu Shalah di atas. Karena ia tidak
sepenuhnya dapat mengakomodir aktivitas ijtihad di zaman modern yang
bentuknya relatif berbeda dengan aktivits ijtihad di masa lampau yang
dilakukan terutama secara individual. Kategori ijtihad yang di buat
Yusuf Qardhawi lah yang agaknya bisa mengakomodir bentuk-bentuk jtihad
di atas. Dalam buku ijtihad kontemporer, Yusuf Qardhawi mengajukan tiga
model ijtihad kontemporer; tarjihi intiqa’i, ibda’i insya’i, dan
integrasi intiqa’i-insya’i (Qardhawi, 1995: 23-49).
Dimaksudkan dengan ijtihad tarjih intiqa’i
adalah, memilih salah satu pendapat yang di nilai terbaik dan
termaslahat dari berbagai pendapat yang ada dalam warisan fiqih islam.
Pendapat yang di nilai terbaik dan termaslahat itu dihasilkan melalui
studi komparatif terhadap berbagai mazhab dan meneliti kembali
dalil-dalil nash dan argumentasi yang dipergunakan sesuai dengan kaidah
tarjih. Di antara kaidah tarjih itu ialah, hendaknya pendapat itu
mempunyai relevansi dengan kehidupan modern, mencerminkan kelemah
lembutan dan kasih sayang terhadap manusia, mendekati kemudahan yang
diinginkan syari’ah dan mencerminkan keinginan memprioritaskan
kemaslahatan serta penolakan terhadap marabahaya. Pendapat yang dipilih
itu bisa saja berasal dari mazhab yang berbeda-beda dan bahkan bisa juga
berasal dari pendapat yang selama ini di nilai kurang kuat, tapi karena
berbagai pertimbangan, ia dipilih (Qardhawi, 1995: 23-49)..
Perubahan dalam Hukum bisa saja terjadi,
sepanjang ditemukan ilat yang mendorongnya. Dalam konteks ini, Ibnu
al-Qayyim berpendapat, perubahan hukum atau fatwa bisa disebabkan oleh
perubahan zaman, tempat, adat dan kondisi tertentu. (Ibnu al-Qayyim, juz
III, 1937: 14). Yusuf Qardhawi memberikan tambahan penjelasan bahwa
sebab adanya suatu perubahan bisa saja terjadi dengan adanya perubahan
sosial dan politik baik nasional maupun internasional, kemajuan ilmu
pengetahuan modern, dan desakan-desakan zaman dan kebutuhannya
(Qardhawi, 1995: 32-42).
Ijtihad Insya’i atau ijtihad kreatif adalah
pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan yang belum pernah
ditetapkan hukumnya oleh ulama terdahulu. Ijtihad kreatif juga bisa
dilakukan terhadap masalah yang diperselisihkan ketetapan hukumnya oleh
para ulama, dengan menawarkan pendapat ketiga (atau keempat) yang sama
sekali berbeda dengan pendapat yang sudah ada (Qardhawi, 1995: 53).
Hal ini relatif berbeda dengan prinsip
mensikapi masalah khilafah. Sepanjang masalah khilafah itu mempunyai
argumentasi yang sama kualitasnya, untuk keperluan ihthiyathi, maka
dianjurkan untuk memilih pendapat yang diyakini bisa mengakomodasikan
dua pendapat yang saling berbeda itu (Hakim, tt.: 68-69).
Sedangkan yang dimaksudkan dengan ijtihad
integrasi intiqa’i-insya’i adalah, memilih berbagai pendapat ulama
terdahulu mengenai masalah yang dipandang lebih relevan dan terbaik
serta termaslahat, kemudian ditambahkan unsur-unsur baru di dalamnya.
Untuk model ijtihad ketiga ini, Yusuf Qardhawi mengajukan contoh fatwa
kebolehan dan ketidakbolehan melakukan aborsi dengan catatan adanya
manfaat atau madharat bagi janin dan yang hamil. Pendapat ini diambil
dari dua pendapat yang melarang dan membolehkan aborsi secara mutlak,
setelah mendapat pembenaran secara medis (Qardhawi, 1995: h.53-54)
Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan
catatan akhir bahwa, definisi, syarat-syarat dan kategorisasi ijtihad
itu terbentuk tidak secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang
yang sangat dinamis dan fleksibel. Tidak ada standar baku dalam
aktivitas ijtihad dari masa ke masa. Ia tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kebutuhan generasi yang ada di zamannya masing-masing.
Membakukan, apalagi memberlakuan persyaratan dan bentuk aktivitas
ijtihad pada format tertentu yang tidak bisa ditawar, agaknya tidak
sejalan dengan perjalanan historis tersebut. Di samping itu, pembakuan
tersebut juga akan berpengaruh pada kebebasan berijtihad. Namun
demikian, standar aktivitas berijtihad tetap diperlukan sepanjang tidak
membelenggu aktivitas sendiri dan sebaliknya, dapat mendorong aktivitas
ijtihad tetap dalam koridor maqhasid al-syari’ah.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Ushulu al-Fiqhi, Kairo, Daru al-Fikri al-‘Arabi, 1958.
————-, Tarikh al- mazahib al-Islamiyyati, Kairo Daru al-fikr al-Araby, 1958
Amidi, Saefuddin al, al-Ihkam fi Ushul al-Ihkam, juz IV, Kairo, Mu’assasah Halbi, t.t.,141.
Ghazali, Abu Hamid al, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushuli, Mesir, Fanniah Muttahidah, t.t.
Hakim, Abd al-hakim, al-Sullamu, Jakarta, Sa’adiah Putra, t.t.
Harahap, Syahrin, al-Quran dan Sekulerisasi, cet. I, Yogyakarta, Tiara Wacana., 1994.
Husen, Ibrahim, ‘’Memecahkan Permasalahan
Hukum Baru’’, dalam Haidar Baqir, ed., Ijtihad dalam Sorotan, cet. III,
bandung, Mizan, 1994.
Ibn Qayyim, al-I’lam al-Muwaqi’in an rabb al-Alamin, juz I dan juz III, Beirut, Daru al-Jil, 1937
Ibrahim, Muslim, wawancara tanggal 26 Agustus 2004.
Ibnu Hazmin, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkami, juz VIII, Mesir, Maktabah Atif, 1978.
Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughati wa al-A’lami, cet. XXVIII, Beirut, Daru al-Masyriqi, 1986.
Nawawi, Abu Zakaria al, Al-Majmu’ sayrhu al-Muhazzab, juz I, Beirut, Daru al-Fikri, t.t.
Qardhawi, Yususf, Ijtihad Kontemporer, terj. Abu Barzani, Surabaya, Risalah Gusti, 1995.
___________, Ijtihad dalam Syariat Islam, terj. Ahmad Syatori, cet. I, Jakarta, bulan Bintang, 1987.
Sayuthi, Abdurrahman, al-Asybah wal-Nazair Indonesia, Daru al-Kutubi al-Arabiyyah, t.t
___________, al-Radd ‘ala man Akhlada wa Jahula ‘anna al-Ijtihad fi Kulli ‘Ashrin Fardhun, Iskandariyah, Muassasah Syabab, 1984.
Syafi’i, Muhammad bin Idris al, al-Risalat. Beirut, Daru al-fikri, 1309 H.
Syathibi, Abu Ishaq al, al-muwafaqat, juz III, cet. I, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991.
Syaukani, Muhammad bin Ali al, Irsyad al-Fukhul, Beirut, Daru al-Fikri, t.t.
Tiwana, Muhammad Musa, al-Ijtihad wa Hajatuna ilaihi fi Hadza al-Ashri, Mesir, Daru al-Kutubi al-Haditsah, t.t
SUMBER-SUMBER HUKUM SYARI’AT
YANG DISEPAKATI ULAMA’
2. PEMBAHASAN
روى معاذ بن جبل رضىالله عنه أن رسول الله لمابعثه الى اليمن قال له: كيف تصنع ان عرض لك قضاء؟ قال أقضى بما فى كتاب الله. قال فان لم يكن فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله. قال فان لم يكن فىسنة رسول الله؟ قال أجتهد رأيى ولاألو.
Atrtinya:Mu’adz
bin jabal meriwayatkan diwaktu dia diutus oleh rasul kenegara Yaman
Rasul bertanya pada Mu’adz Dengan apa kamu memutuskan bila terjadi suatu
permasalahan? Mu’adz menjawab Dengan Kitabullah. Bila tidak ada
dikitabullah? Dengan sunnah rasulullah. Bila tidak ada dalam sunnah
rasul? Saya ijtihad dengan pendapat saya dan berusaha sekuat tenaga
.
Dari hadits tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa sumber hukum syara’ ada tiga macam Yaitu:1. Alkitab 2. Assunnah 3. Ijtihad.
عن على بن أبى طالب رضى الله عنهما انه قال:قلت: يارسول الله الامر ينزل بنا لم ينزل فيه قران ولم تمض منك سنة؟ قال اجمعوا له العالمين - اوقال العابدين- من المؤمنين فاجعلوه شورى بينكم ولاتقضوا فيه برأى واحد.
Artinya:diriwayatkan
dari Ali bin Abi thalib R.A. Ali bertanya pada rasulullah wahai rasul
Bagaimana jika ada permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qu’an
maupun hadis? Rasul menjawab musyawarahlah dengan orang-orang alim-
orang ahli ibadah- yang mukmin dan jangan putuskan permasalahan tersebut
dengan pendapat satu orang saja.
Dari kedua hadits tersebut memberi pengertian bahwa Ijtihad itu dibagi menjadi dua bagian. 1. Ijtihad perindifiduan 2. Ijtihad dari kelompok orang-orang alim.
Ijtihad yang kedua inilah yang dimaksud Ijma’
oleh para Fuqoha’. Dari keterangan diatas kita tahu bahwa sumber-sumber
hukum syara’ ada tiga yaitu:Alkitab (Al-Qur’an), Al-sunnah
(Al-hadits), Ijma’.
I . Al-Qur’an.
A. Devinisi Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad rasulullah dalam bahasa arab
dan pengertian yang benar agar menjadi hujjah bagi rasul bahwa ia
adalah utusan allah dan menjadi undang-undang bagi yang mengikuti
petunjuknya menjadi ibadah bagi yang membacanya.
B.Macam-Macam hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Pada garis besarnya kandungan hukum dalam Al-Qur’an ada tiga macam.
1. I’tikadiyah,
yaitu hukum-hukum yang menyangkut kepercayaan yang menjadi
kewajiban bagi orang mukallaf meyakininya. Yaitu tentang
keyakinan adanya Allah, malaikat allah, kitab-kitab
allah, para rasul-rasulnya, hari qiamat dan takdir.
2. Kholqiyah,
yaitu hukum-hukum yang bersangkut paut dengan budi
pekerti/perangai yang menjadi kewajiban orang
mukallaf bersifat dengan sifat yang terpuji dan
menjauhi dari sifat yang tercela.
3. Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang menyangkut perkataan, perbuatan yang lahir dari manusia.
Hukum yang ketiga inilah yang dinamakan fiqh Al-Qur’an dan yang menjadi pokok pembahasan ilmu usul fiqh.
C.Macam-Macam Qiroah/Bacaan Al-Qur’an.
1 .Bacaan mutawatiroh, yaitu
bacaan yang diriwayatkan oleh orang banyak mulai masa sahabat dan
seterusnya, yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat dusta
disebabkan banyaknya mereka.
2. Bacaan masyhuroh,
yaitu bacaan yang diriwayatkan oleh beberapa orang yang tidak mencapai
batasan-batasan mutawatir (perawinya lebih sedikit daripada qiroah
mutawatir)
dimasa sahabat dan menjadi banyak perawinya dimasa tabi’in.
والسارق والسارقة فاقطعوا أيمانهما .Contoh:
3. Bacaan Syadzah,
yaitu bacaan yang bukan mutawatiroh dan bukan masyhuroh. Artinya
perawinya sangat sedikit baik dimasa sahabat atau dimasa tabi’in
.
من كان منكم مريضا اوعلى سفرفعدة من أيام أخرمتتابعة Contoh:
Tidak
ada perselisihan diantara para ulama’ bahwa qiroah mutawatiroh adalah
Al-Qur’an yang bisa dibuat hujjah syariyah, sebagaimana tidakada hilaf
antara ulama’ bahwa qiroah syadzah tidak bisa dibuat hujjah/dalil
syara’. Adapun qiroah masyhuroh adalah hujjah syar’iah menurut
Al-Hanafiah saja. Sebagaimana tidak bolehnya memotong tangan kirinya
orang yang mencuri tigakali, karena berdalil
والسارق والسارقة فاقطعوا أيمانهما
Ayat
ini termasuk golongan qiroah masyhuroh. Selain qiroah mutawatiroh
menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafiiyah tidak dianggab Al-Qur’an dan tidak
bisa dibuat hujjah syara’, sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan
Al-hanabilah bisa dibuat hujjah sekalipun tidak termasuk Al-Qur’an
karena kalau bukan Al-Qur’an berarti hadits sebab pernah didengar dari
nabi setiap suatu yangpernah disabdakan nabi kalau bukan Al-Qur’an
Hadits sedangkan hadits wajib diamalkan.
Ulama’
usul dan fuqoha’ termasuk imam Annawawi berpendapat bahwa qiroah yang
diriwayatkan oleh imam qiroah yang tujuh(AlQurro’Alsab’ah)itu
mutawatiroh, sebagian lagi berpendapat termasuk qiroah mutawatiroh
adalah qiroah yang diriwayatkan oleh imam qiroah yang
sepuluh(AlQurro’Al-‘asyroh).
D.Indikasi Ayat-ayat Al-Qur’an
1. Qot’iy, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mungkin untuk ditafsiri dengan arti lain.Contoh:
الزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Ayat ini memberikan
pengertian yang jelas yaitu orang perempuan dan laki-laki yang zina di
jilid seratuskali tidak lebih dan tidak kurang sehingga tidak mungkin
timbul penafsiran yang lain.
2. Dhonniy, yaitu ayat Al-Qur’an yang menunjukkan suatu arti dan mungkin untuk ditafsiri dengan arti lain.Contoh: والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Dalam bahasa arab kata-kata Quru’ itu mempunyai dua arti yaitu 1.Haid 2.Suci dari haid.
Oleh karena itu, dalam mencari arti/ma’na dalam ayat ini terjadilah perbedaan pendapat dikalangan fuqoha’, Imam Al-Syafi’iy berpendapat lafad quru’ disini artinya adalah Suci dari haid. Sedangkan menurut Abu Hanifah artinya adalah Haid.
II. Al-Sunnah.
A.Devinisi Al-Sunnah
Assunnah ialah suatu yang lahir
dari nabi selain Al-Qur’an baik berupa qoul (perkataan), fi’l
(perbuatan), taqrir (pengakuan).
Yang dimaksud dengan sunnah qouliyah adalah ucapan-ucapan nabi seperti: لاضررولاضرار
Sunnah fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan nabi seperti: Cara mengerjakan shalat , manasik haji.
Sunnah
Taqririyah adalah pengakuan nabi terhadap perkataan,pekerjaan sebagian
sahabat baik secara terus terang dan tidak menginkarinya atu secara
terus terang. Seperti dalam suatu riwayat ada dua sahabat bepergian
ketika sudah masuk waktu shalat keduanya tidak menemukan air lalu mereka
tayammum sebagai ganti dari wdlu’ kemudian mereka melanjutkan
perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air sedangkan waktu
shalat masih ada, lalu salah satu dari mereka berdua berwudlu’ dan
mengulangi shalatnya sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduany sudah
kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan rasul bersabda
pada yang tidak mengulangi shalatnya Engkau telah melaksanakan sunnah dan cukuplah shalatmu. Dan rasul bersabda kepada yang mengulangi shalatnya engkau mendapatkan dua pahala.
Bila
hukum-hukum yang terkandung dalam Assunnah dihubungkan dengan
hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an maka Assunnah mempunyai salah satu
dari empat fungsi.
-
Al-Sunnah sebagai penguat hukum-hukum yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
-
Al-Sunnah sebagai interprestasi(menjelaskan) hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an, hal ini ada tiga macam:
a. Merinci hukum yang gelobal dalam Al-Qur’an
Seperti perintah shalat dalam Al-Qur’an
dengan tanpa penjelasan bagaimana cara mengerjakannya ataupun
hitungan,dan rukun-rukunnya. Lalu hadits yang menjelaskannya.
b. Membatasi yang mutlak.
Seperti ayat والسارق والسارقة فاقطعواأيديهما
Ayat ini tidak membatasi
pemotongan tangannya orang yang mencuri, akan tetapi
hadits yang membatasinya yaitu
sampai dipergelangan tangan.
c. Menthsis yang umum.
Contoh: حرم عليكم الميتة والدم
Ayat ini menjelaskan semua bangkai itu
haram, tapi sunnah mentahsisnya bahwa
bankainya ikan yang ada dilaut itu halal .
-
sunnah menasakh (menyalin) hukum-hukum yang ada didalam Al-Qur’an.
Contoh: لاوصية لوارث
Hadits ini menasakh ayat wsiat yaitu: كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيرا الوصية
Ini menurut jumhurul ulama’ selain Al-Syafi’iy.
-
Al-Sunnah membentuk hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Seperti haramnya memakan hewan yang bertaring atau yang bercakar.
B.Pembagian Al-Sunnah ditinjau dari sanadnya.
Sunnah bila ditinjau dari sanadnya (banyak atau sedikitnya orang yang
meriwayatkannya) dibagi menjadi tiga bagian.
-
Mutawatiroh, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh golongan demi golongan sejak masa sahabat dan seterusnya sehingga tidak mungkin berbuat dusta disebabkan banyaknya mereka. Adapun jumlah perawi yang mencapai tingkatan mutawatir ulama’ berselisih pendapat, ada yang mengatakan dua belas, ada yang berpendapat dua puluh,dan ada yang empat puluh.
-
Masyhuroh, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang yang jumlah perawinya tidak mencapai tingkatan mutawatir dimasa sahabat dan menjadi banyak perawinya pada masa tabi’in.
-
Ahad, hadits yang jumlah perawinya tidak mencapai tingkatan masyhuroh ataupun mutawatiroh, baik dimasa sahabat atau pada masa tabi’in.
Semua
pembagian hadits-hadits diatas adalah hujjah syar’iyah yang wajib
diikuti dan diamalkan. Namun dalam hadits ahad ulama’ berselisih
pendapat.
Menurut Al-Khowarij dan Al-Mu’tazilah hadits
ahad itu tidak bisa dibuat hujjah syar’iyah baik dalam penetapan hukum
maupun aqidah. Karena dimungkinkan keliru dan dusta sebab sedikitnya
yang meriwayatkan. Menurut Daud Al-Dzohiri hadits ahad adalah hujjah
syar’iyah yang wajib diamalkannya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari
imam Malik dan Ahmad. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Hazm.
III.Al-Ijma’.
A.Devinisi ijma’
.
Ijma’ ialah persetujuan atau kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas suatu hukum syara’.
B.Syarat-Syarat terjadinya ijma’.
Dari batasan diatas dapat disimpulkan bahwa ijma’ itu mempunyai empat unsur.
-
pada suatu masa dimana ijma’ terjadi harus terdapat beberapa mujtahid, karena kesepakatan / ijma’ itu tidak akan terjadi kecuali dengan beberapa pendapat yang menyepakati dari sekian banyak pendapat, kalau terjadi pada suatu masa hanya terdapat satu orang mujtahid atau tidak ada samasekali maka ijma’ yang dimaksud diatas tidak terjadi.
-
kesepakatan itu terjadi atas suatu ketentuan hukum syara’ tampa melihat daerah tempat tinggal,bangsa dan golongan mujtahid. Kalau seumpama kesepakatan itu terjadi pada suatu daerah misalnya kesepakatan mujtahid haramain (makkah dan madinah) atau mujtahid iraq dan hijaz saja, atau mujtahid ahlissunnah tanpa mujtahid syi’ah maka tidak dianggap ijma’.
-
kesepakatan itu dapat diketahui bahwa mereka telah sepakat bila seluruhnya telah menyatakan pendapatnya dengan terus terang atau secara diam-diam baik melalui lisan atau hany melalui perbuatan seperti seorang mujtahid melaksanakan apa yang dikatakan oleh mujtahid lain.
-
kesepakatan itu dari seluruh para mujtahid. Karena kalau ada sebagian mujtahid yang tidak setuju sekalipun kelompok kecil maka belum dapat dinamakan ijma’.
C.Pembagian ijma’.
Ijma’ dibagi dua yaitu:
1. Ijma’ sharih.(jelas),
yaitu keasepakatan seluruh para mujtahid baik dengan perkataan atau
pekerjaan terhadap suata masalah tertentu, setiap para mujtahid
menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’ yang seperti inilah yang
bisa dibuat hujjah syar’iyah dengan tampa khilaf.
2. Ijma’ sukuti (diam), yaitu
kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu permasalahan dan sebagian
mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak mengingkarinya.
Ijma’ yang kedua ini ulama’ masih berselisih pendapat apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak.
Menurut
Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah syar’iyah
karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
dianggap ijma’ dan hujjah qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang
lain menunjukkan taslim dan sepakat terhadap permasalahan tersebut.
Munurut Al-Karkhiy dari madzhab hanafiyah dan Al-Amidi dari madzhab syafi’iyah bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah dzonniyah.
Tanbih:
Menurut
jumhur bahwasanya ijma’ tidak bisa dinasakh baik dengan Al-Qur’an atau
Al-Sunnah atau yang lainnya karena terputusnya wahyu.
Menurut Abu Abdillah Al-Bashri boleh
menasakh ijma’ dengan ijma’ dan ini yang lebih utama menurut Al-Rozi,
Al-Shofi Al-Alhindi berpendapat pendapat Abu Abdillah ini sangat kuat
karena ijma’ itu kadang hasil dari ijtihad sedangkan hukum-hukum
ijtihadiyah bisa berobah.
3. KESIMPULAN.
Dari uraian diatas kita bisa simpulkan bahwa
sember-sumber hukum syara’ (Mashodir Al-tasyri’ Al-muttafaq alaih) itu
ada tiga yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’. Dari tiga inilah kita
dapat mengembangkan hukum-hukum syara’ yang mana berbagai permasalahan
banyak terjadi dan hukum-hukumnya tidak ditemukan dalam kitab-kitab
klasik.
SYARIAT PADA MASA
RASULULLAH
II. PEMBAHASAN.
Masa Rasullah.
Masa
Rasulullah ini di mulai semenjak beliau mendapatkan wahyu yang pertama
sebagai tanda beliau di angkat menjadi Nabi dan Rasul yaitu ketika
berusia empat puluh tahun dan masa Rasulullah ini terbagi menjadi dua
fase :
Fase ketika beliau berada di Makkah yang lamanya sekitar tiga belas (13)tahun .
fase Madinah yaitu sesudah beliau hijrah sampai wafat, yang lamanya sekitar sepuluh (10)tahun.
Jadi kedua fase ini lamanya sekitar dua puluh tiga ( 23 ) tahun.
-
Fase pertama ini selama tiga belas tahun masa kenabian sayyina Muhammad s,a.w. di Makkah, sedikit sekali turunnya ayat yang yang menerangkan hukum,dikarnakan pada priode ini lebih fukus pada proses penanaman tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah,Rasulnya,hari kiamat, berahlak mulya, keadilan, menepati janji,dan menjauhi kerusakan ahlak seperti zina, dan ada beberapa hukum syariat yang turun pada priode ini juga di makud untuk mewujudkan revolusi aqidah karna pada masa ini pangkal kerusakan adalah aqidah, karna kalau akidah telah di perbaiki dapat menjadi modal dalam melaksanakan hukum-hukum Allah,dan kita dapati berbagai contoh dari hukum-hukum syariat seperti haram makan binatang yang di sembeleh tidak dengan nama Allah dan keterangan hewan-hewan yang haram di makan,yang sebenarnya berkaitan dengan masalah-masalah akidah.
ada beberapa ayat yang menyinggung masalah hukum tetapi itu dalam
hal-hal tertentu dan itupun cara pengungkapannya secara umum seperti
solat,puasa dan juga zakat yang belum di tentukan berapa jumlah yang
harus di keluarkan, yang ketentuannya itu di syariatkan pada priode
Madinah.
Dengan kata lain priode Makkah ini merupakan priode refolusi akidah
untuk untuk mengoba sistem kepercayaan masyarakat Jahiliyah menuju peng
hambaa kepada Allah.
-
Fase Madinah yaitu setelah Rasulullah berhijra ke Madinah yang mana masyarakat Islam dan Negara Islam telah terbentuk, pada priode inilah turun ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum dari semua persoalan manusia dan perlunya pada peraturan yang akan di pergunakan untuk mengatur masyarakat dan negara yang baru terbentuk itu, seperti hukum yang mengatur hubungan manusia dalam keluarga, masyarakat, negara dan lain-lain seperti jual beli.
Ada tiga aspek dalam proses perkembangan syariat pada priode ini:
i. metode
nabi s.a.w. dalam menerangkan hukum, dalam banyak hal,syariat yang
turun secara global . yang Nabi sendiri tidak banyak menerangkan apakah
perbuatan itu wajib atau sunnah, bagai mana syarat, rukun dan lain
sebagainya seperti ketika Nabi sholat, para Sahabat melihat Nabi dan
menirunya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
ii. Ada
hukum yang di Syariatkan untuk suatu persoalan yang di hadapi
masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri yang sedang haid, bolehkan
perang di bulan haji, dan ada pula yang di syariatkan tanpa di dahului
oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan
yang mereka hadapi.
iii. Turunnya ayat secara bertahap. Proses sysriat ini berbentuk dua hal.
Pertama tahap dalam menetapkan suatu hokum Islam, seperti sholat di
syariatkan pada malam isra’ mi’raj ( satu tahun sebeum hijrah ), adzan
pada tahun pertama hijriah, puasa, soholat Ied, kurban dan zakat pada
tahun ke dua, hukum mewaris pada tahun ke tiga dan seterusnya.
kedua tahapan ini tidak sedikit terjadi pada
suatu perbuatan seperti sholat, yang pada mulanya hanya di wajibkan dua
rakaat, kemudian setelah Nabi hirjrah ke Madinah di wajibkan empat
rakaat, seperti yang di katakana oleh Aisyah Ummul mu’minin “Salat di
wajibkan dua rakaat, kemudian setelah nabi hijrah maka di wajibkan empat
rakaat.
Adapun orang yang menguasi syariat pada masa rasul ini adalah
Rasulullah sendiri dan tidaklah bagi seseorang muslim untuk memutuskan
suatu hukum yang terjadi pada diri sendiri atau orang lain, di karnakan
adanya rasul di kalangan mereka yang menggampangkan maraji’nya tentang
apa-apa yang bertentangan di antara mereka,ada suatu riwayat yang
mengatakan bahwa sanya ada sebagian sahabat yang berijtihad pada masa
ini,akan tetapi hal ini di perbolehkan pada keadaan-keadaan tertentu
seperti jauhnya masafah unuk menyakan persoalan ini pada Rasul atau
dikarnakan takut hilangnya kesempatan itu, seperti halnya yang terjadi
pada sahabat muadz bin jabal dalam hadisnya yang berbunyi :
روى عن معاد بن جبل رضي الله عنه ان رسول الله لما بعثه الي اليمن قال له كيف تصنع ان عرض لك قضاء ؟ قال اقضى بما فى كتاب الله. قال فاان لم يكن فى كتاب الله ؟ قال فبسنة رسول الله. قال فان لم يكن فى سنة رسول الله ؟ قال اجتهد رأيى ولا الو.
Artinya:
Muadz bin Jabal meriwayatkan diwaktu dia diutus oleh rasul ke Yaman,
Rasul bertanya pada muadz, dengan apa kamu memutuskan hukum bila terjadi
suatu permasalahan ? muadz menjawab dengan kitabullah,k, Rasul berkata
jika tidak ada dalam kitabullah ? muadz menjawad dengan sunnah rasullah,
bila tidak ada dalam sunnah rasul ? saya ijtihad dengan pendapat saya
dan berusaha sekuat tenaga.
Sumber-sumber syariat pada masa ini.
Seprti telah di sebutkan di
muka, bahwa sumber-sumber syariat pada masa Nabi ini adalah wahyu, baik
pengambilan bentuk Al-qur’an ( wahyu yang di bacakan)ataupun sunnah
(wahyu yang tidak di bacakan )
Al-qur’an.
Al-qur’qn adalah kitab suci
yang di wahyukan ke pada Nabi Muhammad s.a.w. yang mengandung petunjuk
ke benaran bagi kebahagian umat manusia, yang ayat-ayatnya menunjukkan
pada proses perkembangan syariat sebagian besar merupakan jawaban
terhadap peristiwa dalam masyarakat. Al-qur’an yang di turunkan secara
bertahap selama 23 tahun, 13 tahun di makkah dan 10 tahun di madinah
mampu menjawab berbagai masalah, pertanyaan, situasi dan kondisi yang di
jumpai rasullah s.a.w. dalam perjalanannya.
karakteristik
yang cukup menjonol dari al-qur’an adalah bahwa meskipun di turunkan
dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu tetapi esinsi kalam tuhan
tersebut adalah universal,karenanya dapat kita katakan bahwa sasaran
al-qur’an dan juga sebab turunnya adalah kemanusian, baik manusia pada
masa Nabi,masa kini dan masa mendatang.teme-tema pokok selama priode
makkah misalnya, berkisar pada akidah dan moral, sedangkan priode
madinah lebih pada rekonstruksi sosial dan moral masyarakat pada seluruh
dimensi kehidupan, seperti zakat walaupun berulang kali di tekankan,
tetapi masih merupakan pemberian suka rela kepada anggota-anggota yang
miskin dari komunitas Islam Makkah, tetapi di madinah zakat di nyatakan
wajib dan mulai di tertibkan aturan pelaksanaannya.
Sunnah
Sunnah adalalah sumber syariat ke dua setelah al-qur’an, dalam
terminologis muhaddisin, fuqaha’ dan usuliyin.sunnah berarti sesuatu
yang di nisbatkan kepada rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun ketentuan.
Sebagai mana al-qur’an,
sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara priodik
mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat di sebut
mengikuti perkembangan turunnya syariat, karenanya dalam banyak hal kita
melihat bahwa sunnah tujuannya menerangkan, merinci, dan menafsirkan
al-qur’an.
Ijtihad Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam ijtihad Nabi s.a.w.
pernah terjadi di karnakan adanya suatu masalah dan rasul menunggu
datangnya ayat akan tetapi tidak turun-turun maka rasul melakukan
ijtihad, contoh adanya ijtihad rasul terhadap tawanan perang badar saat
itu belum ada ketentuan Nas yang merangkan bagai mana seharusnya tawanan
perang di berlakukan, Nabi menunggu datangnya wahyu, terapi belum turun
juga. Dalam situasi yang sangat mendesak nabi meminta pendapat Abubakar
dan Umar , menurut Umar demi ke maslahatan, tawanan perang itu harus di
bunuh, mereka kata Umar adalah pemimpin dan jago-jago orang kafir yang
jika di lepaskan akan membuat onar di tengah-tengah kaum muslimin.
Abu bakar melihat lain, melepas mereka
lebih baik bagi pengembangan kekuatan kaum muslimin dari pada membunuh
mereka,yang beliau mengatakan bahwasanya mereka itu adalah anak-anak
dari keluarga dan teman-teman kita juga. Yang menurut sayyina Abubakar
sebaiknya di ambil fidyah (tebusan) saja dari mereka.
Nabi
Muhammad berijtihad memilih pendapat Abubakar setelah terlebih dahulu
mempertimbangkan kemaslahatan. Kemudian turun al-qur’an yang menerangkan
bahwa dalam kondisi seperti itu pendapat Umar lebih tepat.
yang berbunyi : “Tidaklah patut bagi seorang
Nabi mempunyai tawanan sebelum iya dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki(pahala)akhirat (untuk mu).dan Allah maha perkasa lagi maha
bijaksana. Jika sekiranya tidak ada ketetapan yang terdahulu dari Allah,
niscaya kamu di timpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu
ambil.
Contoh lain adalah perang tabuk. Beberapa
prajurit Islam datang menyatakan ketidak siapannya untuk jihad dengan
mengemukakan berbagai alasan. Nabi saw. berpendapat dengan ijtihadnya
bahwa alasan meeka cukup jujur dan dapat di terima. Tetapi Allah
memperingati beliau karna ternyata sebagian mereka ada yang munafiq. ”
kiranya Allah memaafkanmu! mengapa kamu izinkan mereka sebelum jelas
bagimu orang-orang yang benar dan kamu tahu pula orang-orang dusta ?.
Ijtihad
Nabi dapat di sebut sumber syariat sebab pada saat berijtihad, beliau
mencari hukum-hukum tentang suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan
Nasnya, baik dengan cara menafsirkan nash, ijtihad nabi ini pun tidak
menyingkap hukum, kerena adanya wahyu juga perantara untuk sampai pada
penjelasan hukum, jika wahyu yang turun menguat ijtihad Nabi itu berarti
hukumnya merujuk pada nas, dan bila wahyu yang turun berbeda dangan
ijtihad Nabi itu berarti hukumnya merujuk pada nas dan tidak pada
ijtihad.
Kesimpulan.
Dari
keterangan di atas kita dapat mengetahui bahwa sanya tasyiri’ pada zaman
Rasul ini semua bersumber dari Allah baik dengan wahyu Al-qur’an
ataupun dengan ijtihad Rasul yang mengambil ta’bir dari wahyu Ilahi.
Adapu ijtihadnya Rasul dari pemikiran dan
keputusannya di lindungi oleh Allah, jika ijtihadnya benar di tetapkan
oleh Allah, jika ijtihadnya salah di tolak dan di benarkan oleh Allah,
jadi semua hukum dari ijtihadnya Nabi itu bersumber dari ilham Ilahi,
kecuali yang salah dan itupun di benarkan.2’3
FIQH PADA MASA SAHABAT
.
II. PEMBAHASAN
II.A. PERANAN SAHABAT
Pada
periode pertama Rosulullah meninggalkan undang-undang ynag berisi
nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi umat Islam. Namun
demikian, tidak setiap muslim dapat merujuk sendiri atau memahami
dalil-dalil tersebut, terutama orang-orang awam yang tidak bisa mencapai
pemahaman nash-nash kecuali melalui orang-orang yang dapat memahaminya.
Di sisi lain, undang-undang ini belum tersebar luas di kalangan
muslimin sehingga dapat di nikmati setiap individu muslimin, karena pada
periode ini ayat-ayat Al-Qur’an masih tersebar di lembaran-lembaran
khusus yang di simpan di kediaman Rosulullah saw dan sebagian sahabat,
tentu saja As-Sunnah juga belum di kodifikasikan sama sekali. Dari
sinilah para cendikiawan dan tokoh-tokoh sahabat terinspirasi dan merasa
bertanggung jawab untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
serta mempublikasikannya ke seluruh penjuru jazirah Arab. Para
sahabat inilah yang memiliki peranan urgen dalam menjaga eksistansi
perjuangan Rosulullah saw. dan sebagai rujukan terhadap permasalahan
yang terus muncul bagai jamur di musim penghujan, karena memang
kelebihan mereka dalam hafalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, asbabun nuzul, serta lamanya mereka hidup bersama Nabi.
Di antara para sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa adalah:
Di Madinah: al-Khulafaur Rosidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah.
Di Makkah : Abdullah bin Abbas.
Di Kufah : Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
Di Bashrah : Anas bin Malik, dan Abu Musa Al-Asy’ari.
Di Syam : Mu’adz bin Jabal, Ubadah bin Shomit.
Di Mesir : Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
Pada permulaan abad ini, kebanyakan dari
mereka berada di Madinah, tetapi setelah kemenangan demi kemenangan di
raih oleh umat Islam, mereka berpencar, sehingga ijtihad yang mulanya di
lakukan bersama (jama’i) kini menjadi ijtihad individu (fardi).
Para sahabat, khususnya periode ini,
memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan
agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi
juga menyebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam,
dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqh berhadapan dengan persoalan
baru : penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural, dan kemanusiaan
dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang
mempengaruhi perkembangan fiqh pada periode ini. Daerah-daerah yang di
buka dan di Islamkan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural,
tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para fuqoha’, sahabat untuk
memberikan hukm pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan
Para sahabat dengan kapasitas pemahaman yang
komprehensif terhadap Islam – karena lamanya bergaul dengan Nabi dan
menyaksikan sendiri proses turunnya syari’at – menyikapi setiap
persoalan yang muncul dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Mereka menggali kandungan-kandungan moral Al-Qur’an. Ada kalanya mereka
menemukan nash Al-Quran atau petunjuk Nabi yang jelas menunjukkan pada
persoalan tersebut, tetapi dalam banyak hal mereka harus menggali
kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema dalam Al-Qur’an
untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak di
jumpai ketentuan nashnya. Perkembangan baru yang muncul mengiringi
perluasan wilayah islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Saat
itu mulai terjadi perbedaan pemahaman terhadap nash, sebagaimana
perbedaan itu juga muncul karena perbedaan persepsi dan pendapat.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah
Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagian
mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini
suatu perkembangan yang belum muncul di zaman Nabi sehingga di butuhkan
suatu aturan baru yang mengatur hubungan oprang-orang Islam dengan
non-Muslim. Para fuqoha’ untuk yang kesekian kalinya berusaha merumuskan
bagaimana Islam mengatur kemajemukan hidup seperti ini. Dan, tidak
jarang pula mereka melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan
yang tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas memerinci
hukum masalah ini.
II.B. SUMBER-SUMBER FIQH PADA PERIODE INI
Seperti
telah di sebutkan di atas, perkembangan baru yang muncul mengiringi
perluasan wilayah Islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Setiap
ada persoalan baru para fuqoha kembali pada Al-Qur’an sebagai dasar
agama, kemudian merujuk pada sunnah Nabi. Jika dari kedua warisan itu
tidak di temukan ketentuan hukumnya, mereka berkumpul dan bermusyawarah
untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah
di putuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian di
kenal dengan istilah ijma’.
Karena itu selain Al-Qur’an dan Sunnah,
ijtihad juga merupakan sumber fiqh yang menjadi rujukan para fuqoha.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan bahwa fiqh pada periode ini
adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad. Berikut akan kita bicarakan
sedikit tentang perkembangan sumber-sumber hukum di atas.
II.B.1. AL-QUR’AN
Sepeniggal
Nabi saw, Al-Qur’an belum di kumpulkan dalam satu mushaf tetapi masih
berbentuk lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara itu beberapa kali
terjadi kegoncangan dalam pemerintahan kholifah Abu Bakar. Dalam suatu
peperangan dengan penduduk Yamamah yang murtad, sekitar 500 sahabat dan
70 di antaranya dari khuffadz Al-Qur’an.
Timbul kekhawatiran Umar dengan meninggalnya
para khuffadz itu akan mengakibatkan hilangnya warisan Al-Qu’an. Umar
segera bertindak dengan mendatangi Abu Bakar dan mengusulkan agar mulai
di rintis pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Namun Abu Bakar tidak mau, karena hal itu
tidak pernah di lakukan oleh Nabi. Setelah beberapa kali Umar datang dan
mendesak Abu Bakar, denngan alasan demi kemaslahatan umat Islam,
akhirnya Allah membuka hati Abu Bakar, lalu beliau menemui Zaid bin
Tsabit. Hal serupa juga di alami Abu Bakar, namun Allah membuka hati
Zaid, sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Dari sini
kita tahu bahwa yang di lakukan Abu Bakar bukan penulisan Al-Qur’an –
karena Al-Qur’an telah di tulis pada zaman Nabi – tetapi pengumpulan
dalam satu mushaf, setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran
daun, kulit dan tulang yang terpisah.
Pada masa kholifah ketiga, Utsman bin Affan
muncul perbedaan cukup tajam tentang bacaan Al-Qur’an. Perbedaan itu di
laporkan oleh Khudzaifah bin Yaman – seorang pim-pinan perang di
Armenia dan Azarbaijan – cenderung mengarah pada permusuhan di kalangan
umat Islam. Pada perang Armenia dan Azarbaijan, misalnya, prajurit Islam
yang datang dari berbagai tempat berselisih tentang bacaan Al-Qur’an
itu. Dan kekhawatiran akan munculnya perselisihan lebih tajam lagi
mengilhami Utsman bin Affan untuk berinisiatif menertipkan bacaan
Al-Qur’an. Maka, Utsman minta kepada Hafsah, istri Nabi, untuk
menyerahkan Mushaf yang di tulis pada masa Abu Bakar dan menyuruh
beberapa penulis wahyu seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa’ad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits untuk menertibkan bacaan
Al-Qur’an.
Setelah proses penertiban ini selesai,
Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafshah dan mengirim mushaf
yang sudah di tertibkan bacaannya ke segala tempat; Mekkah, Syam,
Bashrah, Kufah, dan Madinah. Dan penulisan Mushaf Utsmaniy seperti yang
kita lihat sekarang ini berakhir pada tahun 25 H.
Apa yang di lakukan oleh Utsman bukanlah
penulisan Al-Qur’an atau pengumpulan bacaannya – karena penulisannya
telah selesai pada zaman Nabi dan pengumpulannya ke dalam satu Mushaf
selesai pada masa Abu Bakar – tetapi penertiban bacaan Al-Qur’an untuk
menhindari perselisihan pendapat di kalangan umat Islam.
II.B.2. AL-HADITS
Berbeda
dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah pada periode ini sama sekali belum di
kumpulkan dan di bukukan. Sebenarnya pada masa kholifah kedua, Umar ibn
al-Khaththab sempat memikirkan untuk membukukannya, namun setelah di
musyawarahkan dengan para sahabat yang lain, hal itu tidak jadi di
realisasikan, karena takut akan tercampur dengan Al-Qur’an. Begitulah ,
sampai akhir abad I H. Sunnah belum di bukukan, kecuali milik pribadi
Abdullah bin Amr bin Ash, yang beliau riwayatkan sendiri
hadits-haditsnya dari Rosulullah.
Meskipun as-Sunnah belum di bukukan sama
sekali, namun para sahabat sangat berhati-hati dalam mengambil suatu
hadits untuk menentukan hukum. Konon Abu bakar tidak menerima hadits
kecuali di perkuat oleh seorang saksi, sedangkan Umar meminta kepada pe-rowi hadits untuk memberikan bukti atau saksi, dan Ali selalu menyumpah rowi dalam menyeleksi hadits.
Sebagai contoh : Ada seorang wanita tua
datang kepada Abu Bakar menanyakan tentang harta warisan. “Dalam
Al-Qur’an dan Sunnah anda tidak memperoleh apa-apa,” Kata Abu Bakar.
Mughiroh bin Sya’bah, seorang sahabat terkemuka yang saat itu tidak
hadir, pernah mendengar Nabi bersabda bahwa seperti orang itu mestinya
mendapat seperenam. Ia bergegas menemui Abu Bakar. “siapa saja yang
bersama kamu dan bisa menjadi saksi bahwa Nabi Muhammad saw. pernah
bersabda: “Berilah seorang nenek seperenam dari harta warisan”?”
tanya Abu Bakar. Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian
terhadap kebenaran hadits itu. Dan itulah yang menjadi putusan Abu
Bakar.
Jika kita telusuri lebih jauh, ketatnya periwayatan hadits ini di sebabkan dua alasan :
Pertama, kekhawatiran akan adanya kesalahan atau penyelewengan, karena lupa misalnya, atau kesalahan dalam menyampaikan riwayat.
Kedua, kekhawatiran akan
masuknya kabar bohong kedalam hadits yang di lakukan oleh orang-orang
yang secara sengaja ingin merusak islam dari dalam.
Tetapi ketatnya penyeleksian hadits ini tak
dapat menggantikan kedudukan pembukuan, dan akhirnya juga menimbulkan
beberapa persoalan:
Pertama: Hal tersebut mengharuskan Ulama untuk mengerahkan kemampuannya dalam meneliti para pe-rowi hadits dan juga membagi hadits – berdasarkan para rowinya- menjadi hadits qoth’iyyatul wurud dan dzonniyyatul wurud, sedangkan dzonniyyah sendiri terbagi menjadi shohih, hasan, dan dlo’if.
Kedua: hal tersebut,
mengakibatkan tidak bersatunya umat Islam dalam satu acuan pedoman
terhadap hadits, – sebagaimana yang terjadi pada Al-Qur’an, – dan bisa
mengakibatkan celah terhadap perubahan, penambahan, maupun pengurangan
hadits – baik di sengaja atau tidak – yang pada akhirnya bisa
menimbulkan perbedaan di dalam kehujjahan hadits itu sendiri dan perbedaan ulama yamg menggunakan suatu hadits.
II.B.3. IJTIHAD
Selain
Al-qur’an dan Sunnah, ijtihad mulai menjadi rujukan fuqoha pada periode
ini. Perluasan wilayah Islam telah mendatangkan masalah baru yang belum
muncul sebelumnya. Tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, kebutuhan
untuk melakukan ijtihad itu tidak semata-mata untuk menjawab masalah
baru yagn muncul, namun juga untuk memahami nash yang ada dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana nanti akan di lihat dalam contoh. Yang
sudah jelas intentsitas ijtihad sahabat mendapat tempat tersendiri
dalam fiqh. Maksudnya, kendatipun ijtihad itu membuka ruang ikhtilaf,
tapi karena sering di lakukan secara bersama dan musyawarah, apalagi
saat itu para sahabat belum tersebar luas, ijtihad sahabat banyak
mendatangkan suatu “kesepakatan umum dari suatu generasi” atau ijma’.
Patut di catat dalam kesempatan ini, sikap
para sahabat terhadap perbedan pendapat. Saat itu perbedaan pendapat di
anggap suatu hal yang wajar dan di kembangkan. Tidak ada sahabat yang
memaksakan pendapatnya pada orang lain. Pada suatu saat ada seseorang
datang kepada umar dan memberitahukan bahwa Ali bin Thalib dan Zaid
telah memutuskan persoalan yang ia hadapi. “jika saya , tentu akan saya
putuskan yang lain”, kata Umar. “siapa yang melarang anda, sedangkan
persoalan ini memang akan laporkan kepada anda?” kata orang itu
menimpali. Umar menjawab : “kalau saja saya dapat merujukkan persoalan
yang kamu hadapi pada Al-Qur’an dan Sunnah niscaya saya melakukannya.
Tetapi saya tahu bahwa ini sekedar pendapat, dan pendapat itu milik
semua orang.”
Seorang penulis pernah menyamakan antara
pendapat Umar dan ketentuan Allah. Umar marah. “Pernyataan kamu ini
sangat menyesatkan,” kata Umar. Ini pendapat Umar, “apabila benar, itu
dari Allah dan bila salah dari Umar sendiri. Kebenarna itu hanya datang
dari Allah dan Rasul-Nya, maka jangan jadikan suatu pendapat sebagai
sunnah bagi umat.” Demikian tradisi ikhtilaf pada masa sahabat. Abu
Bakar setiap kali menjelaskan suatu persoalan yang tidak ada nash
hukumnny dalam Al-Qur’an dan Sunnah selalu menambahi dengan pernyataan :
“ini pendapatku, jika benar, itu dari Allah, tetapi jika salah, itu
dari pribadi saya sendiri”.
Kebebasan berpendapat ini, tanpa tendensi
untuk kepentingan pribadi atau kelompok, telah melahirkan suatu kekuatan
moral Islam yang secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi
Islam dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa
meminta etika dan paradigma baru. Contoh berikut ini akan semakin
memberikan gambaran yang jelas tentang pernyataan di atas. Sebagai
contoh, yaitu tentang ‘iddah wanita yang di talaq suaminya. Kapan ‘iddah wanita yang di talaq suaminya akan berakhir? Menurut ibnu Mas’ud dan Umar ibn Khaththab, ‘iddahnya berakhir
ketika ia mandi dari haid yang ketiga setelah talaq. Pendapat Zaid bin
Tsabit lain. Menurut Zaid, wanita itu boleh menikah setelah memasuki
haid yang ketiga. Apabila di telusuri, ternyata ikhtilaf ini merujuk
pada pengertian quru’ dalam firman-Nya: “ Perempuan-perempuan yang di talaq menunggu tiga kali quru’” (QS: 2:28). Ibnu Mas’ud dan Umar berpendapat quru’ itu berarti haid, karenanya iddah wanita berakhir ketika haid yang ketiga. Zaid menafsirkan quru’ dengan bersih yang berarti bahwa iddahnya akan berakhir ketika mamasuki haid yang ketiga. Ikhtilaf ini lebih jauh dapat di pahami karena dalam bahasa Arab quru’ dapat berarti “bersih” dan “haid”.
Yang dapat kita lihat dari beberapa ijtihad
sahabat – di antaranya seperti contoh di atas – adanya runag lingkup
ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak menyikapi hukum-hukum secara
ideal yang terlepas dari konteks sosial, akan tetapi dimensi sosial itu
telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal Islam
terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash
(seperti pneggunaan teori illah yang di lakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’ (tujuan-tujuan syari’at) dari suatu penerapan hukum.
Utsman, misalnya, berkesimpulan bahwa di
biarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi karena kondisi saat itu
aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut
adanya “situasi aman” sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai
pemiliknya. Kerangka teori ini kemudian di kembangkan dan di rumuskan
oleh para ahli metodologi Islam dalam kaidah: al hukmu yaduru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman.
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan
membuktikan bahwa rumusan para fuqoha dan mujtahidin pada tahun-tahun
pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad para sahabat. Qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan
kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari ijtihad
sahabat. Dengan kata lain tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada
kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang memperkaya tsarwah fiqhiyyah dalam sejarah perkembangannya.
II.C. METODE TSYRI’ DAN SEBAB-SEBAB IKHTILAF PARA SAHABAT
Metode
sahabat dalam menentuan hukum pada peiode ini yaitu dengan menujuk pada
Al-Qur’an dan Sunnah terlebih dahulu. Apabila mereka menemukan suatu
ayat atau hadits yang memberikan indikasi terhadap suatu hukum, maka
mereka akan memfokuskan perhatian mereka terhadap kandungan nash
tersebut, sehingga bisa di ketahui apa kandungan nash tersebut, yang
kemudian di aktualisasikan terhadap permasalahan yang terjadi. Namun
apabila mereka tidak menemukan di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, maka
mereka akan berijtihad sesuai dengan kemampuan mereka yang sudah
terbentuk karena lamanya hidup bersama Rosulullah, dan secara langsung
melihat bagaimana beliau berijtihad. Maka terkadang mereka mengkiaskan
suatu permasalahan yang belum ada nashnya dengan permasalahan yang
sudah ada nashnya dan terkadang juga mereka mempertimbangkan
kemaslahatan umat.
Pada masa kholifah Abu Bakar dan Umar, ijtihad masih sering di lakukan dangan cara bersama-sama (ijtihad jama’i) dalam sebuah forum yang terdiri dari para tokoh sahabat. Dan hukum yang di hasilkan melalui forum ini di namakan ijma’.
Pada saat itu jarang sekali terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat, masing-masing dari mereka salimg memaparkan pendapatnya dari
berbagai sudut pandang serta dalil-dalinya di hadapan sahabat yang lain.
Namun setelah wilayah Islam meluas dan para
sahabt tersebar di berbagai daerah kekuasaan, sehingga sulit bagi
kholifah Madinah untuk mengumpulkan mereka. Dari sinilah bibit perbedaan
pendapat di kalangan sahabat mulai tumbuh. Hali ini, kalau kita cermati
karena beberapa sebab, antara lain:
-
Perbedaan dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadits.
-
Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang berlawanan.
-
Perbedaan kaidah metode dan ijtihad dari para fuqoha.
-
Kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad.
-
Kebanyakan nash-nash Al-Qur’an bukanlah qoth’iyyatul dalalah akan tetapi merupakan dhonniyatul dalalah
-
Bahwa Sunnah belum di kodifikasikan dan belum di kumpulkan sama sekali dalam satu wadah rujukan serta belum tersebar luas di kalangan muslim, akan tetapi masih tersebar di hati para sahabat dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, terkadang satu Hadits di ketahui ulama di Mesir, tetapi tidak dio ketahui oleh ulama yang berada di Damaskus dan lainnya.
-
Perbedaan kondisi ligkungan, kemaslahatan dan kebutuhan masing-masing daerah.
Dari
ketiga sebab di atas, mulai muncul perbedaan fatwa terhadap satu masalah
yang sama namun masing-masing mempunyai sudut pandang dan dalil
sendiri.
II.E. AKHIR PERIODE INI
Ada tiga poin yang dapat kita perhatikan dari masa sahabat ini
-
Sahabat mewariskan beberapa pokok penjelasan undang terhadap nash al-Qur’an dan Hadits.
-
Beberapa fatwa-fatwa ijtihad yang bersumber dari sahabat dalam memutuskan masalah aktual yang terjadi yang tidak ada nashnya.
-
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa tiga besar. Ini bermula dari terbunuhnya kholifah Utsman bin Affan, berlanjut dengan pengangkatan kholifah Ali bin Abi Thalib, namun kemudian di lengserkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sehingga terjadilah perang antara kedua belah pihak. Kemudian klimaksnya terjadilah apa yang kita kenal dengan peristiwa tahkim. Tiga golongan besar tersebut adalah
-
Syi’ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya.
-
Khowrij yaitu orang-orang yang dendam atas Utsman, Ali dan Mu’awiyah seluruhnya.
-
Ahlussunnah wal jama’ah yaitu orang-orang yang bisa menerima dan ridho terhadap Mu’awiyah dan penerintahannya. Golongan ini adalah terbanyak pengikutnya.
Masing-masing
tiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam pembinaan hukum Islam,
karena Khowarij tidak mau mengambil hukum yang bersumber dari hadits
yang di riwayatkan oleh Utsman, Ali, Mu’awiyah maupaun oleh orang
menolong salah satu dari mereka, dan mereka menolak semua hadits,
pendapat, dan fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka lebih memilih apa
yang bersumber dari orang yang mereka ridhoi , oleh karena itu mereka
mempunyai fiqh sendiri. Begitupun Syi’ah, mereka bersikukuh terhadap
pendapatnya sendiri tanpa mau mengakui pendapat orang lain. Sedangkan
Ahlussunnah agak sedikit lebih moderat. Mereka mau menerima hadits dari
siapa saja asalkan memenuhi persyaratan perowi hadits dan mau menerima pendapat ulama lain setelah di seleksi dan di tafsil. Semua ini akan tampak nyata dalam periode berikutnya.
III. KESIMPULAN
Sebagaimana
yang telah di gambarkan di atas, fiqh periode Khulafaur Rosyidin ini
sangat hidup dan semarak, juga sebagai fondasi dari fiqh sepanjang masa.
Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun kecil di banding periode
berikutnya, seiring dengan perkem-bangan fiqh itu sendiri. Selain
pembukuan Al-Qur’an dan periwayatan hadits yang sangat ketat, pada
periode ini ijtihad seringkali di lakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf.
Yang perlu di simak, pada periode ini
fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah belum di tulis seperti juga Sunnah.
Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah ushuliyah
dan metode ijtihad yang di gunakan oleh fuqoha sahabat dalam melakukan
ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang
masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Pada periode ini juga mulai muncul beberapa aliran besar dalam Islam, seperti: Ahlusssunnah wal Jama’ah, Syi’ah, dan Khowarij.
Referensi:
-
Bik, Hudlori, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, Terjemah, Darul Ihya
-
Kholaf , Abdul Wahhab, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Fikr
-
A. Sirry, Mun’im Sejarah Fiqh Islam. Risalan Gusti
TASYRI’ MASA TABI’IN, TABI’IT-TABI’IN DAN MASA TAQLID
Bab satu
Pendahuluan
Kajian
kali ini merupakan squel dari kajian sebelumnya.materi ini merupakan
mata rantai yang tak terpisahkan dari kajian materi sebelumnya.Sekadar
mengingat kembali ,tasyri’ terbagi dalam 6 periode. 2 periode sebelumnya
yaitu periode Nabi Muhammad SAW dan Sahabat Ra. Yang terkenal sebagai
periode pembemtukan serta periode penerjemahan.
Bagian pertama kajian pada kali ini akan
membahas periode tasyri’ masa tabi’in, dan masa tabi’it-tabi’in yang
didalamnya memunculkan imam-imam mujtahid. periode ini diyakini sebagai
periode keemasan tasyri’ setelah mengalami penggodokan puluhan tahun
pasca tasyri’ periode nabi Muhammad saw. pada periode keempat ini, mulai
digalakkan kodifikasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sihingga
banyak para pakar menyebut periode ini degan istilah periode kodifikasi.
Pada bagian kedua nanti kami akan mencoba
mengutarakan periode taqlid. Disinilah terjadi masa kevakuman,
dikarnakan adanya mujtahid muthlak sepanjang periode ini. Para ulama
pada perode ini memfokuskan diri untuk mengikuti produk imam-imam
mujtahid dalam memberi konsklusi hukum. Ibarat perputaran yang sedang
berada dibawah, sehingga bisa dikatakan, disinilah titik awal munculnya
titik nadzir dalam sejarah tasyri’ yakni periode taqlid buta.
Bab dua
Pembahasan Materi
TASYRI’ MASA TABI’IN DAN TABI’IT-TABI’IN RA(100 H-350H)
1. Gambaran awal
Para
tabi’in ra. Telah mewarisi berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam
jumlah yang banyak,sampai-sampai dilabeli istilah tsarwah ilmiah ini
merupakan buah dari adanya aplikasi syariat islam yang benar. Yaitu
tasyri’ yang didasari pemahaman teks nash dan tujuan nash dengan benar
oleh generasi sebelumnya. Disisi lain, para sahabat ra berharap agar
hasil kerja keras ini dijadikan referensi bagi generasi berikutnya baik
dalam segi penggunaan produk, metodelogi maupun langkah-langkah yang
telah ditempuh oleh para sahabat ra.
1
Ada 3 fenomena yang layak mendapat perhatian pada periode ini:
-
Daulah Islamiyah telah mengembangkan sayapnya keberbagai penjuru dunia yang otomatis membuat kaum muslimin mempuyai berbagai macam corak kehidupan lengkap dengan prolematikanya. Sehingga para mujtahid harus melakukan ijtihad tidak hanya pada problematika terjadi saat itu saja, tetapi lebih jauh mereka dituntut untuk memberi konsklusi hukum terhadap peristiwa yang belum terjadi
2. para tabi,in maupun tabi’it-tabi’in telah menemui kemudahan dalam
menggali sumber-sumber tasyri’ disebabkan apa yang telah dilakukan oleh
para sahabat ra. Bahkan, tidak jarang mereka mendapati banyak problem
yang sudah ditangani oleh generasi sahabat ra.
3. kaum muslimin pada periode ini mempunyai motivasi yang sangat
kuat untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’at
islam. Sehingga mereka banyak berduyun-duyun mengunjungi para ulama’
maupun fuqoha’ untuk sekedar meminta fatwa berkenaan dengan hukum
syara’.
2. Khiottah Tasyri’iyah Periode Ini
Terjadi sedikit silang
pendapat mengenai khittah tasyri’iyyah periode imam-imam mujtahid. Hal
ini setidaknya dipicu 3 sudut pandang (point of view) berikut:
-
Sumber-Sumber Tasyri’
Ikhtilaf dalam point ini berkenaan dengan kepercayaan terhadap suatu hadits sebagai hujjah.
-
Mujtahid iraq dengan imam abu hanifah ra sebagai mentornya hanya akan berhujjah dengan hadits mutawatir masyhurah serta hadits yang diriwayatkan fuqoha’ yang terpecaya.
-
Mujtahid madinah mengunggulkan amalan ahli madinah daripada hadits ahad.
-
Imam-imam mujtahid lainnyamnjadikan hujjah hadits yang diriwiyatkan oleh orang yang adil dan tsiqqoh. Baik dari fuqoha’ atau tidak , serta baik pro maupun kontra dengan amalan ahli madina
b. Pertentangan Tasyri’
Berkenaan dengan point ini, ulama’-ulama’ periode ini terdikotomi sebagai berikut:
-
ahli hadits yang mayoritas ulama’ hijaz
-
ahli ra’yu yang mayoritas ulama iraq
terjadinya dikotomi ini tidak lepas dari 3 faktor berikut:
-
hadits maupun fatwa sahabat lebih banyak tersebar di hijaz daripada diirak
-
terjadinya fitnah diirak yang berupa distori hadits
-
lingkungan hijaz mempunyai mu’amalah, adat, undang-undang yang tidak sama dengan yang ada diirak. Sekedar informasi,objek ijtihad diirak lebih luas disbanding hijaz.
c. Pemahaman Bahasa
Perbedaan
dalam pont ini bertautan dengan uslub bahasa arab, sehingga memunculkan
banyak kelompok yang bersilang pendapat antara lain:
a) Ulama’ yang berpendapat bahwa sighot amar muthlaq menunjukkan makna wajib,
tidak bisa dialihkan pada makna lain kecuali ada qorinah yang menunjukkannya.
b) Ulama’ yang berpendapat bahwa sighot amar menunjukkan perintah
pelaksanaan saja.dan qorinahlah yang akan menunjukkan apakah amar
disini menunjukkan wajib atau selain wajib.
Kesimpulannya khittah tasyri’iyyah pada periode iniadalah
-
Al-Qur’an
-
Hadits yang sesuai dengan kepercayaan yang mereka ikuti seperti keterangan diatas.
-
Asumsi terhadap fatwa-fatwa sahabat ra.
-
Metode qiyas.
-
Metode ijma’.
-
Ijtihad yang masing-masing berbeda dalam hal pemahaman nash, ta’wil nash, ‘illat pada nash, uslub pada kebahasaaan yang pada akhirnya menghasilkan konsklusi hukum yang berbeda antar mujtahid.
3. Warisan Periode Ketiga
Warisan
terpenting dari periode ini adalah adanya kodifikasi barbagai cabang
ilmu pengetahuan. Mulai dari hadits, ilmu fiqih, fatwa –fatwa sahabat
ra, dll. Kodifikasi ini sangat membantu para fuqoha’ periode
selanjutnya. Bahkan banyak peristiwa maupun persoalan yang terjadi pada
masa selanjutnya sudah bisa ditemukan ketentuan hukamnya dalam
literature-literatur tersebut.adanya kodifikasi telah melestarikan
karya-karya monumental ulama’ periode ini terutama dari kalangan ulama’
empat madzhab.
Tasyri’ masa taqlid (pertengahan abad ke-4 sampai abad ke-6)
Periode
ini ditandai dengan fakta bahwa daulah islamiyah telah terbagi beberapa
bagian, fitnah-fitnah bartebaran dimana-mana, kekacauan meluas
kemana-mana yang pada akhirnya berdampak signifikan pada semangat
melakukan pergerakan ilmiah.
Ruh pemikiran para ulama’ mulai surut bahkan
musnah. Taqlid menjalar bak jamur dimusim hujan dikalangan umat
islam.sehingga muncullah pertanyaan, ada apa dengan islam?. Uladan
berikut akan menjawabnya !.
-
-
pecahnya negara-negara islam dalambeberapa negara yang berlainan. Munculnya perang dan fitnah dimasing-masing negara tersebut semakun melemahkan semangat kaum muslimin untuk mempelajari dan menganalisa ilmu-ilmu maupun cabang-cabang ilmu. Terutama berkaitan dengan ilmu agama islm.
-
propaganda para pembela madzhab semakin gencar menguasi relung-relung masyarakat islam hal ini dilakukan untuk menarik perhatian kaum muslimin agar ikut madzhab imam-imamnya dan yang terpenting untuk mempertahankan eksistensi madzhab imam-imam mujtahid yang diikuti agar jangan sampai musnah. Faktanya banyak madzhab-madzhab yang kuat tapi tersingkir akibat seleksi yang sangat ketat pada saat itu.tinggallah madzhab-madzhab yang dianggap masih berkompeten dan relepan untuk diikuti.
-
Kepercayaan diri yang lemah dalam memberikan keputusan hukum. para qodhi dalam menghukumi suatu peristiwa lebih sering berpegangan pada suatu madzhab tertentu saja, sehingga terkesan kurang fleksibel. Bahkan terkesan hanya mengikuti keinginannya saja.
-
Kajian hanya terbatas pada satu madzhab saja.
-
Sedangkan berkenaan degan meluasnya taqlid merupakan konsekuensi 2 poin berikut:
-
Fanatisme berlebihan pada pendapat para imam madzhab.ironisnya, hal ini diikuti dengan pengagungan pada pendapat madzhabnya tapi menghujat madzhab lain, bahkan saling menjatuhkan satu sama lain.
-
Berlebih-lebihan dalam membuat ikhtisar kitab-kitab karya ulama’, generasi sebelumnya. Ikhtisar yang berjumlah sedikit atau sedang tentu akan sangat membantu peminat ilmu.tetapi kalau jumlah terlalu banyak serta pemahaman masing-masing penulis yang berbeda-beda dalam mengikhtisar kitab yang sama hal ini tentu sangat menyulitkan dan membutuhkan energi serta waktu yang tidak sebentar. Fenomena ini butuh kontras dengan misi ikhtisar yaitu untuk mempermudah.
-
Para ulama’ terlalu introvert (memikirkan diri sendiri), sehingga tidak gaul dengan ulama’ di segala penjuru dunia islam yang sangat luas. Sehingga manfaat ilmu mereka hanya berkisar di kalangan sendiri saja. Ilmu-ilmu agama semakin turun gengsinya dan proses kebudayaan menjadi stagnansi.
-
Putusnya hubungan dengan kityab-kitab wariosan ulama’ generasi sebelumnya. Yaitu kitab-kitab yang dikarang pada masa imam-ima mujatahid.karena pada periode taqlid, kaum muslimin lebih banyak menggunakan kitab-kitab yang disusun oleh murid-murid omam madzab yang tentunya sarat dengan furu’ yang menjadikan seseorang untuk memahaminya.
Periode ini membagi ulama’ madhab dalam liam level:
-
-
Mereka menetapkan hukum berdasarkan dasar-dasar yang ditetapkan imam madzhabnya. Meskipun begitu ada beberapa pendapat yang berbeda dengan imam madhabnya dalam sebagian kecil furu’ mereka mempunyai kapasitas untuk ijtihad langsung dari sebuah tasryi’ yang asal, tetapi mereka mengikuti metode dan dasar dari imamnya. Oleh karena itu, perbedaan pemahaman ini menimbulkan percampuran antara pendapat dirinya sendiri dengan pendapat imamnya.
-
Ahli ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada periwayatannya dalam mahdzab yang diikuti.sehingga dalam memutuskan hukum, mereka hanya beristimbat sesuai dasar-dasr imam mujtahid atau menggunakan metode qias.
-
Ahli tahkriij, mereka memberi pemahaman tentang dasar-dasar imam mujtahidnya dan sumber pengambilan hukum berdasarkan ‘illat atau mabadi’(dasar) yang dipakai imamnya. Sehingga mereka mampu menafsiri qoul-qoul yang mujmal atau masih sulit untuk difahami.
-
Ahli tarjih, mereka bisa menentukan pendapat yanga lebih unggul dari berbagai pendapat imamnya baik dari segi riwayat maupun dirayah.
-
Ahli taqlid tulen, mereka bisa membedakan riwayat-riwayat dari imamnya untuk selanjutnya dia bisa menentukan mana pendapat yang dha’if dan mana pendapat yang kuat untuk bisa dijadikan hujjah.
-
HASIL FILTRASI
-
tasri’ masa tabi’in mulai muncul istilah ahli hadist dan ahli ra’yi
-
ikhtilaf mengenahi khittah tasri’iyah periode ketiga di picu perbedaan persepsi dalam menterjemahkan sumber-sumber tasyri’, pencabutan tasyri’iyah dan pemahaman bahasa arab.
-
timbulnya masa taqlid tidak bisa dilepaskan dari adanya dikotomi negara-negara islam, propoganda para pembela mahzab kajian ilmu hanya bertumpu pada satu madzhab tertentu serta tidak adanya kepercayan diri para qodhi untuk mengambil keputusan hukum.
-
meluasnya taqlid merupakan konsekwensi adanya fanatisme madzhab yang berlebihan, terlalu membludaknya ikhtisar, ulam’-ulama’ ‘tidak gaul’ serta putusnaya hubungan dengan kitab-kitab yang pertama kali disusun imam-imam mahzab.
-
ulama’ mahzab terbagi menjadi lima kategori: ahli ijtihad dalam mahzab, ahli ijtihad dalam peristiwa yang tidak ada kesimpulan hukumnya dalam mahzab, ahli takhriij, ahli tarjiih serta ahli taqlid tulen.
Sebelum menguji lebih jauh bagaimana interaksi antara kedua pola bermazhab ini, qauli dan manhaji, dan apa relevansinya bagi upaya mengedepankan ushul fiqh sebagai “pencerahan pemikiran”, terutama dalam menangani kasus-kasus hukum agama, terlebih dahulu akan dikemukakan sejarah pembentukan dasar penalaran fiqh (yang lalu disebut ushul fiqh) sebagaimana yang dikenal dalam lingkaran Sunni, dalam arti seperti yang dikenal dalam lingkungan empat mazhab fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Kehendak untuk melakukan pembakuan cara-cara berpikir dalam fiqh lahir dalam situasi ketegangan antara pendukung hadits (naql) dan ra’y (‘aql, rasio), yakni antara pengikut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dinilai terlalu longgar berpegangan pada hadis (waktu itu kalangan Maliki menyebutnya “Sunnah”); sementara Abu Hanifah terlalu sering mengabaikan hadis demi ra’y. Misalnya sabda Rasulullah, “Penunggang kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian”, namun oleh Abu Hanifah ditolak dengan mengatakan, “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang mukmin”. Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Komentar Abu Hanifah, isy’ar adalah penganiayaan.
Kenyataan inilah yang kemudian mendorong salah seorang murid Imam Malik, Imam Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu di atas, juga menjadi pedoman dalam menarik kesimpulan hukum yang baku dari teks-teks suci agama. Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin [mengenai akar-akar kehendak untuk menyeragamkan pemikiran ini, lihat Bab 7 dalam buku ini]. Kita akan lihat sejauhmana Imam Syafi’i merumuskan dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr al-Din al-Razi dibandingkan dengan posisi Aristoteles dalam bidang filsafat [al-Razi t.t.: 100]. Kalau Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi manthiq-nya (logika), demikian pula al-Syafi’i yang dianggap berhasil merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqh-nya, seperti tertuang dalam master piece-nya, al-Risalah.
al-Risalah dimulai dengan penjelasan tentang sejumlah karekteristik bahasa yang dipakai al-Qur’an. Ada yang maknanya sudah jelas dan tidak membutuhkan penafsiran; ada yang maknanya kabur, namun dijelaskan oleh Rasulullah; ada makna yang dinyatakan secara umum, namun diperinci oleh Rasulullah; ada pula yang didiamkan oleh Allah, tapi diterangkan oleh Rasulullah, sehingga memperoleh kekuatan hukum yang sama, karena adanya perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Terakhir, ada yang diserahkan kepada kemampuan ijtihad manusia untuk mengetahuinya [al-Syafi’i 1940: 22-25].
Kekuatan al-Syafi’i terletak pada proyeknya yang mendasarkan prinsip-prinsip penalaran hukum agama pada hukum-hukum bahasa, baik segi semantik maupun gramatika maupun sintaksisnya. Dan hukum-hukum bahasa ini dirangkum olehnya dengan kata “al-bayân”; “al-bayan ism jâmi’ li ma’âni mujtami’ah al-ushûl mutasyâ’ibah al-furû’” (Bayân adalah konsep [abstrak] yang mencakup baik makna-makna dasar dan prinsip-prinsip yang bertemu sebagai satu kesatuan, maupun cabang-cabang makna yang bersifat parsial) [Ibid.: 21]. Di sini “bayân” tidak lagi terkait dengan makna literalnya yang berarti “jelas, ekplisit, terang dan fasih”, tapi telah diangkat menjadi sebuah konsep dengan arti khusus, yang terkait dengan cara-cara berbahasa, memahami bahasa dan juga menimba penalaran dari bahasa. Lalu bagaimana ia merumuskan “ushul” dan “furu’” tersebut dalam lingkungan penalaran-penalaran hukum agama yang digelutinya? Dalam soal ini, Imam al-Syafi’i mendasarkan diri sepenuhnya pada al-Qur’an, karena menurutnya “tidak ada persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama Islam kecuali ia dapatkan dalam al-Qur’an petunjuk untuk memecahkannya” [Ibid.: 20].
Imam al-Syafi’i menyebut empat tingkatan “bayan” al-Qur’an yang masing-masing disebutnya mempunyai kekuatan hukum yang sama [Ibid.:21-22]. Pertama, hal-hal yang diterangkan oleh Allah dalam al-Qur’an kepada makhluk-makhluk-Nya tanpa membutuhkan penjelasan di luar dirinya, seperti kewajiban shalat dan pengharaman khamar atau minuman keras. Kedua, hal-hal yang disebutkan oleh Allah secara umum, namun perincian dan penjelasan detilnya berada di tangan Rasul-Nya, seperti jumlah rakaat shalat. Ketiga, hal-hal yang tidak tertera dalam al-Qur’an namun diterangkan oleh Rasulullah. Keempat, hal-hal yang dibebankan oleh Allah kepada manusia untuk melakukan ijtihad ketika menemukan kasus-kasus baru namun belum memperoleh status hukumnya.
Dari sini kita bisa menemukan dua titik perhatian yang digarisbawahi oleh Imam al-Syafi’i: penalaran hukum berdasarkan pada analisa bahasa dan sistem ijtihad berdasarkan analogi atau qiyas. Dalam konteks yang pertama, kita menemukan sebagian besar pembahasan tema-tema dalam ushul fiqh mengambil titik tolaknya dari persoalan bahasa. Menurut Imam al-Syafi’i, untuk mengetahui kandungan makna al-Qur’an dan untuk menarik kesimpulan hukum darinya, diperlukan perangkat pengetahuan yang memadai tentang bahasa Arab, termasuk unsur-unsur pengungkapan kalimat. Ini berarti mengkaitkan struktur makna dengan struktur lafadz atau kata. Yakni, sebuah makna tidak akan mungkin bisa ditemukan tanpa mengkaitkannya dengan apa yagn tersurat dalam sistem bahasa yang dikenal dalam bahasa Arab. Ini selanjutnya membentuk satu konstruk pemikiran yang mengarahkan perhatiannya secara eksklusif pada teks. Dan kita pun tahu, sebagian besar kitab-kitab ushul fiqh menyediakan satu porsi tersendiri tentang metode-metode dan teknik-teknik yang berlaku dalam bahasa (asâlîb) yang menghabiskan sampai ratusan halaman. Karya Abu al-Husain al-Bashri (w.436 H), al-mu’tamad fi Ushul al-fiqh, misalnya, menghabiskan 350 halaman untuk pembahasan hukum-hukum bahasa dari jumlah keseluruhan 990 halaman dari kitab tersebut yang terdiri dari dua volume.
Ini tergambar dengan jelas dalam soal pembakuan hukum-hukum penafsiran teks-teks agama, terutama dalam masalah bentuk-bentuk dalâlah (kandungan makna suatu lafaz). Bentuk-bentuk dalâlah tersebut diuraikan secara detil oleh al-Syafi’i dalam kutipan berikut:
“…Sesungguhnya Allah mengkomunikasikan [hukum-hukum dan perintah-Nya] dalam al-Qur’an kepada bangsa Arab dengan bahasa mereka sendiri sesuai dengan yang dikandung dan dikenal dalam bahasa mereka. Di antara yang dikandung dan dikenal dalam bahasa mereka adalah keluasan cakupan bahasa tersebut. Mereka biasanya menggunakan satu lafaz yang bersifat umum (‘âm) dan eksplisit (zhâhir), dan dimaknai dalam pengertiannya yang juga bersifat umum dan eksplisit, sehingga tidak lagi memerlukan makna selainnya. Kadang juga suatu lafaz bersifat umum dan eksplisit, namun bisa juga dimaknai dalam pengertian yang lebih khusus (khash), sehingga bisa dijadikan pegangan untuk mengambil satu konklusi hukum dari sebagian arti yang dicakupinya [apakah itu khusus atau umum]. Ada juga lafaz yang bersifat umum dan eksplisit , namun dimaknai dalam pengertiannya yang bersifat khusus. Atau ada juga lafaz eksplisit dan literal namun menunjukkan makna lain dari arti ekplisit dan literalnya karena adanya konteks khusus yang menghendakinya …
Orang Arab biasa memulai satu makna dalam bahasanya dengan sesuatu yang jelas terungkap dari awal kalimat sebelum sampai ke akhir kalimat. Kadang juga mengungkap sesuatu dengan jelas bukan pada awal kalimat tapi pada akhir kalimat. Kadang juga mereka mengungkap suatu makna tanpa suatu kejelasan satu lafaz tertentu, tapi melalui sebuah isyarat. Bentuk seperti ini adalah yang tertinggi dalam bahasa mereka, dan itu hanya bisa dipahami oleh yang ahli dan bukan oleh yang awam [tentang struktur bahasa Arab]. Orang Arab juga menyebut satu makna dengan sejumlah kata atau lafaz atau sebaliknya, menyebut satu kata dengan arti yang begitu banyak dikandungnya[Ibid.:51-52].
Maka, bisa dipahami kemudian kalau persoalan istinbath dalan literatur-literatur ushul fiqh adalah persoalan yang terkait dengan teks dengan segenap tangga-tangga dalalah-nya, mulai dari makna yang mudah ditangkap hingga ke yang paling subtil, dan ini kemudian bertambah kompleks dan njelimet setelah wafatnya al-Syafi’i. Kita lihat bentuk-bentuk dalalah tersebut bukan cuma bertingkat-tingkat secara vertikal tapi juga secra horisontal bercabang-cabang, mulai dari bentuk ‘am, khash, musytarak, sharih, kinayah, hingga muhkam, mufassar, nash, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. Belum lagi bila dilihat dari sisi metodenya: ada yang berupa dalalah al-‘ibrah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nash, dalalah al-iqtidla’ hingga mafhum mukhalafah dan mafhum muwafaqah. Yang kesemuanya itu lazim ditemukan dalam teks-teks disiplin ushul fiqh. Sehingga praktis pemikiran ushul fqh, terutama yang tertuang dalam metode pengambilan keputusan hukum atau istinbath, diarahkan pada cara-cara mencermati teks-teks agama, apakah itu al-Qur’an atau hadis, pada sisi linguistik dan semantiknya. Yakni mencari-cari makna teks dengan mengamati bentuk-bentuk dalalah atau lafaz-nya, apakah itu khas, ‘am, musytarak, kinayah, sharih, mujmal, mutasyabih,…dan sebagainya. Implikasinya kemudian adalah lahirnya kecenderungan berpikir yang berorientasi dan berangkat dari lafaz ke makna, bukan dari makna ke lafaz atau kata seperti dikenal dalam sistem bahasa Eropa, seakan-akan lafaz tampak sebagai sebuah tambang makna yang menyimpan jawaban atas segenap persoalan-persoalan hukum dan persoalan-persoalan duniawi.
Dari sinilah kemudian kita bisa memahami mengapa studi ushul fiqh diorientasikan pada pengkajian tentang “wujûh dalâlah al-adillah ala al-ahkâm al-syar’iyyah” (bentuk-bentuk dalalah dari dalil-dalil yang menunjukkan hukum-hukum agama ), karena yang namanya istidlal atau istinbath hanya dimungkinkan melalui sebuah teks.
Apalagi empat sumber hukum utama atau tasyri’ (al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas atau analogi) mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari teks agama. al-Qur’an dan hadis jelas merupakan teks yang mendasarkan otoritasnya pada dirinya sendiri. Sementara ijmâ’ atau kesepakatan para ulama memperoleh dasar hukum dan otoritasnya dari teks, karena adanya ajaran dalam teks tentang keharusan berbegang kepada suara jama’ah dan juga karena adanya periwayatan teks-teks agama yang dikukuhkan melalui jalur “mutawatir” (bentuk periwayatan berita atau hadis yang melibatkan sejumlah besar pihak). Sedangkan qiyas, menganalogikan satu kasus yang belum memiliki status hukum dengan satu kasus lainnya yang sudah punya status hukum, juga memperoleh basis otoritasnya dari teks karena ia merupakan satu bentuk penalaran yang mengacu kepada apa yang disebut Imam al-Syafi’i sebagai “mitsâl sâbiq” atau contoh ideal yang sudah ada sebelumnya, yaitu teks al-Qur’an dan hadis Nabi. Maka pada tingkatan inilah, kita bertemu dengan fokus lainnya dari proyek al-bayan-nya Imam al-Syafi’i, yaitu ijtihad.
Seperti telah disinggung sebelumnya, persoalan krusial yang diahadapi al-Syafi’i adalah masalah membengkak dan makin bebasnya gerakan ijtihad di tangan kaum “rasionalis” (ahl ra’y) yang melampaui batas-batas otoritas teks-teks atau nash-nash agama. Mereka bukan hanya berasal dari latar belakang filsafat tapi juga dari latar belakang tradisi agama kuno seperti Hermetisisme dan Neo-Paltonisme sebagaimana yang diadopsi kaum bathiniyyah (esoteris) dan Syi’ah Ismaili. Mereka berupaya melampuai teks dengan mencari makna terselubung, yang tidak tersurat dalam makna harfiyahnya, dan menukik dan menyelam lebih dalam seakan-akan makna tersebut sudah keluar dari teks itu sendiri. Seperti penafsiran sebagian mereka atas teks al-Qur’an “marajal bahrain”, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud bahrain (dua laut) itu adalah Ali dan Fathimah.
Saking gerahnya dengan kebebasan penafsiran semacam ini, Imam al-Syafi’i kemudian berupaya mengatur dan mengarahkan kebebasan akal tersebut sehingga bisa terjerat dalam genggaman teks, dan tidak keluar dari pakem-pakem yang sudah ada. Dengan ini ia mengajukan seperangkat aturan-aturan yang memungkinkan kegiatan akal manusia terkait erat dengan otoritas teks, dan bukan di luar teks. Minimal menjadikan teks sebagai acuan utamanya, sebagai tempat sandarannya, dan juga tempatnya untuk kembali, seperti halnya yang kita lihat dalam kasus istinbath dari lafaz dan bahasa. Baginya, ”Ijtihad selamanya tidak akan mungkin tanpa didasarkan pada keharusan mencari sesuatu. Dan yang namanya mencari sesuatu itu hanya dimungkinkan kalau disertai dengan sejumlah petunjuk. Nah, petunjuk-petunjuk itu disebut qiyas” [Ibid.: 505].
Singkatnya, seperti ditegaskan sendiri olehnya, ijtihad itu hanyalah berupa qiyas, tiada yang lain (al-ijtihad al-qiyas) [Ibid.: 477]. Dalam konteks ini tidak akan diungkap analisa Nashr Hamid Abu Zaid yang menyebut teori Imam Syafi’I ini sebagai dukungan terhadap kaum “literalis” (ahl hadits) untuk mempersempit ruang gerak kaum ahl ra’y, yang kemudian dari sana memperpanjang gurita sakralisasi agama terhadap urusan-urusan duniawi [Abu Zaid 1996]. Yang relevan di sini adalah konsekuensi apakah yang akan ditimbulkan oleh cara-cara berpikir seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Syafi’i tentang qiyas ini dalam konteks pemikiran ushul fiqh.
Pertama-tama adalah persoalan jangkauan teks agama yang diperlebar dan diperluas oleh teori tentang qiyas ini. Sebelum al-Syafi’i, ada satu keyakinan di kalangan tokoh-tokoh ulama di saat itu bahwa jangkauan teks agama sangatlah terbatas, dan tidak banyak memberikan jawaban tuntas terhadap kasus-kasus hukum yang baru. Bahkan ada hadis Nabi, yang dikutip sebagai dukungan terhadap pendapat ini, yang mengatakan “antum a’lamu bi umûri dunyâkum” (kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian). Sehingga, tidak heran kemudian kalau kebanyakan pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menerapakan metode istihsân dan mashâlih mursalah (prinsip menganggap baik dan bermanfaat dan prinsip kemaslahatan bebas tanpa ikatan dengan teks) 1 untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh nash-nash atau teks-teks agama.
Kemudian, setelah kemunculan al-Risalah, al-Syafi’i dengan tegas menolak cara-cara berpikir demikian. Menurutnya, seperti dikutip di atas, “tidak ada persoalan yang ditemui oleh seorang penganut agama Islam kecuali dalam al-Qur’an terdapat petunjuk untuk memacahkannya”. Dan itu berarti, ijtihad harus didasarkan pada adanya satu model yang muncul terlebih dahulu (ala mitsâl sâbiq) [al-Syafi’i 1940: 25], dan itu berupa teks-teks otoritatif agama, al-Qur’an dan hadis. Dan hal ini tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk berpikir semacam istihsan dan mashalih mursalah, karena model berpikir demikian lebih banyak mengandalkan pikiran manusia tanpa ada dasarnya dalam al-Qur’an maupun sunnah atau hadis. Seperti dikatakannya: “Qiyas merupakan satu bentuk penalaran yang mencari petunjuk-petunjuk berdasarkan pada teks-teks (khabar) sebelumnya, yang berupa al-Qur’an maupun sunnah, karena keduanya ini adalah rambu-rambu kebenaran yang mengharuskan kepada kita untuk menemukannya, seperti halnya yang berlaku dalam kasus menghadap ke kiblat dalam shalat …” [Ibid.:40].
Sebagai catatan, al-Syafi’i sering mengangkat kasus menghadap ke kiblat sebagai pendasaran argumen validitas qiyas saebagai salah satu sumber hukum agama. Menurutnya, bila kita tidak melihat langsung Ka’bah di Mekkah karena tempat yang jauh, seperti di Indonesia, maka kita diharuskan bersungguh-sungguh mengamati kemana arah kiblat meski kita tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dan upaya sungguh-sungguh itu bisa berupa mencari kompas, mencocokkan dengan arah mata angin, dengan arah terbit dan terbenamnya, atau dengan bertanya kepada orang-orang yang tahu dan pernah ke melihat langsung Ka’bah. Jadi, qiyas pun juga merupakan upaya sungguh-sungguh – dengan cara apapun asal tidak keluar dari arah yang dituju – untuk mengarahkan status hukum dari satu kasus baru kepada asalnya, yaitu al-Qur’an dan hadis, meski kasus baru tersebut tidak dimuat secara eksplisit dalam kedua sumber utama hukum tersebut.
Bila demikian, apakah qiyas itu sama saja dengan ittibâ’ (mengikuti sebuah contoh) Bisa jadi. Karena, sebagaimana halnya dalam bidang gramatika bahasa Arab (nahw) dimana qiyas berarti iqtida’ dan ittiba’ seperti dikatakan Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Iqtirâh fi ‘Ilm Ushul al-Nahw [lihat al-Jabiri 1992c: 137-173], qiyas dalam ushul fiqh juga berarti ittiba’. Ketika ditanyakan apakah boleh ber-istihsan tanpa melalui mekanisme qiyas, Imam al-Syafi’i menjawab tegas bahwa hal itu tidak diperkenankan, karena seseorang diharuskan ittiba’ dalam perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh teks, dan ittiba’ itu berupa menerapkan mekanisme qiyas [1940: 504]. Singkatnya, “tidak diperkenankan seseorang untuk menghukumi sesuatu haram atau halal tanpa melalui jalur ilmu , dan jalur ilmu tersebut tiada lain adalah teks al-Qur’an dan sunnah, atau ijma’, atau qiyas” [Ibid.:39]. Kalimat inilah yang sering dikutip di belakang hari bukan hanya oleh para pengikut mazdhab al-Syafi’i, tapi juga pengikut mazdhab fiqh lainnya, dan kemudian menjadi aturan normatif bagi kerja-kerja istinbath dan penalaran ushul fiqh di lingkungan tradisi empat mazhab fiqh.
Konsekuensi berikutnya yang perlu digarisbawahi dari pendasaran aturan-aturan normatif tersebut adalah menguatnya pola berpikir ortodoksi yang menjadikan masa lalu yang ideal sebagai rujukan yang tidak pernah kering mata airnya. Ini juga dimungkinkan karena al-Syafi’i sendiri menyatakan bahwa sebagai mekanisme qiyas seseorang harus mengetahui “tradisi masa lalu, tradisi masyarakat salaf, termasuk kesepakatan-kesepakatan (ijma’) dan perbedaan-perbedaan pendapat mereka, dan juga harus menguasai bahasa Arab” [Ibid.: 510]. Dari sini kemudian kita lihat bahwa dasar-dasar penalaran yang dibangun al-Syafi’i bukan cuma ditujukan untuk mengatur pola hubungan yang serasi dan penuh damai antara kubu, yakni ahl ra’yu dan ahl hadits , tapi juga lebih dari itu, ditujukan untuk mengabsahkan cara berpikir yang senantiasa merujuk dan kembali kepada masa lalu dan kepada teks sebagai otoritas tertinggi. Proyek al-Syafi’i ini disebut Muhammad Abed al-Jabiry sebagai “al-tasyri’ lil ‘aql” [1998b], yang dikatakannya membatasi ruang gerak penalaran manusia pada wilyah teks semata, sehingga mengabaikan dimensi-dimensi yang sifatnya politically contested, historically unfinished yang terangkum dalam konsep “kemashlahatan umat manusia” (mashlahah).
Lalu, bukankah dalam mazhab al-Syafi’i juga ada pembahasan tentang mashlahah, bahkan juga ada perhatian tentang prinsip lima hak dasar atau al-kulliyah al-khams seperti kita lihat dalam al-Mustashfâ-nya al-Ghazali? Benar, tapi itu hanya dimungkinkan dalam kerangka empat sumber hukum yang telah dikukuhkan tersebut, dan tidak mungkin mengambil satu posisi tertentu sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar dari empat sumber itu. Dengan demikian, bentuk pemikiran apapun tentang mashlahah bila berada di luar dari “jangkauan” nash atau teks agama, dalam arti tidak ditemukan di sana dasarnya atau dalalah-nya dalam bahasa al-Syafi’i, jelas akan ditolak. Tidak mengherankan kemudian kalau misalnya salah satu keputusan Muktamar NU di Cipasung 1994 tentang kemaslahatan menyebutkan bahwa mashlahah ‘ammah (atau public good) tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis, ijma’ dan qiyas [lihat bab 2 dalam buku ini]. Maka apa yang dikatakan dengan al-kulliyah al-khams pada akhirnya dibatasi menjadi persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah (kerusakan), seperti yang kita lihat dalam al-Mustashfa-nya al-Ghazali:
“Bahwa tujuan syari’at agama bagi umat manusia adal lima hal, yaitu memelihara (menjamin dan melindungi) agama (din), dirinya (nafs), akalnya (aql), keturunannya (nasl) dan harta bendanya (mal). Maka semua yang mencakup jaminan perlindungan kelima hal pokok tersebut dikategorikan sebagai mashlahah dan semua yang mengancam keselamatan atau merugikan kelima pokok itu dikategorikan mafsadah, dan upaya menghindarkannya adalah mashlahah” [al-Ghazali t.t. vol. I: 287].
Persoalan mashlahah (kemaslahatan dan kebaikan) dan mafsadah ini malah dikukuhkan dalam disiplin qawaid fiqhiyyah (legal maxims, hukum-hukum fiqh) misalnya dalam qaidah al-dlarar yuzâl (kemudaratan dihindarkan), dar’ul mafâsid muqaddamun ala jalb al-mashâlih (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada menarik manfaat), atau qaidah la dlarar wa la dlirâr (tidak boleh ada kerusakan dan juga tidak boleh menimbulkan kerusakan kepada orang lain).
Masalah qawaid fiqhiyyah ini perlu disinggung di sini. Karena dalam lingkungan mazdhab al-Syafi’i, terutama yang dianut kalangan NU di Tanah Air, di samping disiplin ushul fiqh, qawaid fiqhiyyah menduduki posisi yang penting dalam proses istinbath, termasuk dalam konteks pemikiran Islam dalam lingkup yang lebih luas. Salah seorang tokoh mazhab Syafi’i, Jalaluddin al-Suyuthi, dalam bukunya al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, yang merupakan rujukan utama dalam qawaid fiqhiyyah, manyatakan bahwa “al-fiqh ma’rifah al-nazha’ir” (pemikiran fiqh adalah pemikiran tentang kasus-kasus yang disepadankan satu sama lain) [al-Suyuthi t.t.: 5]. Apa yang dimaksud dengan nazhâ’ir atau kasus-kasus yang disepadankan satu sama lain itu tidak lain adalah bagian mekanisme qiyas itu sendiri, atau seperti dikatakan al-Suyuti “liyuqâs alaihâ ma laisa bi manqûl” (untuk mengqiyaskan kasus-ksus yang tidak dinyatakan dalam teks agama dengan qaidah-qaidah tersebut) [Ibid.]. Sehingga, dalam konteks disiplin semacam ini, qaidah-qaidah fiqh telah beralih menjadi suatu asal, menjadi teks primer, di samping al-Qur’an dan hadis, yang memungkinkan diberlakukannya mekanisme qiyas terhadapnya. Bukankah qaidah-qaidah tersebut sebagian merupakan teks hadis dan sebagian lagi menimba maknanya dari al-Qur’an? Singkatnya, pemikiran tentang mashlahah yang dibakukan dalam qawâid fiqhiyyah pada akhirnya bermuara menjadi pembakuan-pembakuan cara-cara berpikir yang kembali kepada teks, dan pada gilirannya juga tetap merrupakan bagian dari ortodoksi yang tertutup.
Ushul Fiqh Sebagai Rasionalisme “Non-Teks”
Dengan demikian, perbincangan tentang kemaslahatan umat manusia dalam pemikiran ushul fiqh haruslah beranjak dari kritik terhadap qiyas. Karena dalam qiyas inilah pemikiran manusia dikekang dan dibelenggu sehingga tidak memungkinkan dirinya berpikir tentang sesuatu yang berada di luar teks, dan itu artinya, tentang sesuatu yang berada di luar garis ortodoksi. Kalau kita mau misalnya berbicara tentang demokrasi, hak asasi manusia, atau sosialisme, maka pertama-tama orang akan bertanya: mana rujukannya, mana teksnya? Kalau tidak ada teksnya, ya percuma bicara tentang perjuangan membela kelompok-kelompok terpinggirkan, tentang sebuah empowering, dan tentang “rahmatan lil-âlamin”, dan juga tentang kritik kemapanan ortodoksi. Demi tirani teks!
Maka, kita akan lihat kemudian satu bentuk lain, sebuah perlawanan, dari pemikiran ushul fiqh di luar yang telah digariskan dan dibakukan oleh Imam Syafi’i namun posisinya hingga kini tetap marjinal. Ini kita temukan dalam pemikiran tokoh-tokoh fiqh Andalusia [kini Spanyol], mulai dari Ibn Hazm, Ibn Rusyd hingga al-Syathibi, yang sama-sama bergerak pada level ta’shîl al-ushûl, yakni mengajukan alternatif pendekatan metodologis yang baru terhadap metodologi lama. Sebutan ta’shil al-ushul dipakai al-Syathibi untuk proyek pemikiran ushul fiqh alternatifnya sebagaimana tertuang dalam al-Muwâfaqah-nya [al-Syathibi t.t. vol. I: h. 99]. Di sini sengaja tidak diangkat pemikiran Najm al-Din al-Thufi tentang mashlahah yang ditempatkan sejajar dengan posisi al-Qur’an dan Sunnah, bahkan melampaui keduanya. Hal ini sebagian karena ide-ide al-Thufi tersebut tidak ditujukan sebagai ta’shil al-ushûl untuk merombak metodologi dan cara-cara berpikir lama dengan mengangkat satu sistem berpikir baru yang lebih sepadan dengan semangat “radikalisme” mashlahah-nya itu.
Harus diakui, Ibn Hazm, Ibn Rusyd, dan al-Syathibi semuanya lahir di wilayah Andalusia yang telah mengenal tradisi rasionalisme Aristotelian (sebutan Arab klasiknya, burhâni). Pertama-tama, Ibn Hazm (384-456 H) mengangkat tema rasionalisme dalam Syariat dengan mengukuhkan “hujaj al-‘uqûl” (argumen-argumen akal), dan sekaligus menjadikannya sebagai rujukan [1980 vol. I: 27]. Berbeda dengan pandangan dominan selama ini yang mengidentikkan dirinya sebagai seorang literalis atau tekstualis (zhâhiri), Ibn Hazm tampak menampilkan dirinya sebagai seorang yang sama-sama mengakui kekuatan akal dan wahyu dalam porsinya masing-masing. Menurutnya, wilayah jangkauan wahyu terbatas pada apa yang telah dijelaskan secara lengkap oleh agama beserta segenap hukum-hukumnya. Sehingga dalam pikiran Ibn Hazm, tidak mungkin lagi kita membutuhkan qiyas dalam konteks hukum-hukum agama karena Tuhan sendiri telah mengatakan “alyaumu akmaltu lakum dinakum” dan “ma farrathna fil-kitab min say’i” (tiada satu pun yang kami tinggalkan untuk kami jelaskan dalam al-Qur’an). Sementara wilayah akal justru porsinya lebih luas, karena urusan duniawi merupakan urusan manusia demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Argumentasinya, hadis Nabi “antum a’lamu bi umur dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia kalian), dan juga prinsip “al-ashl fil al-asyya’ al-ibahah” hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh). Maka, otoritas untuk mengetahui urusan duniawi tersebut dibebankan kepada akal manusia [Ibid. vol VII: hal. 2].
Paradigma pemikiran semacam inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “literalisme”, karena lebih mengandalkan pola pemahaman terhadap teks-teks agama, bukan urusan duniawi, dalam makna dan konteks literalnya, tanpa menukik lebih jauh ke dalam penakwilan-penakwilan yang menyesatkan. Ia mengatakan: “Tidak dibenarkan memalingkan satu kata atau lafaz yang sudah dikenal maknanya dalam bahasa dari maknanya yang asli dalam bahasa tersebut, yang dengannnya Tuhan menyampaikan pesan-pesannya dalam al-Qur’an, ke satu makna yang bukan miliknya, kecuali kalau itu didukung oleh satu teks dalam al-Qur’an atau dalam Rasulullah SAW, atau ijma’ semua ulama, atau memang dibenarkan oleh persepsi inderawi dan akal manusia. Maka, atas dasar unsur-unsur pendukung semacam itulah dibenarkan terjadinya takwil” [Ibn Hazm t.t. vol. III: 50].
Pertanyaannya kemudian, bagaimana akal tersebut memainkan fungsinya menyangkut perkara-perkara yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan literal oleh teks-teks agama? Dalam soal ini, Ibn Hazm menyatakan perlunya mengadopsi pendekatan logika Aristoteles, termasuk premis-premis dan middle term-nya (al-had al-awsath), dan menerapkannya dalam persoalan-persoalan hukum agama [Ibid. vol. II: 95]. Bagaimana itu diterapkan?
Pertama, hal itu mengharuskan dirinya untuk mengkritik qiyas yang menurutnya menyalahi prinsip hakekat sesuatu, karena membenarkan persamaan antara dua hal yang berbeda spesiesnya (naw’). Qiyas baginya harus dibenarkan selama penganalogian dan pengidentifikasian tersebut berlangsung pada tataran spesies yang sama pula. Seperti dalam kasus pengharaman Nabi terhadap jual beli barter di antara biji gandum yang nilainya tidak sama. Dalam kasus ini, tidak dibenarkan mengqiyaskan satu batang kayu yang kuat dan besar dengan biji gandum tersebut dalam status pengharamannya, karena ada perbedaaan dalam spesiesnya. Kecuali kalau ada teks lainnya yang menyebutkan demikian secara eksplisit [1980 vol. VII: 185-186]. Kalau qiyas dibenarkan, kata Ibn Hazm, tanpa mempertimbangkan hakikat genus (jins) dan spesies sesuatu, maka kita bisa saja terperangkap pada cara-cara berpikir yang mempersamakan hukum memakan daging kambing dan daging babi, karena adanya kesamaan di antara keduanya dari segi fisik misalnya. Misalnya sama-sama berkaki empat, mamalia, dan hewan menyusui. Tapi, kambing halal dan babi haram, justru karena adanya teks yang menyatakan mengharamkan yang ini, dan menghalalkan yang itu [Ibid.:191-194]. Singkatnya Ibn Hazm mengkritik qiyas dari perspektif Aristotelian yang memandang sesuatu dari genus dan spesiesnya, dan juga dari sisi hukum kausalitasnya, dan bukan dari perspektif atomisme (jauhr fard) model Asy’ariyah yang memungkinkan qiyas berlaku tanpa kontrol, tanpa mempertimbangkan hukum sebab-akibat [tentang hukum kausalitas, lihat Ibid. vol. VIII: 99].
Namun demikian dalam soal ini, Ibn Hazm hanya menekankan pada “literalisme” teks-teks agama tanpa mengarahkannya kepada sebuah konsep universal tentang “mashlahah” dan “maqâshid syar’iyyah”. Maka, tugas rasionalisme dalam konteks literalisme dan mashlahah di atas kemudian dielaborasi secara lebih matang oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H). Tapi sebelum al-Syathibi sudah muncul Ibn Ruyd (520-595 H) yang bukan hanya dikenal sebagai filsuf, tapi juga peletak dasar cara-cara berpikir yang rasional dalam bidang ushul, baik ushul al-din maupun ushul al-fiqh. Dalam bukunya al-Kasyf ’an Manahij al-Adillah, Ibn Rusyd telah menekankan perlunya memahami teks-teks agama pada makna literalnya dalam konteks memahami maqasid-nya [1968: 41]. Literalisme semacam ini merupakan perpanjangan dari paradigma zhahiriyyah Ibn Hazm, sementara yang kedua merupakan tema yang dikembangkan kemudian oleh al-Syathibi. Kita akan kupas bagaimana yang terakhir ini merumuskan maqasid syar’iyyah tersebut dalam bingkai mashlahah-nya.
Seperti halnya Ibn Hazm dan Ibn Ruyd, al-Syathibi juga menganut paradigma Aristotelianisme. Ia misalnya mengajukan konsep “al-kulliyyâh” (universalisme) dalam syariah yang diperoleh dari pengamatan secara induktif atas segenap detil-detil hukum syariah, yang kemudian bersifat qath’iy dan meyakikan [al-Syathibi t.t. vol. I: 77-78]. Ada tiga prinsip yang membuat kulliyah syar’iyah bersifat qath’iy dalam pandangan al-Syathibi. Pertama, prinsip universal dan keumuman syariah, yang mencakup semua mukallaf (subyek hukum) tanpa mengkhususkan diri pada waktu dan tempat tertentu. Kedua, prinsip ketetapan (tsubût) dan ketidakberubahan syariah, karena hukum-hukum syariah bersifat demikian, yang wajib misalnya tetap dalam keadaannya sebagai sesuatu yang wajib, yang haram tetapa haram, demikian pula yang berupa hukum-hukum syarat. Ketiga, prinsip legalitas (qânûniyah), yakni bahwa disiplin keilmuan ini bersifat mengatur, karena hukum-hukum syariah yang berupa perintah dan larangan adalah sesuatu yang superior dan tidak ada yang mengatasinya.
Hal semacam ini berbeda misalnya dengan Ibn Taymiyah yang menafikan konsep “al-kulliyah” karena dianggapnya tidak berwujud di alam kenyataan, tapi hanya di alam pikiran. Sehingga ia disebut-sebut sebagai peletak dasar “empirisme” dalam Islam. Padahal ketika mengkritik “al-kulliyah” itu, Ibn Taymiyah sedang berada dalam posisi mempertahankan dan menyelamatkan qiyas yang dikenal dengan orientasi probabilitas (zhan) dan partikularitasnya (juz’iy). Sementara posisi al-Syathibi bukanlah mempertahankan hukum-hukum dan mekanisme qiyas, tapi dalam konteks mempertahankan sifat kepastian dan ketidakraguan (qath’iy) syariah berdasarkan hukum-hukum akal. Maka yang termasuk dalam konteks al kulliyah yang disebutnya qath’iy itu adalah konsep maqasid syar’iyyah-nya (tujuan-tujuan kemaslahatan syariat) yang diidentikkan dengan konsep final causa-nya Aristoteles, dan itu artinya ditempatkan sebagaimana layaknya posisi hukum kausalitas. Sedangkan Ibn Taymiyah malah menempatkan maqasid syar’iyyah sebagai subordinat dari qiyas, dan tidak melihatnya sebagai sumber hukum yang pasti.
al-Syathibi menjelaskan adanya empat bentuk maqasid sebagai berikut:
Pertama , bahwa syariah agama diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan ini terbagi tiga: dlarûriyah (yang bersifat emergency, mencakup kemaslahatan akal, jiwa, harta, keturunan dan agama), hâjiyah (yang bersifat sekunder, seperti kebutuhan sandang dan papan), dan tahsîniyah (yang bersifat tersier dan pelengkap, seperti kebutuhan bersenang-senang dan rekreasi) [Ibid. vol II: 8]. Mazhab Syafi’i terutama sejak al-Ghazali juga menekankan prinsip ini. Cuma bedanya, yang terakhir ini membicarakan prinsip mashlahah dan al-kulliyah al-khams itu dalam kerangka dasar-dasar dan sumber-sumber hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Sehingga, tidak dimungkinkan untuk melampaui keempat sumber hukum tersebut demi kepentingan mashlahah yang dikatakan tidak punya dasar sama sekali. Apalagi mereka berbicara tentang mashlahah dalam konteks yang menafikan istihsân dan mashalih mursalah (kemaslahatan yang tidak punya dasar dalam teks agama).
Kedua , bahwa syariah agama diturunkan agar dipahami oleh umat manusia. Prinsip ini menekankan semangat kontekstualitas dan historisitas dari maqasid sehingga tetap aktual dan relevan sepanjang masa dan di setiap tempat. al-Syathibi misalnya menekankan bahwa syariat agama diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam lingkungan sosial masyarakat Arab, sehingga untuk memahaminya diperlukan pengetahuan tentang apa yang dikenal dan diketahui masyarakat Arab dalam lingkungan bahasa dan kehidupan mereka [Ibid. vol. II: 69-82]. Namun, dalam kerangka seperti ini, al-Syathibi tidaklah terjebak pada bentuk-bentuk penalaran yang – seperti sering kita temukan saat ini – misalnya membaca bahwa penemuan sains atau demokrasi sudah ada dalam al-Qur’an. Ia justru menguraikan batas-batas linguistik dan historis ayat-ayat al-Qur’an, dalam setting sosial tertentu, untuk menghindari pemaknaan dan pembacaan yang membengkakkan ayat-ayat tersebut di luar dari “makna historis”-nya Tentu saja, keseluruhan investigasi metodologis yang dilakukan al-Syathibi ini membutuhkan basis kajian sejarah yang begitu kuat, dan konsep “asbâb al-nuzûl” (sebab-sebab turunnya ayat) merupakan modal baginya.
Ketiga , bentuk ketiga dari maqasid syar’iyyah adalah taklif, yakni bahwa pembebanan kewajiban agama kepada umat manusia harus berada dalam kerangka kemampuan dan keterbatasan umat manusia, karena Allah tidak akan membebani seseorang melebihi dari batas kemampuan dan kesanggupannya untuk memikul beban tersebut [Ibid, vol.II, hal. 107-111]. Singkatnya, menurutnya, “syariah agama diturunkan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia secara mutlak dan menyeluruh” [Ibid, vol. II, h. 323].
Keempat , maqasid berikutnya adalah melepaskan umat manusia dari kungkungan hawa nafsunya, sehingga menjadi hamba Allah secara merdeka, setelah menjadi hamba Allah secara terpaksa [168-170].
Penerapan Maqâshid Syari’ah, Bukan Penerapan Syariat
Dengan demikian, dalam konteks pengajuan mashlahah sebagai tema mendasar dari hukum-hukum agama sebagaimana dirumuskan oleh al-Syathibi, kita tidak lagi berhadapan dengan upaya mencari-cari pendasaran hukum dari dalam teks, seperti yang lazim berlaku dalam konteks qiyas. Tepatnya, ia anti gerakan tekstualisasi, dan juga sebagai konsekuensinya anti gerakan sakralisasi. Kalau kita misalnya berbicara tentang hak asasi manusia, tentang pluralisme dan demokrasi, maka kita berpedoman kepada maqâshid syar’iyyah yang memang ditujukan untuk mengedepankan kepentingan umat manusia secara mutlak dan menyeluruh, tanpa mempertimbangkan perkara perbedaan agama, suku, ideologi dan kelompok. Dalam konteks seperti itu pula, kita tidak mungkin lagi terpaku dan terbelenggu oleh teks, apalagi oleh “mitsâl sabiq”, menghabiskan umur untuk mencar ‘illat atau sebab-sebab munculnya hukum sebagai dasar berlakunya qiyas, atau terhegemoni oleh otoritas masa lalu, atau mengotak-atik teks-teks qawaid fiqhiyyah. Pegangannya, singkatnya, adalah kepentingan umat manusia.
Lalu bagaimana dengan soal penerapan syariat Islam yang kini sedang marak diangkat lagi di Tanah Air? Kalau yang dimaksud dengan syariat Islam adalah seperti yang diberlakukan dalam rumusan al-Syafi’i, dalam kerangkeng hukum-hukum qiyas, maka kita diajak masuk dalam lingkaran teks-teks agama secara harfiyah dan partikular, terlepas dari setting kulliyyah dan maqashid al-syari’ah yang merupakan semangat dasar terbentuknya syariah. Kalau sebuah teks mengatakan harus ada hukum potong tangan untuk kasus kriminal pencurian, maka – mengikuti rumusan al-Syathibi – yang diberlakukan bukan makna literal atau harfiyahnya, tapi semangat dasar yang mengantarkan kepada jenis penghukuman semacam itu. Misalnya untuk membuat jera pelaku kriminal, untuk bisa memperbaiki kembali perilakunya tersebut, dan juga menjaga kepentingan menjaga al-kulliyyah al-khams, yang salah satu unsurnya adalah menjaga harta benda. Dan semangat inilah yang disebut al-Syathibi sebagai prinsip “ketetapan (tsubût) dan ketidakberubahan syariah”.
Demikian pula halnya kalau kita berbicara tentang persoalan-persoalan sosial-politik. Misalnya, apakah sistem politik demokrasi itu relevan dengan syariah atau tidak. Yang dilakukan kemudian bukan mengutak-atik ayat-ayat al-Qur’an atau hadis, mencari-cari apakah ada demokrasi dalam Islam atau tidak, tapi justru mengakomodasi persoalan tersebut dalam konsep maqâshid syari’ah dan “mashlahah. Maka, kalau demokrasi tidak bertentangan dengan prinsip syariat “kepentingan kemaslahatan umat manusia”, hal itu bisa diterima. Dan kita tahu bahwa demokrasi di antaranya menjamin kebebasan warga menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa tekanan dan paksaan, dan menjamin hak-hak sosial individu untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang layak. Dan syariat juga diturunkan untuk menjamin kemaslahatan hak-hak tersebut.
Sementara apa yang dikenal dengan “syariat Islam” hanya terbatas pada teks-teks agama yang sifatnya ubudiyah (ritual-ritual keagamaan), seperti shalat, puasa dan haji. Dan ini tidak membuka peluang untuk ditafsirkan macam-macam; tepatnya harus terikat secara tekstual dan harfiyah. Tapi teks-teks agama yang sifatnya mu’amalah (berkaitan dengan persoalan hubungan manusia antar sesamanya), maka hal itu membuka peluang ijtihad, terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan uamt amnsuia yang berubah-ubah, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip kullliyyah syariat, yakni prinsip “kepentingan kemaslahatan umat manusia” (public good), dan bukan sekadar demi kepentingan umat Islam secara partikular atau kelompok-kelompok Islam tertentu. Pendek kata, hal-hal semacam itu semua diakomodasi dalam konsep maqâshid syari’ah yang bersifat universal.
Konsep “maqâshid” dan “mashlahah” semacam ini jelas berbeda dengan konsep “mashlahah” atau “istishlâh” seperti dikenal dalam lingkungan Sunni dengan keempat mazhab fiqhnya. Mereka tidak mengenal konsep “al-kulliy” yang lahir dari metode “istiqra’”, tidak mengenal kajian historis sebagai basis epistemologi dan juga tidak mengenal taradisi rasionalisme seperti yang dikenal masyarakat Islam di Andalusia. Sebaliknya yang mereka kenal hanyalah metode qiyas yang menghinggapi segenap pemikiran fiqh maupun ushul fiqh, sehingga konsep mashlahah tidak lebih hanya merupakan kreasi dari konsep qiyas tersebut, dan bukan sebagai dasar epistemologis yang melampaui qiyas. Makanya, kita kenal di kalangan mereka, seperti al-Ghazali, satu mekanisme yang disebut ta’lîl al-ahkam, istinbath al-‘ilal atau illah munasibah yang semuanya dipakai untuk menunjukkan adanya mashlahah tersebut. Model “mashlahah” semacam inilah yang kemudian dirumuskan oleh kalangan NU dalam Muktamarnya di Cipasung 1994 lalu, dengan mengadopsi konsep “mashlahah”-nya al-Ghazali dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushul. Lihat hasil-hasil keputusan Muktamar NU ke-29, 1-5 Desember 1994, di Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat [1996], khususnya yang menyangkut keputuisan tentang “mashlahah ‘ammah” atau kepentingan umum.
Nah, itu berarti kita perlu perubahan metodologi, dari pola dan cara-cara berpikir seperti yang dibakukan Imam al-Syafi’i ke metodologi dan cara-cara berpikir seperti yang dirumuskan oleh Ibn Hazm, Ibn Rusyd dan al-Syathibi. Itulah tajdid sebagaimana di isyaratkan oleh Abdurrahman Wahid dalam kutipan di atas : “Kalau begitu, sebenarnya kita bisa mengambil dua pola : tajdid dalam arti mengubah metodologi berpikir, yaitu satu model tajdid yang lebih tuntas, dan satu lagi tajdid dalam kerangka atau metodologi berpikir yang sudah ada”. Cuma sayangnya, nama al-Syathibi di lingkungan umat Islan di Indonesia, terutama dari kalangan tradisionalis, tidak begitu bagus sejak KH Sirajuddin Abbas menyebut al-Syatibi berada di luar lingkungan Ahlussunnah wal jama’ah [KH. Sirajuddin Abbas 1985: 195] Padahal al-Syathibi adalah penganut mazhab Maliki dan merupakan pewaris dari tradisi mashlahah mursalah Imam Malik, meski dalam bingkai rasionalisme Aristoteles seperti dipaparkan di atas.
Pada akhirnya, dari sini kemudian kita bisa berbicara tentang ushul fiqh sebagai pencerahan pemikiran, yang terbuka dengan dinamika sejarah, demi kepentingan umat manusia secara universal, dan bukan sekadar arena kutip-mengutip dari teks yang bersifat konsumtif yang cuma “berpegangan pada pendapat-pendapat ulama salaf”, dan akhirnya diperalat demi kepentingan eksklusif umat Islam atau malah kelompok Islam tertentu.
*Makalah ini disampaikan dalam Kajian Ushul Fiqh Progresif the WAHID Institute Jakarta, 17 Juni 2005.
**Ahmad Baso adalah alumni LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan- Islam dan Arab)
***
Menurut
‘Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Badan
Riset Islam) Universitas al-Azhar, Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman
Tabi’in adalah ijtihad mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan
pendapat seorang mujtahid yang terlebih dahulu, dan yang secara
langsung diarahkan membahas, meneliti dan memahami yang benar. Ikatan
hanya terjadi jika ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat Nabi, yang
diduga bersandar kepada Sunnah yang karena beberapa sebab Sunnah itu
tidak muncul sebelumnya, kemudian pada zaman Tabi’in itu, lebih-lebih
zaman Tabi’in al-Tabi’in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul.
Misalnya, perubahan situasi politik, dengan perpindahan kekuasaan dari
kaum Umawi ke kaum ‘Abbasi, telah membawa perubahan penting dalam sikap
keagamaan. Meskipun sesungguhnya kaum ‘Abbasi akhirnya banyak meneruskan
wawasan hukum keagamaan kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah (yang sebagaimana telah disinggung, berkenaan dengan hukum,
banyak berorientasi kepada preseden-preseden para khalifah Madinah,
khususnya Umar), kaum ‘Abbasi lebih banyak dan lebih tulus perhatian
mereka kepada masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi.
Sikap berpegang
kepada syari’ah ini bagi kaum ‘Abbasi berarti pengukuhan legitimasi
politik dan kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan kaum Umawi,
dan dihadapkan kepada oposisi kaum Syi’ah dan Khawarij). Tapi disamping
itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi
perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya memberi peluang lebih
baik pada para sarjana untuk menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan
riwayat dan Hadits. Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai tumbuh sejak jaman ‘Umar ibn
‘Abd-al’Aziz menjelang akhir kekuasaan Umawi. Kini usaha ini memperoleh
dorongan baru, dan merangsang tumbuhnya berbagai aliran pemikiran
keagamaan, baik yang bersangkutan dengan bidang politik, teologi dan
hukum, maupun yang lain. 5
Semua kegiatan itu
juga terpengaruh kenyataan sosial-politik, berupa semakin beragamnya
latar belakang etnis, kultural dan geografis anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria, Mesir, Persi, dan
sebagainya) yang masuk Islam.6 Maka zaman itu kita
menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesarjanaan dengan bidang kajian ilmu
yang lebih terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum Islam atau
fiqh. Merekalah para pendahulu imam-imam madzhab, bahkan guru-guru para
calon imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat
penting diperhatikan ialah adanya kaitan suatu aliran pikiran (yakni,
madzhab, school of thought) dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua
aliran pokok: Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya, dan dalam diri
masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa yang cukup berarti, dan
cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu tercermin dalam ketokohan
sarjana atau ‘ulama’ yang mendominasi suasana intelektual suatu tempat,
seperti dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.
Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:
-
Sa’id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun kekhalifahan ‘Umar, dan sempat belajar dari para pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasidengannya. Wafat pada 94 H.
-
‘Urwah ibn al-Zubayr ibn al-’Awwam. Lahir dimasakekhalifahan ‘Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah, istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
-
Abu Bakr ibn ‘Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyamal-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan ‘Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari “pendeta Quraysy” (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H.
-
‘Ali ibn al-Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi. Dia adalah imam keempat kaum Syi’ah Imamiyyah, dan dikenal dengan Zayn al-’Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari pamannya, al-Hasan ibn ‘Ali, ‘Aisyah, ibn ‘Abbas, dan lain-lain. Ia terkenal sangat ‘alim (terpelajar), tapi tidak banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.
-
‘Ubayd-Allah ibn ‘Abd-Allah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud. Belajar dari ‘Aisyah, Abu Hurayrah, Ibn ‘Abbas, dan lain-lain. Selain kepemimpinannya dalam fiqh dan Hadits, ia juga terkenal sebagai penyair, dia adalah guru Khalifah’Umar ibn ‘Abd al-’Aziz. Wafat pada 98 H.
-
Salim ibn ‘Abd-Allah ibn ‘Umar. Belajar dari ayahnya sendiri, juga dari A’isyah, Abd Hurayrah, Sa’id ibn al-Musyyaib, dan lain-lain. Wafat pada 106 H.
-
Sulayman ibn Yasar, klien Maymunah (istri Nabi saw.) Belajar dari patronnya sendiri, dan dari ‘A’isyah, Abu Hurayrah, Ibn Abbas, Zayd ibn Tsabit, dan sebagainya. Wafat pada 107 H.
-
Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Mendapat pendidikan dari ‘A’isyah (bibinya sendiri), Ibn Abbas, Ibn ‘Umar, dansebagainya. Wafat pada 106 H.
-
Nafi’, klien ‘Abd-Allah ibn ‘Umar. Belajar dari patronnyasendiri, dan dari ‘A’isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya.Diutus oleh ‘Umar ibn ‘Abd-al-Aziz ke Mesir, mengajar Sunnah. Berasal dari Daylam (daerah Iran). Wafat pada 117 H.
-
Muhammad ibn Muslim, yang terkenal dengan Ibn Syihabal-Zuhri. Lahir 50 H., dan belajar dari ‘Abd-Allah ibn’Umar, Annas ibn Malik, Sa’id ibn al-Musayyaib, dan sebagainya. Mendapat perintah dari ‘Umar ibn ‘Abd-al-Aziz untuk mencatat Sunnah penduduk Madinah sebagai rintisan resmi pertama pembukuan Hadits.
-
Abu Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Husayn, yangdikenal dengan sebutan al-Baqir. Dia adalah imam kelima kaum Syi’ah. Belajar dari ayahandanya sendiri, juga dari Jabirdan ‘Abd-Allah Ibn ‘Umar, dan sebagainya. Dikenal sebagai “Kepala Bani Hasyim” di zamannya. Wafat pada 114 H.
Di Makkah beberapa sarjana terkenal juga tampil:
1.’Abd-Allah
ibn, ‘Abbas ibn ‘Abd-Muthalib. Lahir dua tahun sebelum Hijrah, dan
pernah dibacakan do’a oleh Nabi agar mempunyai pemahaman mendalam
(tafaqquh) dalam agama. Beliau diajar tentang ta’wil. Dianggap Bapak
Ilmu tafsir al-Qur’an. Belajar banyak dari ‘Umar, ‘Ali dan Ubay ibn
Ka’b. Wafat diThaif pada 68 H.
2.Mujahid ibn Jabr, Klien Bani Makhzum. Belajar dari Sa’d, ‘A’isyah, Abu Hurayrah, Ibn ‘Abbas, dan lain-lain. Wafat pada 103 H.
3.’Ikrimah,
klien Ibn ‘Abbas. Belajar dari Ibn ‘Abbas, ‘A’isyah, Abu Hurayrah, dll.
Pernah menyatakan ia sependapat dengan kaum Khawarij. Wafat pada 107 H.
4.’Atha
ibn Rabbah. Belajar dari ‘A’isyah, Abu Hurayrah, Ibn ‘Abbas, dan
sebagainya. Disebutkan berkulit hitam kelam, yang fasih dan luas
pengetahuan. Sangat banyak mendapat pujian dari para ‘ulama’ yang lain,
termasuk mereka yang hidup sezaman. Wafat pada 114 H.
Dari kalangan warga Kufah yang tampil antara lain ialah:
1.’Alqamah
ibn Qays al-Nakha’i. Lahir di masa Nabi masih hidup, dan belajar dari
‘Umar, ‘Utsman, Ibn Mas’ud, ‘Ali, dan lainnya. Murid terkemuka Ibn
Mas’ud. Wafat pada 62 H.
2.Masruq ibn al-Ajda’ al-Hamdani. Belajar dari ‘Umar, ‘Ali, Ibn Mas’ud, dan sebagainya. Wafat pada 63 H.
3.Al-Aswab ibn Yazid al-Nakha’i, dan
4.Ibrahim
ibn Yazid al-Nakha’i. Keduanya bersaudara, dan sama-sama tampil sebagai
sarjana terkemuka. Kedua-duanya wafat pada 95 H.
5.’Amir
ibn Syarahil al-Sya’bi. Lahir 17 H. Sarjana Tabi’in yang paling
terkemuka. Guru utama Imam Abu Hanifah. Belajar dari ‘Ali, Abu
Hurayrah, Ibn ‘Abbas, ‘A’isyah, Ibn ‘Umar, dan sebagainya. Cukup
menarik bahwa al-Sya’bi tidak suka kepada metode qiyas (analogi) yang
menjadi ciri Ahl al-Ra’y yang dikembangkan muridnya, Abu Hanifah.
Kemudian dari Basrah, tampil tokoh-tokoh, antara lain:
1.Anas
ibn Malik al-Anshari. Seorang khadam, karena ia Sahabat Nabi sejak
Hijrah sampai wafat. Karena penampilannya sebagai sarjana dan peranannya
dalam mendidik para Tabi’in
maka
ia termasukkan dalam daftar ini. Selain belajar dari Nabi juga banyak
belajar dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, Ubbay, dll. Wafat pada 90 H.
2.Abu al-’Aliyah Rafi’ ibn Mahran al-Riyahi. Belajar dari ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Ali dan ‘A’isyah. Wafat pada 90 H.
3.Al-Hasan
ibn Abi al-Hasan Yassar, klien Zayd ibn Tsabit. Dibesarkan di Madinah
dan menghafal al-Qur’an di zaman ‘Utsman. Seorang pejuang yang terkenal
berani, di samping seorang sarjana terkemuka. Wafat pada 110 H.
4.Abu al-Syaitsa’, Jabir ibn Zayd, kawan Ibn ‘Abbas. Banyak belajar dari kawannya sendiri itu. Wafat pada 93 H.
5.Muhammad
ibn Sirin, klien Anas ibn Malik. Belajar daripatronnya, kemudian dari
Abu Hurayrah, Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar. Wafat pada 110 H.
6.Qatadah
ibn Da’aman al-Dusi. Selain ahli hukum Islam, ia juga ahli bahasa,
sejarah dan geneologi (al-nasab). Wafat pada 118 H.
Dari
daerah Syam (Syria) beberapa tokoh ahli hukum tampil, seperti
‘Abd-al-rahman ibn Gahnim al-Asy’ari, Abu Idris al-Khulani, Qabishah ibn
Dzu’ayb, Makhul ibn Abi Muslim, Raja ibn Hayah al-Kindi, dan lain-lain.
Namun yang paling penting dari para sarjana Syam itu ialah Khalifah
‘Umar ibn ‘Abd-al-’Aziz, terkenal sebagai ‘Umar II dan banyak dipandang
sebagai yang kelima dari al-Khulafa’ al-Rasyidin, Dialah yang
mengukuhkan tarbi, (mengakui empat Khalifah pertama: Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman dan ‘Ali) dan mensponsori secara resmi (kenegaraan) usaha
penulisan Sunnah atau Hadits. Dia wafat pada 101 H.
Mesir saat itu belum
menjadi tandingan tempat-tempat yang tersebut di atas. Kota Kairo belum
ada (baru didirikan oleh Dinasti Fathimiyah kelak, bersama
Masjid-Universitas al-Azharnya), dan ibukota Mesir ialah Fusthath yang
perkembangannya tidak terlalu pesat seperti lain-lain. Walaupun begitu
telah tampil pula di kalangan Mesir beberapa sarjana terkemuka, seperti
‘Abd-Allah ibn al-’Ash (wafat pada 65 H.), ‘Abd-al-Khayr ibn ‘Abd-allah
al-Yazani (wafat pada 90 H.), Yazid ibn Abi Habib yang disebut-sebut
sebagai pelopor ilmu pengetahuan di Mesir dan ahli masalah halal dan
haram (wafat pada 128 H.).
Di Jazirah Arabia
sebelah selatan, yaitu Yaman, juga banyak muncul sarjana-sarjana dengan
pengaruh yang jauh keluar dari batasan daerahnya sendiri. Mereka itu,
antara lain, Thawus ibn Kaysan al-Jundi (wafat pada 106 H.) yang belajar
dari Zayd ibn Tsabit, ‘A’isyah, Abu Hurayrah, dan lainnya. Kemudian
Wahb ibn Munabbin al-Shan’ani, yang belajar dari Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas,
Jabir, dan lainnya. Wafat pada 114 H. Selanjutnya ialah Yahya ibn Abi
Katsir yang menurut sementara ‘ulama’ yang lain seperti Syu’bah dianggap
lebih ahli tentang Hadits daripada al-Zuhri tersebut. 7
Para tokoh ahli hukum
itu dan kegiatan ilmiah serta pengajarannya telah mendorong tumbuhnya
para spesialis hukum angkatan berikutnya, seperti al-Awza’i, Sufyan
al-Tsawri, al-Layts ibn Sa’d, dan lainnya. Mereka ini, pada gilirannya,
telah melapangkan jalan bagi tampilnya para imam madzhab yang sampai
saat ini pengaruhnya masih amat kukuh seperti Abu Hanifah, Malik,
al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. [Tamat]
Catatan Kaki :
5.Al-Syaykh ‘Ali al-Khafifi, “Al-Ijtihad fi ‘Ashr al-Tabi’in wa Tabi’i ‘l-Tabi’in,” dalam Al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami’at al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 223.
6.Ibid. h. 222.
7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini, lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.
5.Al-Syaykh ‘Ali al-Khafifi, “Al-Ijtihad fi ‘Ashr al-Tabi’in wa Tabi’i ‘l-Tabi’in,” dalam Al-Ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyyah. (Riyadl: Jami’at al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-lslamiyyah, 1404/1984), hh. 223.
6.Ibid. h. 222.
7.Untuk keterangan lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini, lihat al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387/1968), h. 126-41.
Ditulis pada hari Senin, 14 Februari 2005, 12:30 AM
Pengertian Madzhab
Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan
tempat) dari kata dasar dzahaba ( pergi ). Jadi, madzhab itu secara
bahasa artinya, “ tempat pergi ”, yaitu jalan ( ath – thariq )Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum – hukum Islam, yang digali dari dalil – dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah ( qawa’id ) dan landasan ( ushul ) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994 :208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah ( 1995: 197 ), istilah madzhab mencakup dua hal : (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqih yang menjadi jalan ( thariq ) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan demikian, kendatipun madzhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat ( fiqih ), harus dipahami bahwa madzhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqih yang menjadi metode penggalian untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan madzhab Syafi’ie, itu artinya adalah, fiqih dan ushul fiqih menurut Imam Syafi’ie. ( Nahrawi, 1994 : 208 ).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur madzhab ini dengan berkata, “ Setiap madzhab dari berbagai madzhab yang ada mempunyai metode penggalian ( thariqah istinbath ) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.
Lahirnya Madzhab
Berbagai madzhab fiqih lahir pada masa keemasan fiqih, yaitu dari abad ke -2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun dibawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H ( Al-Hashari, 1991 : 209 ). Pada masa tersebut, tercatat telah lahir paling tidak 13 madzhab fiqih (di kalangan sunni ) dengan para Imamnya masing-masing, yaitu : Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’I (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H). ( Lihat: al-‘Alwani, 1987 : 88 ).
Bagaimana madzhab-madzhab itu lahir ditengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu ? Seperti dijelaskan Nahrawi ( 1994: 164-168 ), terdapat berbagai factor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuwan yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzhab fiqih, antara lain :
Pertama , kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Kedua, kesungguhan para ulama dan fuqaha.
Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fiqih dan fuqaha.
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwin al-‘ulum).. Pada masa tersebut telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadits, fiqih dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fiqih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fiqih (Nahrawi, 1994; 164-168).
Terbentuknya Madzhab
Bagaimana terbentuknya madzhab-madzhab itu sendiri ? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai madzhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah ushul maupun furu’ sebagai dampak adanya berbagai diskusi di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (thariqah al-istinbath), sedangkan furu’ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbath tersebut.
Lebih jauh An-nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (thariqah al-istinbath) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 ( tiga ) hal, yaitu : (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam); (2) perbedaan dalam memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash ( An-Nabhani, 1994; 387-392 ). Penjelasannya sebagai berikut :
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, Yaitu :
1. Metode mempercayai as-Sunnah sera kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Pada mujtahidin Iraq ( Abu Hanifah dan para sahabatnya ), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawaatirah dan sunnah masyuurah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985:57-58)
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’ie memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).
3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujjahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. (Khallaf, 1985:59).
4. Subyek dan Hakikat kehujjahan ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma’ dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma’ Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang menjadi hujjah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma’ Ahlul Madinah saja yang menjadi hujjah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma’, sebagian menganggap Ijma’ menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtima’ ar-ra’yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma’ bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994; 388-389).
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadits (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma’quul). Mereka disebut Ahl ar-Ra’yi (fuqaha Iraq). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fuqaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fuqaha Iraq menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir, sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha’ (1 sha’ = 2.176 kg takaran gandum).
PENETAPAN SYARI’AT
PADA
MASA AIMMATU AL MUJTAHIDIN
OLEH:IMAM SYAfI’I
BAB: I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah
negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sementara itu dalam
kehidupan beragama mereka di bidang ilmu hukum tidak nampak adanya
kemajuan, yang tampak saat ini hanyalah budaya-budaya taqlid buta
yang sudah akut tampa adanya usaha untuk mengali khasanah-khasanah
keilmuan tempoe doeloe. Sebenarnya, apapun penilaian orang terhadap
warisan ulama’ salaf, metode-metoda mereka tetaplah merupakan contoh
sebuah langkah pemahaman nilai-nilai islam yang abstrak kedalam alam
empiris yang tidak boleh di pandang sebelah mata, dari fakta di atas
menunjukan bahwa perkembangan pemikiran islam di indonesia menunjukan
kenyataan bahwa hukum islam yang di kenal dan di pahami di indonesia
sekarang ini seolah-olah tidak mampu menangapi perkembangan zaman, ada
semacam keterputusan intelektual islam indonesia dari metodologi warisan
salaf di bidang kajian hukum islam, Padahal dengan memahami latar
belakang metodologis dari warisan lama tersebut merupakan bekal yang
sangat berharga dalam upaya pengalian hukum, baik untuk masa kini maupun
masa yang akan datang. Keterputusan tersebut bisa dibuktikan dengan
bermunculanya gagasan-gagasan yang tidak berlandaskan metode yang
lengkap dan sempurna, bahkan bisa dikatakan lebih buruk dari dan kacau
dibandingkan metode-metode Ulama’ salaf yang sering mereka hujat. Dan
dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk menyajikan sebuah gambaran
tantang pemberlakuan Syari’at pada masa beliau-beliau yang agung para
Imam Mujtahid dan semoga saja nanti bisa menambah wawasan kita didalam
menjelajahi Ilmu Ushul Fiqh serta bisa membuat kita lebih arif dalam
menilai sebuah karya intelektual.
BAB: II. PEMBAHASAN
2.Sejerah Aimmatu al Mujtahid dan terbentuknya Madzhab..
Dimulai
dari runtuhnya dinasti Umayyah abad ke 2.H telah menghembuskan angin
segar bagi perkembangan ilmu Fiqh dan ilmu-ilmu yang lain, setidaknya
itu bisa kita lihat dari para Khalifah Bani Abbas. Berbeda dengan
pendahulunya yang sering memasung para Fuqoha’ dalam berpendapat
apabila tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah saat itu, Khalifah
Bani Abbas malah menddekati para Fuqoha’ dan meletakan mereka dalam
posisi terhormat, hal inilah yang nantinya akan mendorong minat Fuqoha’
untuk mengembangkan kajian ilmu Fiqh sehinga ilmu Fiqh mencapai masa
keemasan dalam sejarah perkembanganya.4.Selain
perhatian yang besar dari pemerintah Bani Abbas terhadap Fiqh dan
Fuqoha’ ada beberapa faktor yang punya andil dalam dalam menghantar Fiqh
menuju era keemasan, antara lain tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah ,
terutama pada masa pemerintahan Al Mansuur–Khalifah kedua Bani
Abbas-mulai muncul perhatian Ulama’ terhadap kajian-kajian Filsafat,
kedokteran, kimia, kebudayaan dan ilmu-ilmu lain yang belum parnah
muncul sebelumnya yang berbarengan dengan gerakan penerjemahan buku-buku
yunani dan romawi secara besar-besaran5,
yang perlu dicatat disini adalah pengaruh Filsafat dan logika serta
ilmu-ilmu lain yang datang dari orang-orang non Islam bukanlah
satu-satunya faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya kajian-kajian
ilmiah seperti yang banyak digembor-gemborkan oleh Orientalis, tetapi
sejarah dan kebutuhan waktu itu memang menuntut Fuqoha’ untuk maju
menjaga orisinalitas dan keutuhan ajaran-ajaran Islam dari pengaruh
luar, sehinga munculah kajian-kajian keilmuan yang belum pernah muncul
sebelumnya.6
Seperti yang telah saya singung diatas bahwa
pada masa ini terjadi perubahan didalam pengalian hukum Islam yaitu
lebih tertatanya metodologi dibandingkan masa sebelumnya, ada empat
sumber dalam dalam memberlakukan Syari’at pada masa itu 1. Al-qur’an
2.Sunah. 3.Ijma’ dan 4.Ijtihad –baik dari Qiyas atau apa saja yang
bersifat pengambilan Hukum (istimbat)-. Para Mujtahid ketika menemukan
NasH yang jelas dalam Al-qur’an mengenai suatu hukum maka mereka akan
mematuhinya dan tidak berani mengotak-atik Nash tersebut, dan jika dalam
Nash tidak ditemukan keterangan mengenai suatu hukum mereka akan
melakukan Ijma’ dan hasilnya akan mereka gunakan sebagai Fatwa, ketika
dalam Al-qur’an, Sunah, dan Ijma’ masih belum ditemukan sebuah keputusan
makamereka akan melakukan Ijtihad dan pengalian hukum menurut pemahaman
dari suatu Nash atau Syari’.
.Madzhab menurut bahasa Arab adalah
isim makan (kata benda keterangan tempat) dari kata dasar dzahaba (
pergi ). Jadi, madzhab itu secara bahasa artinya, “ tempat pergi ”,
yaitu jalan(ath–thariq)Sedangkan menurut istilah ushul
fiqih, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum –
hukum Islam, yang digali dari dalil – dalil syariat yang rinci serta
berbagai kaidah (qawa’id ) dan landasan ( ushul ) yang mendasari
pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh. Menurut Muhammad Husain Abdullah: istilah
madzhab mencakup dua hal : (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali
seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqih yang menjadi jalan ( thariq) yang
ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari
dalil-dalilnya yang rinci Dengan demikian, kendatipun madzhab itu
manifestasinya berupa hukum-hukum syariat ( fiqih ), harus dipahami
bahwa madzhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fiqih yang menjadi
metode penggalian untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika
kita mengatakan madzhab Syafi’ie, itu artinya adalah, fiqih dan ushul
fiqih menurut Imam Syafi’ie .Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua
unsur madzhab ini dengan berkata, “ Setiap madzhab dari berbagai
madzhab yang ada mempunyai metode penggalian (thariqah-istinbath) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.
Berbagai
madzhab fiqih lahir pada masa keemasan fiqih, yaitu dari abad ke -2 H
hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun dibawah
Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H ( Al-Hashari, 1991 :
209 ). Pada masa tersebut, tercatat telah lahir paling tidak 13 madzhab
fiqih (di kalangan sunni ) dengan para Imamnya masing-masing, yaitu :
Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’I (w.
157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-laits bin Sa’ad (w. 175 H),
Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i
(w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-zhahiri (w. 270 H),
Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir
ath-Thabari (w. 310 H). ( Lihat: al-‘Alwani, 1987 : 88 ).
Satu abad kemudian
satu persatu dari semua Mazdhab dipaksa untuk takluk dibawah usia zaman
yang semakin dewasa, pengikut dan pendukung Madzhab- madzhab tersebut
mengalami pasang surut mengikuti seleksi zaman yang semakin ketat.
Kemudian untuk kurun- kurun berikutnya hanya sekitar empat Madzhab saja
yang diangap oleh kebanyakan Ulama’ yang lulus seleksi dan memiliki akar
yang kuat, dan terus mengawal perputaran rada zaman sampai sekarang,
karena hanya merekalah yang mempunyai dokumentasi kitab paling lengkap
Upaya-upaya penyaringan dan pelacakan informasi Madzhab yang bersumber
dari para Imam Madzhab terus menerus dilakukan. Namun untuk mendapatkan
hasil yang utuh sangatlah jauh dari realita yang ada, hal ini
dikarenakan riwayat-riwayat yang dapat ditangkap hanya sepotong-sepotong
saja. Sedangkan pemahaman terhadap suatu Madzhab yang paling dominan
harus dilakukan secara utuh, dan satu-satunya sumber yang paling bisa
dipercaya adalah adanya dokumentasi Madzhab (kutubu al mudawwanah),
namun sangat disayangkan bahwa pada masa-masa awal para Imam Mujtahid
jarang sekali dilakukan kodifikasi kitab7,sehinga akhir-akhir ini istilah Aimmatu al Mujtahid hanya dipakai untuk Madzahibu al Arba’ah saja.
Syah
Wali al-Dahlawi menulis: “Bila pengikut suatu madzhab menjadi
masyhur dan diberi wewenang untuk menetapkankeputusan hukum dan
memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu
orang mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu,
tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para pengikut
madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak
berwewenang memberi fatwa, maka orang tak ingin mempelajari
madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang setelah beberapa
lama.sehinga sulit ditemukan metode-metodenya secara lengkap. Beberapa
madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan sebagai berikut:
1.
Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd Allah Sufyan bin
Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun 65 H dan wafat di Bashrah tahun
161 H. Imam Ahmad menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad
menyebut dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada Ja’far
al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Pahamnya diikuti orang sampai
abad IV Hijrah;
2.
Madzhab Ibn ‘Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu MuhammadSufyan ibn ‘Uyaiynah
wafat tahun 198 H. Ia mengambil ilmu dari Imam Ja’far, al-Zuhry, Ibn
Dinar, Abu Ishaq dan lain-lain. Madzhabnya diamalkan orang sampai abad
IV, tetapi setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
3.
Madzhab al-Awza’iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr al-Awza’iy adalah
imam penduduk Syam. Ia sangat dekat dengan Bani Umayyah dan juga Bani
Abbas..” Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302 H;
4.
Madzhab al-Thabary. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid
ibn Ghalib al-Thabary lahir di Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad
310 H. Ia termasuk mujtahid ahl al sunnah Tidak diketahui sampai kapan
madzhabnya diikuti orang.
5.
Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali dilahirkan di Kufah
tahun 202 H dan hidup di Baghdad sampai tahun 270 H. Madzhabnya
berkembang sampai abad VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah
Ibn Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara harfiah
pada teks-teks nash.. Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang
tidak lagi dianut secara resmi sekarang ini.
3.Tasyrii’ pada masa Aimmatu al M ujtahid
Terbentuknya madzhab-madzhab itu sendiri Menurut Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani berbagai madzhab itu terbentuk karena adanya perbedaan
(ikhtilaf) dalam masalah ushul maupun furu’ sebagai dampak adanya
berbagai diskusi di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode
penggalian (thariqah al-istinbath), sedangkan furu’ terkait dengan
hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbath tersebut
Lebih jauh An-nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan
metode penggalian (thariqah al-istinbath) hukum tersebut. Ini disebabkan
adanya perbedaan dalam 3 ( tiga ) hal, yaitu : (1) perbedaan dalam
sumber hukum (mashdar al-ahkam); (2) perbedaan dalam memahami nash; (3)
perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash
Penjelasannya sebagai berikut:
A
Syarat-syarat ijtihad kemudian berkembang sangat dinamis dan kelewat
rumit itu bisa ditemukan pada persyaratan yang dibuat oleh para ulama
dan dihimpun oleh Muhammad Tiwana. Ia memerlukan 46 halaman (dari
halaman 159-205) untuk menjelaskan syarat ijtihad dan mengelompokkannya
ke dalam kategori : ‘Ammah, Hammah, Asasiyah, dan takmiliyah. Masuk ke
dalam kategori ‘ammah (umum) adalah, keharusan seorang mujtahid beragama
Islam, baligh, berakal, laki-laki merdeka, dapat memahami sesuatu
dengan baik. Masuk ke dalam kategori hammah (penting) adalah, mempunyai
pengetahuan bahasa Arab secara baik, menguasai ilmu logika, dan
mempunyai pengetahuan tentang al-bara’at al-ashilah. Masuk ke dalam
kategori asasiah adalah, mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an dan
al-Sunnah yang meliputi: asbab al-nuzul atau asbab al-wurud nya, nasikh
mansukh, ulum al-tafsir dan ulum al-hadits, maqasid al-takmiliah
(pendukung) adalah mengetahui dalil-dalil qath’i dan zanni dari
al-Qur’an dan al-Sunnah, masalah yang telah menjadi ijma’, mengetahui
perbedaan pendapat para ulama dan ia (mujtahid) terbukti seorang yang
taqwa melalui kewaraan tingkah lakunya (Tiwana, t.t.: 159-205).
Perkembangan Kategori Ijtihad dan Mujtahid
Di atas telah dikemukakan bahwa, di samping
merupakan orang pertama yang mengemukakan syarat-syarat ijtihad yang
relatif komplek, Ibnu Shalah juga dikenal sebagai ulama yang membuat
kategorisasi mujtahid. Menurut Abdurrahman al-Sayuthi, pendapat mengenai
tipe atau model ijtihad yang kemudian diadopsi oleh al-Nawawi,
sepenuhnya berasal dari kreasi Abu ‘Amr bin Shalah. Kategorisasi itu
dimuat dalam kitab Adab al-Futya, karya Abu ‘Amr bin Shalah. Namun
demikian, ketika membuat kategorisasi tersebut, baik Ibnu Shalah,
al-Nawawi maupun al-Sayuthi, tidak menggunakan kata ijtihad. Kata yang
mereka gunakan adala, ifta’ atau muft ( al-Sayuthi, 1984: 97).
Sungguhpun masih memerlukan penelitian lebih
lanjut, agaknya pada masa awal, seorang mufti sekaligus adalah seorang
mujtahid. Kalau dugaan ini dapat diterima, yang agaknya perlu dijelaskan
adalah mengenai pergeseran makna kata mufti dari yang semula
dipergunakan untuk menyebut orang yang hanya dapat memberikan fatwa di
seputar mazhabnya, bergeser ke kata ijtihad atau mujtahid yang mempunyai
cakupan lebih luas. Ia tidak sekedar memberikan fatwa di lingkungan
mazhabnya saja, melainkan juga di luar mazhabnya.
Dari sisi tipe atau model yang hendak
dikembangkan ini, Al-Nawawi membuat dua kategori tipe atau model
ijtihad; mustaqlil (mandiri) dan muntasib (tidak mandiri atau
dinisbahkan dengan mazhab tertentu). Untuk kategori mujtahid muntasib,
al-Nawawi (juz I, tt.: 42) memecah kedalam empat kategori. Kategori
pertama dan kedua ia sebut muntasib dan muqayyad atau fi al-mazhab.
Untuk dua kategori berikutnya, ia tidak menyebut istilah tertentu,
melainkan hanya menyebutkan ciri-cirinya yang cenderung sangat rinci.
Dua model atau tipe jtihad yang belum dsebutkan namanya oleh Al-Nawawi
itu, diberikan nama oleh ulma yang datang belakangan seumpama Abu Zahrah
dengan sebutan mujtahid murajjih dan mustadlil (Abu Zahrah, 1958:
396-397. lihat pula Abu Zahrah, 1958: 118).
Selanjutnya al-Nawawi mengemukakan bahwa
syarat dan sekaligus ciri model ijtihad mustaqil adalah, mengetahui
adillat al-ahkam al-syar’iyah (yang berasal) dari al-Qur’an, al-Sunnah,
ijma’ dan qiyas. Syarat lain adalah memiliki metode istinbath sendiri,
mengetahui ulum al-Qur’an dan al-Hadits, mengetahui nasakh mansukh,
menguasai bahasa Arab beserta gramatikanya (termasuk ilmu sharaf),
mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama, mengetahui fiqih yang
meliputi masalah-masalah pokok dan furu’nya. Syarat untuk mujtahid
muntasib sama dengan persyaratan yang harus dimiliki oleh mujtahid
mustaqil terkecuali persyaratan untuk menguasai metode istinbath
sendiri. Bagi mujtahid muntasib model pertama ini, seorang mujtahid
diperbolehkan mengikuti metode istinbath yang dikembangkan oleh
mujtahid mustaqil . untuk syarat mujtahid fi al-mazhab atau mujtahid
muqayyad, cukup mengikuti pola ijtihad yang dikembangkan oleh imam
mazhabnya. Ia cukup dengan menggunakan pemikiran ijtihad imam mazhabnya.
Untuk model ijtihad muntasib yang ketiga, syaratnya adalah, mengetahui
pemkiran mazhabnya beserta argumentasi yang dipergunakan oleh imam
mazhabnya. Ia cukup mentarjih pendapat yang bekembang di lingkungan
mazhabnya. Untuk model mujtahid muntasib ke empat, syaratnya adalah
mengetahui berbagai pendapat yang berkembang di lingkungan mazhabnya dan
bisa memberikan fatwa sesuai dengan pendapat mazhabnya (al-Nawawi, juz
I, t.t.: 42-45).
Ijtihad di zaman modern, menurut Yusuf
Qardhawi, muncul dalam bentuk-bentuk perundang-undangan, fatwa dan
penelitian. Ijtihad dalam bentuk perundang-undangan pertama kali muncul
di Turki Usmani. Pada masa-masa akhir, pemerintahan Turki Usmani
menghimpun berbagai pendapat di lingkungan mazhab-mazhab yang berkaitan
dengan hukum keluarga. Untuk selanjutnya, bahan-bahan tersebut
ditetapkan sebagai undang-undang tentang hak-hak keluarga. Langkah
pemerintah Turki Usmani ini kemudian diikuti oleh pemerintah Mesir pada
awal abad ke-20. Ijtihad dalam bentuk fatwa dilkukan secara kolektif
dengan melibatkan beberapa individu yang memiliki disiplin ilmu beragam.
Masalah yang di bahas lebih banyak masalah-masalah kontemporer seumpama
bank Islami dan bayi tabung. Ijtihad dalam bentuk penelitian, muncul
melalui tesis, disertasi, buku-buku ilmiah, kertas kerja dalam
seminar-seminar yang dihasilkan oleh seorang ulama yang memiliki
spesialisasi dan kemampuan (Qardhawi, 1987: 181-187).
Bentuk-bentuk ijtihad tersebut tentu saja
tidak lagi bisa sepenuhnya dimasukkan ke dalam kategori ijtihad yang
diadopsi oleh Al-Nawawi dari Ibnu Shalah di atas. Karena ia tidak
sepenuhnya dapat mengakomodir aktivitas ijtihad di zaman modern yang
bentuknya relatif berbeda dengan aktivits ijtihad di masa lampau yang
dilakukan terutama secara individual. Kategori ijtihad yang di buat
Yusuf Qardhawi lah yang agaknya bisa mengakomodir bentuk-bentuk jtihad
di atas. Dalam buku ijtihad kontemporer, Yusuf Qardhawi mengajukan tiga
model ijtihad kontemporer; tarjihi intiqa’i, ibda’i insya’i, dan
integrasi intiqa’i-insya’i (Qardhawi, 1995: 23-49).
Dimaksudkan dengan ijtihad tarjih intiqa’i
adalah, memilih salah satu pendapat yang di nilai terbaik dan
termaslahat dari berbagai pendapat yang ada dalam warisan fiqih islam.
Pendapat yang di nilai terbaik dan termaslahat itu dihasilkan melalui
studi komparatif terhadap berbagai mazhab dan meneliti kembali
dalil-dalil nash dan argumentasi yang dipergunakan sesuai dengan kaidah
tarjih. Di antara kaidah tarjih itu ialah, hendaknya pendapat itu
mempunyai relevansi dengan kehidupan modern, mencerminkan kelemah
lembutan dan kasih sayang terhadap manusia, mendekati kemudahan yang
diinginkan syari’ah dan mencerminkan keinginan memprioritaskan
kemaslahatan serta penolakan terhadap marabahaya. Pendapat yang dipilih
itu bisa saja berasal dari mazhab yang berbeda-beda dan bahkan bisa juga
berasal dari pendapat yang selama ini di nilai kurang kuat, tapi karena
berbagai pertimbangan, ia dipilih (Qardhawi, 1995: 23-49)..
Perubahan dalam Hukum bisa saja terjadi,
sepanjang ditemukan ilat yang mendorongnya. Dalam konteks ini, Ibnu
al-Qayyim berpendapat, perubahan hukum atau fatwa bisa disebabkan oleh
perubahan zaman, tempat, adat dan kondisi tertentu. (Ibnu al-Qayyim, juz
III, 1937: 14). Yusuf Qardhawi memberikan tambahan penjelasan bahwa
sebab adanya suatu perubahan bisa saja terjadi dengan adanya perubahan
sosial dan politik baik nasional maupun internasional, kemajuan ilmu
pengetahuan modern, dan desakan-desakan zaman dan kebutuhannya
(Qardhawi, 1995: 32-42).
Ijtihad Insya’i atau ijtihad kreatif adalah
pengambilan konklusi hukum baru dari suatu persoalan yang belum pernah
ditetapkan hukumnya oleh ulama terdahulu. Ijtihad kreatif juga bisa
dilakukan terhadap masalah yang diperselisihkan ketetapan hukumnya oleh
para ulama, dengan menawarkan pendapat ketiga (atau keempat) yang sama
sekali berbeda dengan pendapat yang sudah ada (Qardhawi, 1995: 53).
Hal ini relatif berbeda dengan prinsip
mensikapi masalah khilafah. Sepanjang masalah khilafah itu mempunyai
argumentasi yang sama kualitasnya, untuk keperluan ihthiyathi, maka
dianjurkan untuk memilih pendapat yang diyakini bisa mengakomodasikan
dua pendapat yang saling berbeda itu (Hakim, tt.: 68-69).
Sedangkan yang dimaksudkan dengan ijtihad
integrasi intiqa’i-insya’i adalah, memilih berbagai pendapat ulama
terdahulu mengenai masalah yang dipandang lebih relevan dan terbaik
serta termaslahat, kemudian ditambahkan unsur-unsur baru di dalamnya.
Untuk model ijtihad ketiga ini, Yusuf Qardhawi mengajukan contoh fatwa
kebolehan dan ketidakbolehan melakukan aborsi dengan catatan adanya
manfaat atau madharat bagi janin dan yang hamil. Pendapat ini diambil
dari dua pendapat yang melarang dan membolehkan aborsi secara mutlak,
setelah mendapat pembenaran secara medis (Qardhawi, 1995: h.53-54)
B.
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin
membatasi makna nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat
hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadits
(fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya
pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat
dipahami akal (ma’quul). Mereka disebut Ahl ar-Ra’yi (fuqaha Iraq).
Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fuqaha Hijaz berpegang dengan
lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan
tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fuqaha Iraq
menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum
fakir, sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang
senilai satu sha’ (1 sha’ = 2.176 kg takaran gandum).
C. Mengenai
masalah kebahasaan diantara para mujtahid memiliki kaidah kebahasaan
yang kadang berbeda, karena perbedaan asal guru-guru mereka dari
kabilah-kabilah di arab yang juga kadang mempuyai perbedaan dalam
dialek. seperti saat mereka memahami lafadz- quru’-dalam ayat: والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء yang mempunyai arti: 1.Haid 2.Suci dari haid.
Seperti diketahui dalam fiqh tabi’in, ada dua aliran besar dalam
fiqh Islam: ahl al-Ra’y dan ahl al-Hadits. Yang pertama menekankan
rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua berdasarkan fiqh
pada hadits walaupun lemah dan menolak penggunaan rasio.
Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua Madzhab itu. Yang paling
dekat dengan ahl al-ra’y adalah madzhab Hanafi; dan yang paling
dekat dengan ahl al-hadits adalah mazhab Hanbali.Imam Ahmad ibn Hanbal,
yang mengumpulkan ribuan hadits dalam musnadnya, memang lebih terkenal
sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad
di antara muhadditsin dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad
sebagai ahli fiqh. Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan
mazhabnya pada hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para
sahabat, dan menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi
fiqhnya selalu merujuk pada nash-nash al-Qur’an atau hadits8.
POKOK-POKPOK PEMIKIRAN PARA IMAM MUJTAHID9
I. Imam Abu Hanifah
Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal:
a) Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur’an, al-Sunnah,
ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, “Aku mengambil
dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila tidak, aku ambil
Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang sahih, yang disampaikan
oleh orang-orang yang dapat dipercaya.Jika tidak aku dapatkan dalam
al-Kitab dan Sunnah Rasulullah, aku mengambil pendapat para sahabat
yang aku kehendaki dan meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku
tidak keluar dari pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah
sampai pada tabi’in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,”,
b) Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan
menggunakan qiyas dan istihsan (perpindahan dalil menuju dalil yang
lebih kuat atas pertimbangan kemaslahatan.)
c) Al-A’raf, (yakni adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan)
2. Imam Maliki
Catatan kecil di atas
menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat berpengaruh pada penyebaran
madzhabnya. Madzhab Maliki mendasarkan fiqhnya pada 11 pokok:
a) Al-Qur’an: zhahirnya, dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya;
b) Al-Sunnah: al-mutawatirah dan
al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah bertentangan dengan
al-Qur’an, didahulukan al-sunnah;
c) Ijma’ penduduk Madinah, ijma’ secara
naql. Ijma’ sebelum terbunuhnya Utsman, ijma’ mutaakhir: masing-masing
dengan kekuatan hukum yang berbeda;
d) Fatwa sahabat;
e) Khabar Ahad dan Qiyas;
f) Mashalih mursalah; (kemaslahatan yang
tidak di tegaskan dalam syri’at untuk merealisasikan, dan tidak ada
pula dalil syra’ tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.)
g) Sadd al-Dzara’i; (“melakukan sesuatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.)
h) Mura’at khilaf al-mujtahidin;
i) Istishhab; (adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaan semula ( hukum asal), selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut.)
j) Syar’man qablana.(syari’at kaum nabi-nabi terdahulu)
3. Imam Syafi’I (R.A)
Pokok-pokok fiqh Syafi’i ada lima
a) Al-Qur’an menurut dhahirnya ayat; Hadist , dan Hadist ahad versi beliau.
b) Al-Ijma’, (sepanjang tidak diketahui adanya perselisihan diantara para ahlinya)
c) Pendapat sahabat (atau ijma’ Sahabat)
d) Ikhtilaf sahabat Nabi;
e) Qiyas.
4. Imam Hambali
pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali:
a) Al-Nushush;
b) Fatwa sahabat; ( ijma’ para sahabat)
c) Ikhtilaf sahabat;(beliau pilih yang paling dekat kebenaranya dengan Nash)
d) Hadits mursal dan dha’if; (dengan ketentuan-ketentuan fersi beliau)
e) Qiyas.
HUJJAH METODE PARA MUJTAHID
1. Al qur’an:
(Al An’am):
155. Dan Al-Quran itu
adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat.
2. Hadist:
(Al hasyr)
7apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya.
(An nisa’)
-
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah.
3. Ijma’:
(An nisa’)
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu(pemerintah, ulama’)
لاتجتمع أمتى على الضلالة (Hadist)
Artinya : Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan
4. Qiyas:
(Al hasyr)
-
. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
روى معاذ بن جبل رضىالله عنه أن رسول الله لمابعثه الى اليمن قال له: كيف تصنع ان عرض لك قضاء؟ قال أقضى بما فى كتاب الله. قال فان لم يكن فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله. قال فان لم يكن فىسنة رسول الله؟ قال أجتهد رأيى ولاألو.
Atrtinya:Mu’adz
bin jabal meriwayatkan diwaktu dia diutus oleh rasul kenegara Yaman
Rasul bertanya pada Mu’adz Dengan apa kamu memutuskan bila terjadi suatu
permasalahan? Mu’adz menjawab Dengan Kitabullah. Bila tidak ada
dikitabullah? Dengan sunnah rasulullah. Bila tidak ada dalam sunnah
rasul? Saya ijtihad dengan pendapat saya dan berusaha sekuat tenaga
-
Istidlal (Metode selain yang di atas):
(Al hasyr)
االحاكم اذااجتهد فاصاب فله اجران وان اجتهد فأخطأ فله أجر واحد (روه الشيخان)
PENDAPAT ‘ULAMA’ TENTANG PARA MUJTAHID
Sebagian
‘Ulama’ berpendapat bahwa semua Mujtahid mencapai kebenaran. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa hal itu tidak benar karena suatu masalah
dapat menjadi benar dan salah dalam suatu waktu dan kebenaran itu
relatif.
Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i R.A. berkata:
تيس كل مجتهد بمصيب وأن المصيب منهم واحد
BAB.III. PENUTUP
Demikianlah
tadi pembahasan mengenai gambaran dari penetapan Syari’at pada masa
keemasan islam atau masa-masa kejayaan islam, lantas kita janganlah
terlena dengan segala sesuatu yang telah dicapai oleh pendahulu-pendahu
kita, kerena kita bukanlah mereka yang telah hidup beberapa abad yang
lalu, tapi kita adalah umat yang hidup saat ini yang harus berjuang
sendiri untuk membawa agama Islam kembali menuai masa kejayaan seperti
dulu. Kita bisa mengambil dari mereka poin-poin penting yang
menghantarkan mereka kepada sebuah peradapan keilmuan, seperti
menyatukan kembali antara Ulama’ dan Umara’ dalam bidang keilmuan secara
umum dan proporsional. Tidak ada lagi Ulama’-Ulama’ gadungan yang suka
menjilat pemerintahan dan pemasungan-pemasungan pemerintah terhadap
karya-karya Ulama’.
Segala sesuatu yang telah dilakukan
Ulama’-Ulama’ tempoe dulu adalah suatu hal sangat spektakuler. Tapi
disini perlu diingat bahwa kesempurnaan hanyalah milik Alloh seorang ,
ide-ide yang ditelorkan pendahulu kita mungkin itu hanya sesuai di
masanya tidak untuk masa sekarang , nah! Disinilah peran kita sebagai
seorang muslim untuk selalu mencurahkan daya dan upaya kita guna
menjawab tantangan zaman saat ini dengan melahirkan gagasan-gagasan baru
yang tentunya harus lebih menyatu dengan keadaan saat ini.
Berbeda dengan pendahulu-pendahulu kita
adalah sesuatu yang wajar,dan sah-sah saja dalam Islam, akan tetapi
bagaimanakah proses yang melandasi perbedaan itu. Dalam kode etik
keilmuan, seseorang boleh melakukan kritik atau berbeda dengan
pendahulunya dengan syarat ia harus mampu melakukan pemaparan yang lebih
baik dan logis, atau sejajar. So” sudah siapkah kita!
والله أعلام بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar